Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban Akbar ini menunjukkan bahwa pemerintah--dalam hal ini Habibie--masih kukuh berpegang pada pendapatnya bahwa tak diperlukan acara semacam dialog nasional. Bagi Habibie, kegiatan dialog, rembuk, atau rekonsiliasi nasional bukanlah hal yang mudah. "Nanti siapa yang akan diundang? Tokoh di Jakarta belum tentu tokoh di daerah. Nanti malah menciptakan lebih banyak masalah," ujarnya seusai menerima peserta kursus Lemhanas, Senin pekan lalu.
Cara yang paling tepat untuk berdialog, kata A.A. Baramuli, Ketua Dewan Pertimbangan Agung yang lebih kerap menjadi juru bicara Habibie itu, adalah melalui pemilu, karena saat itu semua golongan serta pemikiran, baik melalui partai maupun organisasi massa, dapat dikeluarkan oleh orang yang berhak memilih. Baramuli menilai, bila rekonsiliasi dilakukan sekarang, belum tentu hasil pembicaraan yang disepakati dapat diterima oleh pemerintah yang terpilih. "Nanti malah kerja dua kali," katanya kepada Agus S. Riyanto dari TEMPO.
Pendapat kubu Habibie ini dikeluarkan untuk menjawab ide dialog nasional yang dilontarkan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI Agum Gumelar, 23 November silam. Ide ini bergulir dan disetujui oleh beberapa pihak. Penanda tangan Kesepakatan Ciganjur, Gus Dur, misalnya, menganggap rekonsiliasi atau dialog nasional merupakan agenda yang paling mendesak untuk dilaksanakan bangsa Indonesia. Sebab, situasi saat ini, katanya, telah mengarah pada revolusi sosial. Untuk itu, semua elite, baik yang duduk di pemerintahan maupun yang tidak, perlu menjalin kerja sama.
Pernyataan Gus Dur ini disetujui Daniel Sparingga. Pengamat politik Universitas Airlangga Surabaya ini gemas bukan alang-kepalang melihat ulah para elite yang bersikukuh pada posisi mereka dan tak memikirkan kepentingan bangsa. "Ini satu-satunya kesempatan yang tersisa untuk mencegah hancurnya negeri ini. Tanpa adanya usaha meredakan ketegangan sama saja dengan membiarkan bangsa ini tercabik-cabik," ujarnya kepada Munib Rofiqi dari TEMPO.
Seberapa buruk krisis kali ini? Para pembicara dan peserta konferensi Democracy in Indonesia: The Crisis and Beyond, yang digelar Universitas Monash dan Universitas Melbourne pekan lalu, menganggapnya sudah begitu parah dan akan terus memburuk karena tak ada perbaikan. Peneliti politik Universitas Murdoch, Vedi Hadiz, misalnya, menyebut isu soal jatah kursi ABRI di DPR yang menguntungkan status quo. Mahasiswa doktoral Australian National University, Mohamad Chatib Basri, menunjuk lemah dan runtuhnya sistem perbankan nasional yang mengakibatkan mengalirnya dana ke luar negeri dan sebagainya. Pendeknya, konferensi yang berlangsung selama dua hari itu menilai jalan menuju demokrasi di Indonesia masih panjang serta penuh kerikil dan onak duri.
Para tokoh boleh bersilang pendapat, tapi Habibie sejauh ini belum bergeser dalam sikap dan keyakinannya. Ia menolak dialog nasional, khawatir akan timbul berbagai masalah. Namun, Daniel menduga, Habibie takut kalau-kalau kelompok Ciganjur akan menyingkirkannya. Menanggapi sikap Habibie, Agum tidak berhasil menyembunyikan perasaannya. "Saya sebenarnya kecewa. Saya membaca Habibie merasa perlu membayar mahal bila event semacam ini terselenggara," ujar Agum.
Walau kecewa, jenderal berbintang tiga ini tidak menyerah. Diakuinya, kendati pemerintah tidak menyetujui ide dialog nasional yang didukung oleh Panglima ABRI Wiranto itu, diam-diam ia dan lembaganya (Lemhanas) masih menyiapkan rangkaian format dan konsep untuk rembuk nasional. Beberapa tokoh organisasi massa dan organisasi sosial politik, seperti Barisan Nasional, Ikatan Alumni UI, Partai Amanat Nasional, dan Nahdlatul Ulama, sudah dijadwalkan bertemu dengannya untuk membicarakan ide itu.
Sambil menunggu sikap pemerintah melunak, mantan Komandan Komando Pasukan Khusus ini mengakui, kini ia sibuk menjalin lobi untuk meyakinkan Habibie. "Bersabar saja dulu sampai situasinya dingin. Yang penting, saya akan melibatkan semua komponen bangsa," janji Agum.
Wicaksono, Hani Pudjiarti, Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo