Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mendorong pendidikan vokasi untuk mengurangi tingkat pengangguran, tapi BPS menyebutkan lulusan SMK menjadi kelompok pengangguran terbesar.
Peneliti dari UGM mendapati sejumlah faktor yang membuat mayoritas lulusan SMKN Jawa Tengah di Semarang terserap industri dan perguruan tinggi.
Resep SMKN Jateng bisa dicontoh SMK lain untuk mengurangi tingkat pengangguran.
Meski terus mengalami perbaikan, angka kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia masih terbilang tinggi, yakni sebesar 9,36 persen. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang penting dalam pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2020 menunjukkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia harus mampu membalikkan piramida kualifikasi tenaga kerja yang saat ini mayoritas masih berpendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama menjadi tenaga kerja yang terdidik serta terampil sehingga dapat memaksimalkan bonus demografinya. Tenaga kerja yang berdaya saing dan terampil salah satunya dilahirkan dari pendidikan serta pelatihan vokasi yang bermutu dan relevan dengan tuntutan dunia usaha serta industri yang terus berkembang.
Namun data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan proporsi pengangguran terbesar adalah lulusan sekolah menengah kejuruan, yakni sebanyak 9,6 persen dari populasi usia produktif per Februari 2023.
Penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) berkolaborasi dengan Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRK BRIN) terhadap sekolah menengah kejuruan gratis berbasis asrama di Jawa Tengah pada 2023—belum dipublikasikan—menunjukkan bahwa investasi SDM bisa menjadi bagian penting dalam langkah panjang menghadapi persoalan ini. Program ini efektif untuk memutus rantai kemiskinan di Jawa Tengah karena hampir 85 persen lulusannya dapat terserap, baik di dunia usaha, industri, maupun perguruan tinggi.
Melalui tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran bagaimana SMK Negeri Jawa Tengah—yang pendanaannya berasal dari dana pemerintah provinsi—dapat menjadi role model mengembangkan sekolah sejenis di Indonesia.
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Jawa Tengah Semarang membuka kelas industri “Buma School” mulai awal Januari 2019. jatengprov.go.id
Sekilas SMKN Jateng
Tujuan riset kami adalah menemukan inovasi program yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan kualitas SDM penduduk muda usia produktif di era bonus demografi.
Provinsi Jawa Tengah menjadi obyek penelitian kami karena menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), provinsi tersebut memasuki kategori periode bonus demografi lebih awal (pada sekitar 2000 dan 2010-an) dan diperkirakan berakhir pada 2030-an. Era bonus demografi merujuk pada ledakan populasi penduduk usia produktif, 15-64 tahun, yang diperkirakan dialami Indonesia pada 2030.
Riset kami menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dengan beberapa organisasi perangkat daerah di Provinsi Jawa Tengah dan analisis data sekunder dari data Badan Pusat Statistik serta dokumen terkait.
Sebagai pengantar, SMK Negeri Jawa Tengah diresmikan pada 2 Juni 2014 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Mohammad Nuh, beserta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Nur Hadi Amiyanto.
SMKN Jateng terdiri atas tiga sekolah berkonsep full-boarding, yaitu SMK Negeri Jawa Tengah kampus Semarang, SMK Negeri Jawa Tengah kampus Pati, dan SMK Negeri Jawa Tengah kampus Purbalingga serta 15 sekolah semi-asrama tersebar di berbagai kabupaten/kota.
Didirikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, misi SMKN Jateng adalah memutus rantai kemiskinan masyarakat. Tujuan penyelenggaraan SMKN Jateng adalah untuk mempersiapkan SDM berkualitas yang berasal dari keluarga kurang mampu melalui pendidikan gratis sekaligus memberikan motivasi bagi seluruh masyarakat Jawa Tengah. Siswa tidak ditarik biaya, bahkan semua kebutuhan hidup selama belajar di SMKN Jateng sudah ditanggung.
SMKN Jateng menawarkan berbagai program keahlian, yaitu teknik konstruksi dan perumahan; teknik permesinan; teknik elektronika industri; teknik kendaraan ringan otomotif; teknik instalasi tenaga listrik; teknik bodi kendaraan ringan; agribisnis pengolahan hasil pertanian; teknik permesinan; serta teknik pengelasan.
Angka peminat SMKN Jateng terbilang sangat tinggi. Setiap kali pendaftaran, jumlah peminat membeludak hingga 3.000 orang. Selain harus berstatus sebagai warga Jawa Tengah, calon siswa wajib mengikuti rangkaian proses seleksi yang di antaranya melingkupi tes akademis, tes kesehatan, dan psikotes.
Kegiatan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Jawa Tengah Semarang. jatengprov.go.id
Keunggulan SMKN Jateng
Hasil riset kami menunjukkan bahwa SMKN Jateng mempunyai beberapa keunggulan dalam konteks upaya pengentasan kemiskinan di provinsi itu.
Pertama, seluruh pembiayaan di SMK ini gratis tanpa dipungut biaya apa pun. Selain itu, peserta didik mendapatkan fasilitas asrama, makan, seragam, dan perlengkapan alat tulis kebutuhan sekolah.
Kedua, program sekolah gratis ini dapat mendorong lulusan SMKN Jateng berpenghasilan tinggi dan bisa meneruskan ke jenjang yang lebih baik.
Ketiga, SMKN Jateng mampu menghubungkan dan membangun kerja sama ke perusahaan atau industri guna menyerap tenaga kerja. Berkat kerja sama dengan perusahaan, siswa SMKN Jateng yang lulus bisa langsung mulai mencari nafkah.
Sebagai contoh, SMKN Jateng membuka kelas industri “Buma School” sejak Januari 2019. Kelas industri itu didirikan bekerja sama dengan PT Bukit Makmur Mandiri Utama atau biasa disebut PT Buma, perusahaan tambang batu bara nasional. Siswa SMKN Jateng yang mengikuti kelas industri, sejak kelas XI, akan dididik menggunakan kurikulum khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Siswa yang mengikuti program itu akan diangkat menjadi karyawan tetap.
Keempat, SMKN Jateng menggunakan kurikulum yang berbeda dengan sekolah pada umumnya, yakni kurikulum umum dan kurikulum khusus. Kurikulum umum menitikberatkan pada penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan standar kompetensi yang ditentukan. Kurikulum khusus menitikberatkan pada pembentukan watak dan kepribadian siswa.
Kelima, riset kami menemukan bahwa program SMKN Jateng memiliki efektivitas yang tinggi karena mendidik dengan kualitas yang bagus. Jumlah peserta didik pada tiap rombongan belajar hanya 24 anak sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan secara efektif.
Keenam, SMKN Jateng dapat mengentaskan kemiskinan, karena nantinya anak-anak yang lulus dapat langsung bekerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
SMKN Jateng menghasilkan lulusan yang menjadi pelopor dan penggerak pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah. Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, sejak 2014, SMKN Jateng telah meluluskan 1.837 siswa, terdiri dari 825 lulusan SMKN Jawa Tengah kampus Semarang, 336 lulusan SMKN Jawa Tengah kampus Pati, dan 676 lulusan SMKN Jawa Tengah kampus Purbalingga.
Teladan bagi Daerah Lain
Konsep pembelajaran SMKN Jateng bisa menjadi role model bagi provinsi lain di Indonesia.
Pemerintah daerah dan sekolah menengah kejuruan lainnya dapat meniru konsep SMKN Jateng dengan membentuk sistem seleksi yang ketat, membangun kurikulum khusus, memastikan sistem pengajaran yang efektif, memetakan kebutuhan pasar tenaga kerja, membina kerja sama dengan perusahaan, serta mendukung siswa tak mampu yang berprestasi.
Tak hanya itu, kami berpendapat bahwa SMKN Jateng bisa diangkat menjadi program nasional karena di daerah lain masih banyak anak yang tidak bisa sekolah karena terhambat biaya. Tak hanya membantu meningkatkan keterampilan populasi produktif, program ini bisa menjadi bagian dari jalan panjang memberantas kemiskinan di Indonesia.
---
Artikel ini ditulis oleh Sonyaruri Satiti, peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terbit pertama kali di The Conversation.