Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Batu Sandungan Peralihan Status

DPR menilai rencana Kapolri Listyo Sigit untuk merekrut pegawai KPK merupakan jalan tengah bagi 57 korban TWK KPK. Usul ini bisa terbentur aturan di Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Nasional.

5 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komisi Hukum DPR menyoroti berbagai sisi positif dan negatif rencana Kapolri Listyo Sigit untuk merekrut 57 korban TWK KPK ke Mabes Polri.

  • Novel Baswedan dan kawan-kawan bisa memperbaiki semangat antikorupsi di Mabes Polri.

  • Perekrutan harus bersandar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara.

JAKARTA – DPR angkat suara soal pengalihan 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi korban tes wawasan kebangsaan (TWK KPK) ke Markas Besar Kepolisian RI. Namun sejumlah anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum tak mau buru-buru menilai baik-buruk rencana yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Trimedya Panjaitan, mengatakan aturan untuk mengangkat para pegawai yang telah dipecat KPK itu bukan hal mudah. “Ini masih dibahas oleh Kapolri,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Trimedya, hal yang mesti dipastikan sekarang adalah apakah Kelompok 57—termasuk penyidik senior Novel Baswedan yang merupakan eks polisi—menerima pinangan Mabes Polri itu. Sebab, budaya kerja di kepolisian dan KPK tidak sama, sehingga dapat menjadi kendala bagi para pegawai tersebut. “Ini patut ditunggu karena saya lihat Novel dan kawan-kawan masih menunggu kepastian tawaran dari Polri,” ujar dia.

Trimedya menyatakan pengangkatan 57 mantan pegawai andalan KPK sebagai penegak hukum merupakan jalan keluar atas polemik TWK KPK yang berlangsung sejak Mei lalu. Kapolri, dia melanjutkan, bisa jadi ingin memberikan jalan keluar kepada pegawai KPK dengan harapan akan memperbaiki semangat antikorupsi di Korps Bhayangkara.

Trimedya Panjaitan. Tempo/Imam Sukamto

Hal senada diungkapkan anggota Komisi III lainnya, Johan Budi Sapto Pribowo. Dia mengatakan keinginan Kapolri untuk mengajak para pegawai KPK yang dipecat masuk kepolisian itu merupakan niat baik. Johan menyebut rencana ini sebagai jalan tengah bagi 57 orang yang per 30 September lalu resmi dipecat dari KPK tersebut. “Namun Kapolri harus berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Nasional dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ihwal mekanismenya,” kata eks juru bicara KPK itu.

Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengapresiasi langkah Listyo Sigit Prabowo yang ingin merekrut Kelompok 57 ke Badan Reserse Kriminal. Dia menilai ada sisi kemanusiaan di balik rencana tersebut. “Itu tidak saja bentuk penghargaan terhadap sumber daya manusia KPK yang terbuang, tapi juga menjaga hak warga negara untuk mendapat pekerjaan yang layak,” ujar dia.

Meski demikian, Arsul berharap pinangan Mabes Polri itu tidak terganjal aturan yang menjadi wewenang Kementerian PAN-RB dan BKN. “Jika melihat sikap-sikap kementerian dan lembaga terkait, kesannya ke-57 pegawai KPK ini bukan manusia-manusia yang bisa diperbaiki wawasan kebangsaannya. Setelah Kapolri membuka pintu penerimaan, masih menyisakan pertanyaan apakah kementerian dan lembaga terkait tidak akan menjadi batu sandungan,” katanya.

Kisruh TWK KPK ini berawal dari revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan pemerintah. Seusai pembahasan yang kilat di DPR—diwarnai unjuk rasa penolakan di berbagai kota—peraturan ini disahkan pada September 2019. Salah satu poin revisi UU itu adalah perubahan status KPK dari lembaga independen menjadi bagian dari rumpun eksekutif. Dampaknya, status pegawainya pun beralih menjadi aparat sipil negara.

Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan terkait pemberhentian dengan hormat pegawai KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 15 September 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Pimpinan KPK di bawah Komisaris Jenderal Firli Bahuri membuat aturan yang mewajibkan tes wawasan kebangsaan sebagai syarat peralihan status pegawai. Sebanyak 57 orang dinyatakan tak lolos tes tersebut. Separuhnya merupakan penyidik dan penyelidik kasus korupsi besar, serta sebagian lainnya merupakan karyawan yang sudah lama menentang revisi Undang-Undang KPK dan penunjukan Firli Bahuri sebagai ketua lembaga tersebut.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman menyatakan bahwa TWK KPK mengandung pelanggaran hak asasi dan maladministrasi. Namun protes akademikus dan aktivis antikorupsi agar Presiden Joko Widodo, sebagai pucuk pemimpin aparat negara, membatalkan pemecatan itu tak kunjung berbuah. Pada hari-hari terakhir menjelang pemecatan, Jenderal Sigit membuka pintu Markas Besar Polri untuk para pegawai tersebut. Sigit mengatakan rencana itu disetujui Presiden.

BKN belum menjalankan langkah apa pun terkait dengan rencana Kapolri itu. “Belum ada,” ujar Kepala BKN, Bima Haria Wibisana.

Adapun Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengingatkan soal adanya ketentuan yang tak bisa dilanggar dalam perekrutan korban TWK KPK itu, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. “Tentu perlu cek detail. Nanti tim BKN dan Polri mendalaminya,” kata Tjahjo.

MAYA AYU PUSPITASARI | ANDITA RAHMA | MIRZA BHAGASKARA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus