Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Penelitian Pusat Pengkajian Islam, Demokrasi, dan Perdamaian (Puspidep) menunjukkan bahwa masih ada sekitar 4 persen ulama di Indonesia yang menganut paham radikal. Bahkan, ada 2,67 persen yang masih tergolong ekstrem. "Mereka menolak konsep negara dan bangsa," kata Direktur Eksekutif Puspidep, Suhadi Cholil, saat memaparkan hasil penelitian di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, terdapat 9,79 persen ulama yang masuk kategori eksklusif. Meski tidak radikal dan ekstrem, mereka juga menolak konsep negara dan bangsa. Kelompok ini cenderung memilih negara Islam. "Angka 16,46 persen ulama yang radikal, eksklusif, dan ekstrem ini termasuk tinggi," kata Team Leader Convey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jamhari Makruf, pada kesempatan yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puspidep bersama de-ngan PPIM UIN Syarif Hidayatullah serta Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga melakukan riset mengenai persepsi ulama tentang negara-bangsa. Riset dilakukan di 15 kota dengan melibatkan sebanyak 450 ulama sebagai responden.
Dalam riset tersebut juga ditemukan bahwa sebanyak 92,89 persen ulama di Indonesia menolak kekerasan. Selain itu, jumlah ulama yang mendukung sistem kenegaraan sebanyak 90,22 persen. Meski begitu, jumlah ulama yang toleran terhadap perbedaan agama dan keyakinan dalam kehidupan bermasyarakat hanya sekitar 76,44 persen. Bahkan, jumlah ulama yang mendukung prinsip-prinsip kewargaan-meliputi prinsip keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga di muka hukum maupun pengakuan keragaman individu-hanya sebanyak 69,11 persen.
Karena itu, para peneliti merekomendasikan supaya pemerintah mendorong materi toleransi dan kewargaan dalam kurikulum pendidikan keulamaan, baik pada lingkup pesantren maupun pendidikan tinggi.
Menurut Jamhari, minimnya penelitian tentang politik Islam adalah penyebab masih banyaknya ulama yang tidak bisa menerima konsep negara dan bangsa. Rujukan yang digunakan para ulama masih sangat terbatas. "Ini juga kesalahan dulu kajian politik Islam dimasukkan dalam ilmu syariah. Jadi, tidak dilihat secara umum, tidak dikaji di politik sosial-budaya yang lebih luas," ujar dia.
Tingginya angka ulama yang menolak konsep negara dan bangsa juga tak lepas dari politik elektoral. Maraknya isu identitas yang digunakan partai politik untuk menjatuhkan lawan politik maupun menarik simpati, secara tidak langsung, telah mempengaruhi persepsi publik. Kondisi semakin runyam ketika banyak bermunculan ulama-ulama baru yang terjun ke politik praktis dengan mengusung politik identitas.
Meski begitu, masih dominannya ulama yang menerima konsep negara dan bangsa menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia bisa hidup harmonis di lingkungan yang majemuk, sekaligus cukup berhasil membentengi diri dari paham radikalisme. Karena itu, pemerintah dan badan legislatif juga diharapkan untuk memperkecil semua jenis undang-undang maupun peraturan yang dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai toleransi. MAYA AYU PUSPITASARI
Ulama Manado Paling Toleran
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo