Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Menuai Polemik

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia meminta pasal tentang kegiatan ibadah dicabut.

29 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menuai polemik. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyoal perihal ibadah yang diatur dalam RUU tersebut. Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom, mengatakan keberatan atas dua pasal dalam RUU yang mengatur peribadahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PGI keberatan karena DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tidak paham atas terminologi sekolah Minggu dan Katekisasi," kata dia, akhir pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sejumlah pasal di RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang dianggap perlu dievaluasi, antara lain Pasal 69 dan 70. Pasal 69 mengatur sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan salah satu bentuk pendidikan keagamaan Kristen jalur non-formal yang bisa diselenggarakan setelah mendapat izin dari Kementerian Agama kabupaten atau kota setempat. Adapun Pasal 70 menyebutkan pendidikan keagamaan Kristen non-formal digelar untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang ada di sekolah, seperti sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Menurut Gomar, dua kegiatan tersebut merupakan kegiatan ibadah yang seharusnya tidak perlu diatur oleh undang-undang. Karena itu, PGI mengusulkan agar aturan sekolah Minggu dan Katekisasi itu dicabut.

"Meskipun memuat nilai pendidikan, namun masih dalam rangkaian peribadahan gereja yang tidak memerlukan regulasi negara," ujar dia. Ia menyayangkan tidak dilibatkannya PGI dalam penyusunan rancangan undang-undang tersebut.

Pada 16 Oktober lalu, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU inisiatif DPR. Aturan itu sebelumnya menjadi usul dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sejak 2013. Komisi Agama DPR telah mulai membahasnya.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Robikin Emhas, berharap DPR melibatkan semua lembaga pendidikan keagamaan. "Sehingga masing-masing lembaga keagamaan punya ruang tumbuh yang sama karena pendidikan itu hak setiap warga negara," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah, Trisno Raharjo. Sebab, pendidikan keagamaan di Indonesia tak hanya membahas tentang Islam, tapi juga Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. "Supaya tidak terjadi diskriminasi," ujar dia.

Wakil Ketua Komisi Agama DPR, Ace Hasan Syadzily, mengatakan kritik yang disampaikan oleh PGI bakal menjadi masukan bagi pembahasan di Komisi Agama DPR. "Nanti semua komponen masyarakat, organisasi keagamaan yang terkait dengan pendidikan pesantren, dan lembaga pendidikan keagamaan itu akan diundang," kata politikus Partai Golkar itu.

Adapun Presiden Joko Widodo menyatakan akan meninjau kembali RUU tersebut. "Nanti akan coba saya lihat sehingga persoalan teknis segera bisa diselesaikan. Jangan sampai ada titik yang nanti menjadi kontroversi," ujar dia di Surabaya, kemarin. FIKRI ARIGI | DANANG FIRMANTO | IRSYAN HASYIM | AJI NUGROHO | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus