Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Raibnya Tembakan Polisi ke Arah Tribun

Adegan penembakan gas air mata ke arah tribun tak diperagakan dalam rekonstruksi kasus tragedi Kanjuruhan. Disinyalir untuk mengaburkan fakta dalam penyidikan.

20 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURABAYA — Rekonstruksi polisi dalam kasus tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, tidak memperagakan adegan penembakan gas air mata ke arah tribun penonton yang disinyalir sebagai penyebab kematian massal seusai pertandingan Arema FC versus Persebaya pada Sabtu, 1 Oktober lalu. Reka adegan yang diperagakan oleh tiga tersangka dan sejumlah saksi polisi hanya mempertontonkan penembakan gas air mata ke arah lintasan tepi lapangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan tersebut digelar di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, kemarin, 19 Oktober 2022. Penyidik Markas Besar Kepolisian mengarahkan tiga tersangka dan para saksi untuk memperagakan 30 adegan. Perwakilan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang, tim bentukan Presiden Joko Widodo yang sebelumnya merekomendasikan agar kepolisian menggelar rekonstruksi untuk mengungkap semua aktor dalam tragedi Kanjuruhan, turut hadir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika proses rekonstruksi dimulai, penyidik dengan pengeras suara mengarahkan agar saksi dan para tersangka mengarahkan tembakan ke lintasan tepi lapangan atau shuttle ban. "Selanjutnya, saksi menembakkan satu kali dengan amunisi warna silver ke arah shuttle ban lintasan lari selatan belakang gawang,” kata penyidik, dengan menggunakan pengeras suara, di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Surabaya, Rabu, 19 Oktober 2022.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, berdalih tidak adanya adegan tembakan gas air mata ke arah tribun disebabkan rekonstruksi berfokus pada keterangan para tersangka. Tiga tersangka tersebut adalah Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, yang pada saat kejadian menjabat Kepala Bagian Operasional Polres Malang; Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang; dan Ajun Komisaris Hasdarman, mantan Komandan Kompi III Brimob Polda Jawa Timur. “Kalau misal tersangka mau menyebutkan seperti itu (tidak menyebutkan penembakan ke arah tribun), haknya dia. Tersangka punya hak ingkar,” kata Dedi.

Dedi mengatakan rekonstruksi berupaya menggali peran masing-masing tersangka yang diduga atas kelalaiannya telah menimbulkan kematian ratusan suporter di Stadion Kanjuruhan. “Tujuannya peran tersangka dari tiga orang itu dilihat jaksa,” ujarnya.

Polisi melakukan rekonstruksi tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, 19 Oktober 2022. ANTARA/Didik Suhartono

Setelah rekonstruksi rampung, kepolisian bakal menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada Kejaksaan Agung. Proses rekonstruksi juga akan dimasukkan ke berita acara perkara. Dedi mengingatkan, rekonstruksi ini digelar sebagai bagian dari tindak lanjut rekomendasi TGIPF.

Markas Besar Kepolisian sebelumnya menetapkan enam tersangka yang dijerat dengan tindak pidana kelalaian yang mengakibatkan tewasnya 132 suporter pada 1 Oktober 2022. Tiga tersangka di luar unsur kepolisian meliputi Direktur PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, ketua panitia pelaksana pertandingan Abdul Haris, dan security officer Suko Sutrisno. Mereka dijerat dengan Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian yang berakibat pada kematian.

Hasil investigasi TGIPF menemukan adanya tembakan gas air mata ke segala arah oleh anggota kepolisian. Tindakan di luar prosedur yang paling disorot adalah penembakan gas air mata ke arah kursi penonton di tribun 13, sisi selatan Stadion Kanjuruhan. Tembakan gas air mata itu disinyalir memperparah situasi hingga korban kehabisan oksigen dan berdesak-desakan berupaya keluar dari stadion.

Dalam rekomendasinya, TGIPF meminta Polri menggelar rekonstruksi untuk menjerat sejumlah anggota kepolisian yang belum dimintakan pertanggungjawaban. Mereka, di antaranya, adalah personel kepolisian yang menyediakan gas air mata dan menembakkannya. TGIPF juga merekomendasikan Polri agar menyelidiki pejabat yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian, yaitu Direktur Intelijen dan Keamanan Kepolisian Daerah Jawa Timur.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi, menilai rekonstruksi yang tidak memasukkan adegan tembakan ke arah tribun sebagai hal yang ajaib. Edwin mengatakan, video berdurasi 16.26 menit yang didapatkannya dengan gamblang menggambarkan adegan aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. “Itu yang membuat kasus Kanjuruhan ini mempunyai keunikan tersendiri dibanding pengungkapan kasus pembunuhan di Duren Tiga, Jakarta Selatan,” kata Edwin. Dia berharap hal ini diketahui dan dievaluasi oleh Mahfud Md., Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga mengampu Ketua TGIPF.

Penonton membawa rekannya yang terkena gas air mata dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Dosen hukum pidana dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Rony Saputra, menjelaskan, laporan TGIPF, LPSK, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menunjukkan adanya tindakan represif kepolisian berupa penembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Jauh sebelum hasil investigasi TGIPF diserahkan kepada Presiden, fakta tersebut juga telah terungkap dalam rekaman video yang beredar luas di media sosial. “Patut diduga ini hanya untuk meloloskan peran polisi sebagai penyebab utama meninggalnya ratusan suporter,” kata Rony.

Semestinya penyidik menggelar rekonstruksi yang memuat fakta-fakta di lapangan ihwal penembakan gas air mata. Rekaman video yang beredar luas dapat menjadi alat bukti untuk memperkuat keterangan para saksi dan tersangka. Dengan begitu, rekonstruksi dapat membangun kronologi peristiwa dugaan tindak pidana kelalaian.

Menurut Rony, proses rekonstruksi amat penting karena bertujuan mengusut para pelaku yang memantik pelatuk senjata pelontar gas air mata ke arah lapangan dan tribun. Lebih jauh lagi, rekonstruksi juga bisa merunut para pejabat di kepolisian yang menyediakan dan memerintahkan penembakan gas air mata di dalam stadion. "Jika hal itu tak ada dalam rekonstruksi, maka muskil bagi kepolisian bakal bisa mengungkap siapa yang bertanggung jawab dalam tragedi ini."

Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan, semestinya pengungkapan kasus Kanjuruhan menjadi titik awal bagi pemerintah untuk melakukan reformasi peradilan, terutama memperbaiki tingkat kepercayaan publik kepada Polri yang kian luntur. “Khusus tragedi Kanjuruhan, menarik bila dalam rekonstruksi tidak ditemukan penembakan gas air mata ke arah tribun. Padahal, dilihat dari berbagai sisi, jelas gas air mata ditembakkan ke arah tribun,” ucap dia.

Menurut Feri, kasus ini tak akan tuntas bila diselidiki oleh Markas Besar Kepolisian. Penyebabnya, banyak aktor yang terlibat dalam tragedi tersebut merupakan polisi. Dia mendesak agar Kejaksaan Agung mengambil alih dan memimpin penanganan kasus. Jika penanganan dibiarkan diserahkan kepada polisi, pengungkapan kasus berpotensi tidak tuntas.

Deputi V Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenkopolhukam, Armed Wijaya, enggan mengomentari tidak adanya adegan penembakan gas air mata ke arah tribun Kanjuruhan dalam rekonstruksi tersangka dari unsur kepolisian. Dia hanya menyebutkan rekonstruksi kali ini merupakan amanat TGIPF yang sebelumnya merekomendasikan agar polisi menggelar rekonstruksi. "Saya hadir di sini atas perintah dari Bapak Menkopolhukam, selaku ketua TGIPF,” ujarnya.

Menurut dia, tujuan rekonstruksi adalah memperjelas situasi di lapangan ketika tragedi Kanjuruhan memakan ratusan nyawa. Proses rekonstruksi untuk menggambarkan peristiwa dari rekaman closed-circuit television (CCTV) yang ada di stadion. Harapannya, rekonstruksi ini akan membantu jaksa penuntut umum dalam proses persidangan di pengadilan.

AVIT HIDAYAT | EKA YUDHA | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus