SEBUAH ritus agama Hindu— agnihotra—berlangsung di Ashram Gandhi Vidayapith di Denpasar, 24 Oktober lalu, mengawali doa perdamaian antar-agama. Hari itu pedepokan olah batin milik tokoh spiritual Hindu Gedong Bagus Oka kebetulan dikunjungi Presiden Abdurrahman Wahid, yang beragama Islam. Tak pelak, upacara agnihotra pun menegaskan dirinya sebagai sebuah ritus suci yang semakin sering dilakukan masyarakat—walau terbatas pada kalangan berpendidikan di Bali.
Agnihotra adalah istilah teknis upacara agama Hindu dalam bahasa Sanskerta. Dalam kitab suci Weda, agnihotra adalah upacara persembahan kepada Dewa Agni. Dewa ini sangat dihormati oleh pemeluk Hindu karena memiliki 19 kemuliaan, antara lain pemberi utama kekayaaan dan pemimpin utama para pahlawan. Rujukan ajaran ini adalah kitab suci Weda seperti yang termaktub dalam Rg. Veda Mandala X Sukta 66 Mantra 8. Pelaksanaannya mudah, sederhana, dan lebih ekonomis dibandingkan dengan upacara Hindu yang lain. Waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 15 menit. Biayanya pun tidak seberapa karena tanpa sesajen dan sejenisnya.
Tata cara agnihotra tidak rumit. Bahan upacara berupa api suci dan periuk, beras, keju murni, serta tahi sapi kering disyaratkan dari hasil perolehan yang suci (halal). Momentum upacara dipilih saat menjelang matahari terbit dan terbenam. Maksudnya: agar getaran sinar itu bersinergi dengan gelombang energi api suci agnihotra dan mantra yang dirapalkan. Energi api suci itu, menurut tulisan Wayan Jendra dalam Majalah Hindu Raditya edisi Oktober 1995, bila berintegrasi dengan cahaya matahari, akan membentuk suatu kekuatan bioenergi dan percikan energi listrik yang memengaruhi lingkungan, atmosfer, dan kehidupan di sekitarnya. Pendek kata, api suci agnihotra dipercaya memberikan daya hidup untuk keseimbangan dan keharmonisan alam semesta.
Upacara agnihotra sudah sangat lama dipraktekkan di India. Ribuan orang di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Eropa Timur dilaporkan juga melakukannya. Masyarakat Bali pada abad ke-8 dan ke-9 sudah pula melakukannya. Namun, tradisi itu diperkirakan hilang semasa Danghyang Dwijendra dan Astapaka, dua resi penting dalam sejarah Hindu di Bali. Setelah suatu kebakaran terjadi akibat api upacara yang tak terkendali, tradisi itu kemudian dilarang oleh kerajaan. "Sejak saat itu, masyarakat Bali memuja Hyang Widhi (Tuhan) dengan banten (sesaji) yang beraneka macam," kata tokoh Hindu A.A. Bagus Setiawan.
Prof. Dr. Wayan Jendra, guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, berpendapat lain. Upacara agnihotra di kalangan umat Hindu di Bali memudar karena sepak terjang Mpu Kuturan. Pendeta Hindu yang datang dari Jawa itu menyosialisasikan upacara-upacara yang mudah dimengerti rakyat, ya, upacara dengan banten-banten itu. Tujuannya mulia: lewat pembuatan banten itu, masyarakat Bali diharapkan bisa mengaplikasikan filsafat Hindu. Maklum, pendetanya saja tidak mengerti bahasa Sanskerta—bahasa kitab suci Weda—apalagi umatnya. Tapi distorsi-distorsi sejarah kemudian terjadi. Adanya pengaruh Islam, penjajahan Belanda, dan kemudian penjajahan Jepang membuat masyarakat tidak punya pilihan selain taat kepada kerajaan, yang berarti taat kepada pendeta saat itu.
Mulai saat itulah umat Hindu di Bali sangat bergantung pada pendeta, padahal upacara agnihotra tidak memerlukan pendeta. Masyarakat yang egaliter pun berubah menjadi masyarakat yang paternalistik. Pemahaman agama dihegemoni oleh pendeta yang berfungsi sebagai penafsir tunggal agama. Masyarakat kemudian sekadar menjadi pengikut ajaran pendeta secara buta (taklid). Distorsi pun muncul. Ritus banten dijadikan ladang bisnis dan masyarakat memiliki kecenderungan pedanda (pendeta)-sentris.
Dampak berikutnya, masyarakat cenderung jorjoran (bersaing) dalam menyelenggarakan upacara agama. Tak jarang jutaan rupiah terhambur untuk sebuah upacara saja. Melihat bahwa ritus-ritus besar Hindu di Bali itu tak sesuai dengan filsafat upacara agnihotra yang mengandung pesan kesederhanaan, Bagus Setiawan berpendapat bahwa seharusnya sekarang umat Hindu di Bali mulai meninggalkan upacara "berbiaya besar". Sebagai gantinya, umat mestinya kembali melihat filsafat upacara agnihotra. Lebih jauh menurut Jendra, penggalian filsafat Hindu yang berkembang di India—pusat ajaran Hindu dunia—perlu dilakukan. "Mempelajari filsafat Hindu, kita tidak bisa melepaskan diri dari India," kata Jendra.
Angin pembaruan berembus di Pulau Dewata, apalagi semakin banyak berdiri ashram (semacam pesantren) dan kelompok studi Hindu. Ashram Manikgeni di kaki Gunung Batukaru, yang menjadi pusat penerbitan buku dan majalah Hindu, misalnya, sudah akrab dengan upacara agnihotra—walau masih melestarikan ritus tradisi dengan banten yang lebih sederhana.
Kelik M. Nugroho dan koresponden Denpasar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini