Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saatnya Belah Durian Merah

Banyuwangi bertekad menjadi sentra penghasil durian merah. Peneliti dari Thailand dan Malaysia tertarik mempelajari budi daya buah eksotik ini.

12 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warna daging 20 butir durian yang ditata rapi di atas meja kayu itu mencolok. Bukan kuning, apalagi putih pucat. Daging buah beraroma khas yang menusuk hidung itu berwarna merah, merah muda, oranye, dan pelangi—perpaduan warna merah, kuning, dan oranye. Benar-benar menerbitkan selera bagi siapa pun yang hadir dalam kontes durian merah di taman bunga milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Durian Merah Banyuwangi di Jalan Brawijaya, akhir April lalu, itu.

Dengan sendok kecil di tangan, Mohammad Reza Tirtawinata, Direktur Taman Buah Mekarsari Research Station, Bogor, salah satu juri kontes, berkeliling dan mencicipi durian itu. Setiap kali hendak berpindah ke durian berikutnya, dia meneguk air putih agar lidahnya netral. Setelah semuanya tercicipi, Reza kembali menikmati tujuh durian yang dianggap punya cita rasa. Ia melumat satu biji untuk mencecap rasa durian sepenuhnya.

"Rasanya enak-enak," kata Reza, menggambarkan jalannya kontes, kepada Tempo, Senin pekan lalu. Selain Reza yang pakar buah tropis Indonesia, ada empat juri lain yang ikut icip-icip, yakni dari Durian Research Center Universitas Brawijaya, Balai Penelitian Buah Tropika, dan Forum Pemerhati Hortikultura Banyuwangi. Ini merupakan kontes durian merah ketiga, setelah pada 2009 dan 2012.

Lazimnya penilaian dalam sebuah kontes, semua skor juri dijumlahkan sehingga didapat juara I, II, dan III. Menurut Reza, penilaian kontes durian merah meliputi kemolekan bentuk, warna, serta cita rasa. Durian yang bagus warna dagingnya cerah, posturnya tebal, teksturnya lembut, plus rasanya manis. Pria yang sudah 30 tahun malang-melintang menjadi juri kontes durian di berbagai kota itu mengaku baru sekali ini menjadi juri kontes durian merah. Ia takjub melihat banyaknya varian durian merah di Banyuwangi, yang jarang dimiliki daerah lain.

Dari ketiga juara, ingatan Reza melekat pada durian yang diberi nama Balqis, milik peserta nomor 86. Peraih gelar juara ketiga dengan skor 800 ini beratnya sekitar dua kilogram dengan warna daging merah darah. "Rasanya legit dan gurih," kata doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini.

Meski cuma juara ketiga, Balqis memperoleh perhatian lebih. Seusai kontes, semua juri beserta panitia melihat langsung pohonnya, milik Sahroni, di Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah. Menurut Reza, kekurangan durian Balqis hanya karena dagingnya agak tipis. "Pohonnya tak dirawat alias semi-liar," katanya.

Durian Balqis tumbuh dari pohon setinggi 15 meter di pekarangan belakang rumah Sahroni. Saat panen, pohon ini menghasilkan 80 durian merah tiap tahun. Sahroni masih mengingat peristiwa pada Jumat, 25 April lalu. Saat itu, sekitar pukul delapan pagi, ada empat durian jatuh. Ketika dibuka, warna keempatnya berbeda-beda, ada yang merah, oranye, dan merah muda. Dengan sukacita, ia memboyong keempat duriannya ke arena kontes dan mendaftarkan durian yang berwarna merah.

"Tak disangka, ternyata menang," kata pria 30 tahun ini sumringah. Ia berhak mengantongi hadiah uang Rp 1,5 juta. Ihwal kekurangan Balqis, seperti diungkapkan juri, Sahroni membenarkannya. Pohon durian merahnya itu memang tumbuh liar dan ia tak paham cara merawatnya. "Paling hanya membersihkan rumput," kata Sahroni, yang baru tahun ini ikut kontes.

Di Banyuwangi, durian merah dijuluki dubang alias duren abang. Moncernya pamor durian jenis ini antara lain berkat kegigihan usaha para peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Durian Merah Banyuwangi, yang digawangi Eko Mulyanto. Mereka aktif menginventarisasi dubang Banyuwangi, lalu mengenalkannya ke publik, baik lewat media sosial, media massa, maupun kontes. Dubang Banyuwangi berbeda dengan di Kalimantan yang rasanya pahit dan tak beraroma. "Dubang Banyuwangi manis dan beraroma," kata Eko, lulusan diploma fisiologi tanaman Institut Pertanian Bogor.

Menurut Reza, dubang Banyuwangi merupakan hasil persilangan alam dari durian merah spesies Durio graveolus dari Kalimantan dan Durio zibhetinus ratusan tahun lalu. Varian zibhetinus secara umum menghasilkan durian putih atau kuning, yang banyak tumbuh di Indonesia, dan paling sering dikonsumsi. Persilangan alami itulah yang kemudian menghasilkan zibhetinus berwarna merah yang enak dimakan.

Rasa dubang yang manis juga karena didukung kondisi geografis Banyuwangi yang lebih lengkap dibanding Kalimantan. Di kawasan paling timur Pulau Jawa ini sinar matahari menyorot penuh, dekat dengan laut, suplai air cukup, serta ada kandungan sulfur Pegunungan Ijen atau Gunung Raung yang terlarut di aliran sungai dan tanah. "Kondisi Banyuwangi sangat ideal untuk dubang," kata Reza.

Eko menceritakan, pada zaman kerajaan, dubang sering dipertukarkan sebagai cendera mata kepada tamu dari kerajaan lain. Ada kemungkinan dulu banyak pohon dubang di Banyuwangi. Namun saat era kolonial Belanda terjadi penebangan besar-besaran karena kayunya dipakai untuk bantalan rel lori pengangkut tebu. "Kayu durian merah dikenal kuat," kata pria Banyuwangi berumur 42 tahun ini.

Akibatnya, hanya tersisa tiga pohon dubang indukan. Pohon durian tertua berusia 277 tahun, milik Serad, yang dijaga turun-temurun oleh lima generasi sebelumnya. Durian merah milik Serad diberi nama Siwayut, kependekan dari "si warisan buyut". Setiap panen, pada Januari-Maret, Siwayut yang hanya berbuah 300-an butir selalu jadi buruan. Harga per butir Rp 50-100 ribu. Supaya duriannya bisa dinikmati banyak orang, Serad membatasi pembeli maksimal empat butir. "Saya tak melayani pengepul atau pedagang," kata kakek 74 tahun ini.

Hingga 2014, bersumber dari pohon indukan yang ada, sekitar 200 pohon durian merah berbuah di Banyuwangi. Dari hasil inventarisasi, ditemukan sedikitnya 62 varian dan 32 di antaranya telah dipublikasikan. Dari 32 varian itu, hanya 25 jenis yang bisa dikonsumsi. Sisanya berasa sedikit pahit dan dagingnya terlalu tipis.

Ke-25 varian itu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan corak, yakni merah penuh, pelangi, dan grafis, yang warna merahnya membentuk motif. Dari ketiga corak ini, harga durian pelangi paling mahal. Ukuran setengah kilogram bisa mencapai Rp 150 ribu per butir, sedangkan ukuran dua kilogram pernah mencapai Rp 1,5 juta.

Eko, yang juga menjabat Kepala Riset Forum Pemerhati Hortikultura Banyuwangi, mengakui dubang kini paling diburu konsumen. Sayangnya, panen dubang baru mencapai 700 butir setahun. Padahal untuk bisa memenuhi pasar nasional dan ekspor, harus tersedia paling sedikit 10 ribu dubang.

Membaca besarnya peluang ini, Eko dan tim melakukan pembibitan sejak 2010. Mereka menggunakan tunas pucuk ranting dari indukan Siwayut milik Serad. Lalu tunas itu disambungkan ke batang bawah bibit yang berusia dua bulan. Bibit ini didapat dari penanaman biji 11 varian durian yang dipilih sebagai plasma nutfah. Metode ini dianggap bisa menghasilkan bibit lebih banyak dalam waktu cepat dengan tetap mempertahankan mutu genetiknya.

Kini Eko bisa menghasilkan 10 ribu bibit dubang dengan harga per bibit Rp 250 ribu. Bibitnya telah tersebar ke Papua, Bogor, dan Lampung. Pada 2012, sejumlah peneliti dari Thailand datang ke Banyuwangi untuk mempelajari budi daya dubang. Mereka disusul peneliti Malaysia pada awal tahun ini. Untuk menyiapkan Banyuwangi sebagai sentra durian merah, Eko membagikan 1.000 bibit gratis kepada petani dan pedagang durian. Seribu bibit lagi akan disebarkan pada pertengahan tahun ini. Bibit-bibit itu diperkirakan berbuah empat-lima tahun mendatang.

Langkah memperbanyak bibit dubang juga dilakukan Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi. Menurut Kepala Dinas Ikrori Hudanto, pada akhir April kantornya membagikan 351 bibit durian kepada petani di Kecamatan Kalipuro. "Agar nanti bisa menambah hasil panen durian," katanya.

Dwi Wiyana, Ika Ningtyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus