Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agenda Terselubung Membentuk Dewan Pertimbangan Agung

Pengusulan revisi UU Wantimpres berlangsung singkat. Siapa diuntungkan perubahan nama Wantimpres jadi Dewan Pertimbangan Agung?

11 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proses Pengusulan Revisi UU Wantimpres Serba Singkat.

  • Ada Komunikasi Dasco ke Ketua Baleg Soal Rencana Revisi UU Wantimores.

  • Lima Pasal Diusulkan Direvisi

SUPRATMAN Andi Agtas menelepon satu per satu ketua kelompok fraksi di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat, Senin malam, 8 Juli 2024. Ketua Baleg itu menginformasikan rencana merevisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), termasuk poin-poin yang masuk dalam perubahan. Satu di antaranya salin rupa nama Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang anggota Baleg mengatakan Supratman menginformasikan kepada pemimpin kelompok fraksi bahwa politikus Partai Gerindra itu mendapat pesan dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Dasco merupakan atasan Supratman di Gerindra. Dasco menjabat Ketua Harian DPP Partai Gerindra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dasco, kata anggota Baleg ini, juga menyebutkan sejumlah poin yang akan diubah. “Poin-poin itu lantas dirumuskan, lalu Pak Supratman menginformasikannya ke kelompok fraksi,” kata anggota Baleg ini, dua hari lalu.

Saat dimintai konfirmasi, Supratman membenarkan sudah menelepon para ketua kelompok fraksi di Baleg. “Iya, kan bahwa akan ada usulan,” kata Supratman, Rabu, 10 Juli 2024.

Supratman membantah agenda revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden ini atas arahan dari Dasco. “Enggak ada (perintah Dasco). Itu kan dari DPR, yang punya usulan, yang punya legislasi,” katanya.

Dasco yang dimintai konfirmasi tak bersedia menjawab pertanyaan Tempo. “Enggak mau komen, mau ditulis apa saja silakan,” kata Dasco lewat pesan WhatsApp, kemarin.

Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas. dpr.go.id

Setelah Supratman menelepon para ketua kelompok fraksi, draf revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden beredar di anggota Baleg hingga sebagian anggota DPR di luar Badan Legislasi, esok harinya. Dalam draf itu, Baleg mengusulkan perubahan lima pasal, yaitu Pasal 1, 2, 7, 9, dan 12, serta ditambah aturan peralihan pada Pasal II.

Poin-poin utama revisi ini mengatur perubahan nama Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung, menetapkan status DPA sebagai lembaga negara, jumlah anggota DPA tak dibatasi atau disesuaikan dengan kebutuhan presiden, serta larangan rangkap jabatan. Revisi ini juga menghapus larangan anggota partai politik dan organisasi masyarakat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Setelah rapat paripurna DPR pada Selasa, 9 Juli 2024, Baleg menggelar rapat tertutup untuk membahas usulan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden. Rapat itu berlangsung singkat. Lalu Baleg menggelar rapat untuk memutuskan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden menjadi usul inisiatif DPR.

Semua fraksi di Baleg menyetujui revisi tersebut menjadi usul inisiatif DPR. Baleg lantas mengajukan agenda revisi ini ke rapat paripurna DPR untuk mendapat persetujuan.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sturman Panjaitan, mengatakan dirinya sempat terkejut setelah mengetahui UU Dewan Pertimbangan Presiden direvisi. Ia mengatakan perubahan undang-undang ini tidak masuk Program Legislasi Nasional 2024.

“Kok, bisa muncul barang itu? Saya juga bertanya-tanya, tidak ada di Prolegnas, tidak ada di mana-mana,” kata Sturman saat ditemui di DPR, Rabu, 10 Juli 2024.

Supratman Andi Agtas mengatakan tidak masalah jika DPR mengubah nama Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung dengan status baru sebagai lembaga negara. Legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Tengah ini berdalih bahwa nama Dewan Pertimbangan Agung dengan status sebagai lembaga negara tidak akan mengembalikan lembaga Dewan Pertimbangan Agung pada masa Orde Baru atau sebelum amendemen UUD 1945. Keberadaan DPA dalam UUD 1945 sebelum diamendemen menyebutkan bahwa status institusi tersebut sebagai lembaga tinggi negara.

“Kalau lembaga negara banyak sekarang. Dewan enggak mungkin balik ke UUD 1945. UUD itu mengenal lembaga tinggi, lembaga tinggi negara,” ujar Supratman.

Supratman juga membenarkan bahwa pasal yang melarang anggota partai politik maupun organisasi masyarakat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dihapus dalam draf revisi. Ia mengatakan rapat Baleg sudah menyepakati penghapusan pasal larangan tersebut.

“Itu disepakati kemarin untuk tidak ada lagi larangan,” kata Supratman. “Jadi, bukan hanya untuk anggota partai politik, tapi juga semua yang duduk sebagai pimpinan ormas juga boleh (menjadi anggota).”

Seorang anggota Baleg mengatakan Dewan Pertimbangan Agung nantinya itu diperuntukkan pemerintahan Prabowo Subianto mendatang. Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024.

Ia mengatakan lembaga itu bakal menampung para tokoh nasional, pemimpin organisasi masyarakat, hingga pengurus partai politik pendukung Prabowo dalam pemilihan presiden 2024. Karena itu, jumlah anggota DPA tidak dibatasi, melainkan diserahkan kepada presiden untuk memutuskan sesuai dengan kebutuhannya.

Anggota DPR lainnya mengatakan DPA ini juga diduga disiapkan sejak awal untuk menampung Joko Widodo setelah purnatugas sebagai presiden. “Itu diduga buat Pak Jokowi,” kata anggota Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum ini.

Saat dimintai konfirmasi soal ini lewat WhatsApp, Supratman belum menjawabnya. Baik Menteri Sekretaris Negara Pratikno maupun Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana juga belum merespons upaya konfirmasi Tempo.

Politikus Partai Gerindra, Maruarar Sirait, berharap Joko Widodo nantinya menjadi anggota DPA. Mantan politikus PDI Perjuangan ini mengatakan Jokowi memiliki pengalaman sebagai negarawan, dari wali kota, gubernur, hingga presiden. “Saya berdoa dan saya yakin,” kata Maruarar.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersama Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Habib Muhammad Lutfhi saat mengikuti upacara pemberian tanda kehormatan di Ruang Hening Gedung Sudirman, Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 25 September 2023. ANTARA/Galih Pradipta

Silang Pendapat Anggota Baleg

Anggota Baleg dari PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengatakan seharusnya usulan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden tidak datang dari DPR. Apalagi keberadaan DPA sudah dihapus dalam konstitusi lewat amendemen UUD 1945.

“Secara substansi, apa lagi yang mau dihidupkan dari Dewan Pertimbangan Agung,” kata Masinton, kemarin. Ia khawatir keberadaan Dewan Pertimbangan Agung itu hanya bertujuan untuk mengakomodasi jatah bagi pendukung politik pemerintah.

Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah mengklaim keberadaan Dewan Pertimbangan Agung nantinya tidak akan mengembalikan ke era Orde Baru. Sebab, fungsi DPA tetap sama dengan Dewan Pertimbangan Presiden.

Luluk juga tak mempermasalahkan penghapusan pasal yang membatasi jumlah anggota Dewan Pertimbangan Agung. Ia berpendapat, anggota DPA tanpa batasan itu justru akan memberi keleluasaan kepada presiden untuk menentukan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan. Luluk mencontohkan revisi Undang-Undang Kementerian Negara, yang isinya juga memberi keleluasaan kepada presiden untuk menentukan jumlah anggota kabinetnya.

“Karena ada kebutuhan, barangkali berbeda antara satu rezim dan yang lain,” kata Luluk.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berdalih bahwa revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden bukan kesepakatan partai politik di Koalisi Indonesia Maju—koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran dalam pemilihan presiden 2024—melainkan persetujuan semua fraksi di DPR.

Menteri Koordinator Perekonomian ini menjawab singkat saat dimintai konfirmasi ihwal keberadaan DPA itu dibuat untuk mengakomodasi Jokowi setelah tak jadi presiden lagi. “Itu kami belum tahu,” kata Airlangga di Istana Kepresidenan, kemarin.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan tidak ada urgensi DPR mengusulkan pembentukan Dewan Pertimbangan Agung jika melihat dari aspek hukum ketatanegaraan. Ia menduga pembentukan lembaga ini hanya akal-akalan baru DPR untuk mengakomodasi politikus pendukung presiden terpilih yang gagal lolos ke Senayan. Apalagi jumlah anggota DPA nantinya tanpa batas.

“Dugaannya adalah tentu saja ini untuk bagi-bagi kue supaya makin besar. Bukan hanya kementerian negara yang dibuat tak terbatas jumlahnya. Ini menjadi kue yang dibagikan,” kata pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, juga mencurigai revisi undang-undang ini untuk mengakomodasi banyak pihak masuk ke dalam pemerintahan. “Sepertinya kursinya masih terlalu sedikit dibagi-bagi, sehingga yang dilakukan mencoba merevisi Undang-Undang Wantimpres,” kata Yance.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Daniel A. Fajri dan Savero Aristia Wienanto berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus