Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Republik Komunalisme atau Republik Masyarakat Sipil?

Berdemokrasi tanpa Masyarakat Sipil", mungkin menjadi pernyataan anakronis, terburu-buru. Sama terburu-burunya jika kita meyakini bahwa masyarakat sipil dalam bangunan demokrasi Indonesia telah berperan utuh. Kedudukan masyarakat sipil, sejak awal rezim reformasi, nyatanya telah dikampanyekan sebagai kaki utama dari "segitiga demokrasi"-pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil.

15 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alwy Rachman
Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Berdemokrasi tanpa Masyarakat Sipil", mungkin menjadi pernyataan anakronis, terburu-buru. Sama terburu-burunya jika kita meyakini bahwa masyarakat sipil dalam bangunan demokrasi Indonesia telah berperan utuh. Kedudukan masyarakat sipil, sejak awal rezim reformasi, nyatanya telah dikampanyekan sebagai kaki utama dari "segitiga demokrasi"-pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil.

Di dalam proses pengukuhan, masyarakat sipil diasosiasikan ke kelompok aktivis non-pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan asosiasi-asosiasi lain, yang secara teoretis dipercaya sebagai kelompok "penyeimbang" di antara hegemoni negara dan dominasi pengusaha. Masyarakat sipil dibayangkan sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang berjuang untuk kepentingan masyarakat luas.

Di dalam dinamikanya, kelompok-kelompok masyarakat sipil mengalami "diminutive", semacam pengecilan makna peran. Suara masyarakat sipil dicerna sebagai suara "antagonis". Wajahnya ditelikung dengan membentuk "masyarakat sipil pelat merah", "LSM pelat merah", melalui ragam penamaan. Pelakunya tak lain orang-orang yang duduk di pemerintahan, atau yang punya akses ke pemerintahan. Pun oleh segelintir politikus.

Sialnya, penelikungan "masyarakat sipil" muncul dengan wajah korupsi di berbagai wilayah. Korupsi dana bantuan sosial, misalnya, telah menjadi petunjuk benderang bahwa "arena masyarakat sipil" menjadi "wilayah rebutan" oleh politikus dan kekuasaan yang korup. Di sini, "arena masyarakat sipil" kehilangan pesona dan kredibilitas. lll

Segenap peristiwa di arena politik, di paruh pertama rezim reformasi, adalah indikasi bahwa demokrasi di Indonesia masih menunggu proses transformasi sosial. Rezim reformasi, pada faktanya, tertatih mengelola perubahan sosial, dari watak komunal dan primordial di era Orde Baru menjadi watak publik yang bisa menghidupi demokrasi. Itu pun kalau semua pihak percaya bahwa masyarakat sipil adalah bagian niscaya dari segitiga demokrasi.

Dengan merefleksi perilaku Orde Baru, watak komunal rezim reformasi menjadi sorotan. Melalui pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki pada 2000, Todung Mulya Lubis mengkritik ciri mendasar dari pertumbuhan partai baru yang masih saja mengedepankan unsur komunalistik. Padahal, unsur komunalistik ini berakibat pada hegemoni negara, menjelmakan dominasi kelompok, dan akhirnya menjalankan kekuasaan dengan kekerasan.

Kritik Mulya Lubis ditujukan kepada partai-partai di rezim reformasi. Unsur komunalistik didudukkan sebagai penghambat utama kerangka pembentukan masyarakat madani. Sifat komunalistik yang dibawa oleh partai ke dalam kekuasaan akan mempersempit artikulasi kepentingan masyarakat luas. Akhirnya, partai tak lebih dari ruang komunal, begitu kira-kira kritik Mulya Lubis.

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2010, di tempat sama, juga dalam pidato kebudayaan, Rocky Gerung mendalilkan komunalisme sebagai alam berpikir konservatif, yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi. Komunalisme politik bukan politik ruang publik. Politik di sini dipertukarkan secara personal. Jadi, politikus yang bertarung, misalnya, boleh jadi bukan urusan masyarakat luas. lll

Tak bisa kita menyangkal, republik yang kita proklamasikan dilatari ratusan etnik. Ratusan wajah etnik, dengan demikian, adalah wajah komunal yang menjadi latar negara kebangsaan. Meminjam perspektif Emile Durkheim, sebuah bangsa berdiri di atas latar lokalitas. Kebangsaan tak lain adalah himpunan lokalitas, tempat kita bertemu dengan ratusan perangai komunal.

Pun kita tak mampu ingkar, kawasan komunal adalah jejak bangsawan, yang dalam sejarah telah mereposisi "kebangsaan versi lokalitas" menjadi "kebangsaan versi negara". Kerelaan para bangsawan ini sejatinya dibaca sebagai kesediaan mentranformasikan "kawasan lokal berwatak komunal" menjadi "kawasan nasional berwatak demokratis", untuk dan atas nama Indonesia.

Politik memang perang merebut kekuasaan. Ilmuwan kritis Foucault bilang, "Politik adalah perang yang diselenggarakan dengan cara lain." Tapi, penasihat Hitler, Clausewitz, juga bilang, "Perang adalah politik yang diselenggarakan dengan cara lain." Kita seharusnya berbesar hati bahwa etnisitas pada dirinya membawa ciri komunal. Sejatinya, kita tak menyalahgunakannya, tak memanipulasinya, dan tak mengeksploitasinya untuk perang merebut kekuasaan.

Mari berpolitik dengan menghayati kritik kedua pemikir demokrasi Indonesia. Mari mengenali dua problematika demokrasi Indonesia kontemporer. Kita seperti berada di dua republik-Republic of Hope dan Republic of Fear-begitu pesan metafor Rocky Gerung. Kita menyaksikan demokrasi yang kehilangan dagingnya dan rakyat kembali melihat tulang-tulang yang berserakan, begitu pesan afirmatif Mulya Lubis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus