Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
CALS memantik api perlawanan dengan menolak DPR yang merevisi sejumlah undang-undang yang dinilai strategis.
Pembahasan dalam revisi undang-undang disebut minim partisipasi publik.
DPR membantah pernyataan proses legislasi lembaganya dikatakan hanya memenuhi keinginan syahwat politik.
Contitutional and Administrative Law Society atau CALS memantik api perlawanan guna menolak Dewan Perwakilan Rakyat yang kejar tayang merevisi sejumlah undang-undang yang dinilai strategis. Para akademikus yang tergabung dalam CALS menyurati Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani setelah Komisi Bidang Hukum DPR serta pemerintah menyetujui revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dibawa ke rapat paripurna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota CALS, Herdiansyah Hamzah, mengatakan perlawanan mesti dilakukan. Sebab, proses legislasi DPR benar-benar buruk karena melabrak prinsip umum dalam pembuatan dan revisi undang-undang hanya demi mementingkan syahwat politik segelintir elite. “Kami mempertimbangkan juga untuk mengajukan uji materi,” ujar Herdiansyah kepada Tempo, Senin, 20 Mei 2024. Dia menilai revisi yang dilakukan DPR terhadap sejumlah undang-undang yang dinilai strategis sengaja didesain untuk mengamankan pemerintahan saat ini sekaligus menjadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya yang ditengarai memiliki genus politik serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi undang-undang strategis yang dinilai melabrak prinsip tersebut tidak hanya merujuk pada revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Namun juga revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Keimigrasian, hingga rencana untuk membahas revisi Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI. Upaya merevisi undang-undang tersebut, menurut dia, tak lebih dari sekadar upaya menyandera undang-undang guna memuluskan jalannya pemerintahan baru, terutama revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Kementerian Negara.
Kepolisian Republik Indonesia saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 15 November 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Merujuk pada draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disetujui DPR dan pemerintah disebutkan, pada Pasal 23A, masa jabatan hakim konstitusi diatur menjadi 10 tahun. Namun, pada ayat 2 Pasal 23A ini, hakim konstitusi setelah lima tahun menjabat wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul guna memperoleh persetujuan untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya. “Ini seperti upaya untuk mengendalikan hakim konstitusi,” kata Herdiansyah.
Dengan adanya kewajiban setiap lima tahun bagi hakim konstitusi memperoleh rekomendasi dari lembaga pengusul untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya, Herdiansyah melanjutkan, Mahkamah Konstitusi dianggap telah dikooptasi agar dapat sejalan dengan agenda kepentingan lembaga pengusulnya. Pun, menurut dia, pengesahan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan muatan pasal seperti itu akan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dapat memberhentikan hakim di tengah masa jabatan atas dasar persetujuan lembaga pengusul. “Ini tidak masuk akal,” ujarnya.
Sembilan hakim konstitusi dengan masing-masing tiga hakim berasal dari tiga lembaga pengusul. Ketiga lembaga pengusul adalah DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung. Pada Senin pekan lalu, pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly sepakat membawa revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ke rapat paripurna DPR.
Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, mengatakan persetujuan untuk membawa revisi ini ke paripurna merupakan hal yang telah disetujui sejak lama oleh semua fraksi di Komisi Bidang Hukum. “Jadi kemarin kami hanya mendengarkan pendapat pemerintah. Mereka setuju, kami lanjutkan ke paripurna,” kata Sarifuddin.
Legislator Partai Amanat Nasional tersebut tidak menampik pernyataan bahwa salah satu pasal yang disetujui oleh DPR dan pemerintah ke rapat paripurna adalah soal batas usia serta masa jabatan hakim konstitusi. Pasal tersebut diklaim telah disetujui oleh semua fraksi partai politik di Komisi Bidang Hukum DPR, meski saat pleno mendengarkan pendapat pemerintah tidak semua legislator di komisi tersebut hadir. “Memang ada yang tidak hadir karena masih reses. Namun ini telah disetujui semua fraksi,” ujarnya.
Perlawanan menolak revisi undang-undang tak hanya dilakukan CALS. Koalisi masyarakat sipil juga berencana menggugat revisi undang-undang yang dinilai bermasalah ini apabila DPR dan pemerintah tetap ngotot mengesahkan. Perwakilan koalisi, Muhammad Isnur, menilai revisi Undang-Undang Kementerian Negara sarat kepentingan politik. Sebab, alih-alih menindaklanjuti rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi prioritas masyarakat, DPR memilih merevisi undang-undang yang tak memiliki urgensi.
Menurut Isnur, revisi Undang-Undang Kementerian Negara, misalnya, mengubah aturan pada Pasal 15 yang mengatur jumlah kementerian maksimal 34. Apabila revisi Undang-Undang Kementerian Negara tidak berubah sampai tahap pengesahan menjadi undang-undang, ujar Isnur, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki keleluasaan untuk membentuk kabinet besar dengan menambah jumlah kementerian atau lembaga dari semula 34 menjadi kurang atau lebih.
Dengan adanya keleluasaan dari DPR, kata dia, pemerintahan Prabowo-Gibran diberi karpet merah membentuk kabinet besar sebagai upaya mengakomodasi kepentingan politik para loyalis. Alih-alih membentuk kabinet zaken, Isnur menilai nantinya ditengarai malah akan meningkatkan tindakan koruptif di kementerian karena besarnya anggaran yang mesti dikucurkan. “Jika ini terjadi, kami akan melawan dengan cara apa pun. Entah menggugat di Mahkamah ataupun dengan aksi penolakan,” ujar dia.
Dalam kesempatan terpisah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) akan melakukan perlawanan menolak isi pasal yang dinilai membungkam pers dalam revisi Undang-Undang Penyiaran. Ketua AJI Nani Afrida meminta DPR menangguhkan pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran sampai dilantiknya anggota DPR periode baru. Sebab, diperlukan partisipasi publik untuk mengurusi proses revisi tersebut. “Penyiaran itu sangat kompleks. Kami minta DPR menangguhkan,” kata Nani.
Dalam salinan draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang diperoleh Tempo, disebutkan Pasal 50B ayat 2 melarang tayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal tersebut dinilai tak sesuai dengan Undang-Undang Pers. Pun dengan Pasal 8A huruf q yang mengatur kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam penyelesaian sengketa jurnalistik. Pasal tersebut berpotensi tumpang-tindih antara KPI dan Dewan Pers, lembaga yang telah diatur undang-undang untuk menangani penyelesaian sengketa jurnalistik.
Tentara Republik Indonesia saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 21 Maret 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Perlawanan lain juga bakal dilakukan apabila DPR berkeras mengesahkan revisi Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan menilai pembahasan dalam revisi tersebut amat minim partisipasi publik dan substansinya tak akan menyelesaikan masalah di kedua institusi tersebut. Perwakilan koalisi, Andi Muhammad Rezaldy, mengatakan terdapat sejumlah catatan terhadap revisi Undang-Undang Kepolisian.
Menurut dia, rencana perpanjangan batas usia pensiun anggota Polri dan perpanjangan masa jabatan fungsional tidak memiliki urgensi serta dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam lingkup internal kepolisian. “Ini tidak menyelesaikan masalah internal, malah membuat penumpukan jumlah perwira di Polri,” kata Andi.
Begitu juga dengan revisi Undang-Undang TNI. Perwakilan koalisi, Julius Ibrani, mengatakan revisi ini mesti ditolak sebelum disahkan DPR. Sebab, dari draf terakhir yang diperoleh koalisi, sejumlah usulan perubahan pasal dinilai bakal membahayakan kehidupan berdemokrasi dan hak asasi manusia karena usulan tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI.
Herdiansyah Hamzah mendukung upaya perlawanan yang bakal dilakukan koleganya di koalisi. Menurut pengajar di Universitas Mulawarman ini, perlawanan tidak hanya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Perlawanan terhadap revisi undang-undang yang sarat kepentingan politik ini, kata dia, dapat dilakukan dengan beragam bentuk.
Adapun anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Guspardi Gaus, membantah pernyataan bahwa proses legislasi lembaganya hanya memenuhi keinginan syahwat politik segelintir elite. Dia menegaskan, revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara, misalnya, dilakukan guna menyesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika politik hari ini. “Ini juga dilakukan atas pertimbangan putusan Mahkamah, bukan untuk kepentingan segelintir pihak,” ujarnya.
Begitu pula revisi Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI. Legislator PAN ini mengatakan Baleg melalui tenaga ahli masih mengkaji pembahasan revisi. “Belum ada tanda-tanda bahwa undang-undang itu akan diubah. Semua masih dikaji dan akan dibahas nanti. Belum final,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo