Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAWITO dan gerakannya masih juga jadi bahan perbincangan
sementara pejabat dan orang di luaran akhir pekan lalu. Waka,
Bakin Letjen Ali Murtopo beranggapan bahwa gerakan Sah. Sawito
itu "tak akan mengganggu stabilitas politik dan tak akan
berkepanjangan". Berbicara awal pekan lalu selaku Ketua
Kehormatan CSIS, di hadapan sejumlah pers asing yang meninjau
beberapa protek bantuan Bank Dunia di Indonesia, Ali Murtopo
berkata: "Peristiwa Sawito itu samasekali tak mendapat dukungan
politik, melainkan didukung hanya oleh kekuatan spirituil
kebatinan". Penilaian Ali Murtopo sejalan dengan ucapan seorang
perwira tinggi kepada TEMPO yang beranggapan "ini perkara Sawito
secara rasionil memang terlihat aneh dan mungkin lucu, tapi
secara irasionil serius". (TEMPO, 2 Oktober).
Sekalipun begitu, Jaksa Agung Mayjen Ali Said pekan lalu menilai
soalnya tak sesederhana itu. Berbicara seusai mengikuti upacara
di Lubang Buaya, Jaksa Agung -- berdasarkan hasil interogasi
--menyatakan gerakan-Sawito itu "tak sesederhana yang
kelihatan", katanya. "Apa dan siapa yang di belakang Sawito
masih sedang diselidiki terus". Atas pertanyaan pers, Ali Said
juga membantah adanya kabar burung 3 tokoh agama yang ikut
menandatangani dokumen "Menuju Keselamatan" -- yakni Kardinal
Darmoyuwono, T.B. Simatupang dan Hamka -- telah dilarang untuk
ke luar negeri.
Penahanan
Kabar-kabar seperti itu memang santer terdengar heberapa saat
setelah diungkapkannya gerakan Sawito oleh pemerintah. Bahkan
ada saja isyu vang menghembuskan terjadinya pembakaran beberapa
mobil pribadi di Bogor dan Bandung sehari setelah Lebaran.
Banyak kabar-kabar serupa yang -- selain tak benar -- agaknya
bermaksud mengacau keadaan. Bak kata seorang perwira tinggi
TNI-AD kepada TEMPO beberapa hari lalu, "adalah menarik untuk
mengetahui dari mana sebenarnya kabar-kabar bohong itu berasal".
Menurutnya, "kalau sumbernya masih berasal dari dalam negeri,
masih mudah diatasi". Tapi yang dikhawatirkan, "jika sumber yang
sengaja dilemparkan itu asalnya dari luar", katanya.
Dalam atau luar, yang pasti pernyataan dukungan atas
kepemimpinan Presiden Soeharto mulai berdatangan dari berbagai
fihak di Indonesia, menyusul pengumuman Pemerintah tentang
gerakan Sawito 22 September lalu. Kewaspadaan pun makin
ditingkatkan oleh fihak yang berwenang, berkenan dengan
tersebarnya dua selebaran gelap yang bermaksud mengadu-domba
antar pemeluk agama. Selebaran yang kabarnya dikirim lewat pos
itu mengatas-namakan diri dari "Angkatan Muda Kristen" dengan
alamat jalan Sam Ratulangi 45, Jakarta (setelah dicek tak ada
baik alamat maupun nomor tersebut di jalan itu -- Red) dan
sebuah lagi mengatasnamakan "Angkatan Pembela Islam".
Sehubungan dengan perkara Sawito itu, tak kurang dari tiga
Dewan Mahasiswa di Bandung -- UNPAD, Universitas Islam dan IKIP
-- mengeluarkan pernyataan bersama meminta agar persoalan Sawito
ini "diselesaikan menurut tertib hukum yang berlaku supaya
persoalannya menjadi jelas bagi masyarakat".
Permintaan ketiga Dewan Mahasiswa Bandung itu memang patut
diperhatikan. Satu dan lain hal demi mengatasi dan menjernihkan
suasana -- termasuk isyu penangkapan sejumlah orang -- seperti
diberitakan sebuah majalah luar negeri. Adapun orang-orang yang
ditahan sehubungan dengan gerakan Sawito -- selain Sawito
sendiri, Mr Sudjono, drs Singgih dan Karnaradjasa -- seorang
mahasiswa Universitas Indonesia, Fahmi Basya, telah ditahan
oleh Laksus Kopkamtibda Jaya beberapa hari lalu. Basya yang
menjabat Ketua Umum Masjid Arif Rahman Hakim di Salemba 4,
Jakarta itu telah diambil 28 September lalu di kampus UI
Salemba. Dan surat pemberitahuan penahanan kepada Rektor UI
disampaikan oleh fihak laksus tiga hari kemudian. Maka fihak
Dewan Mahasiswa UI pun mengajukan surat protes menyangkut
cara-cara penahanan itu. "Bila fihk luar mau melakukan kegiatan
ke dalam kampus, haruslah sepengetahuan dan seizin Rektor",
begitu antara lain bunyi protes yang ditandatangani ketua umum
Dipo Alam dan wakil sekjen Bambang Herunama.
Tak berhasil menemui Pangdam V Jaya Mayjen GH Mantik di rumahnya
Sabtu lalu, delegasi DM-UI yang dipimpin Dipo Alam, kemudian
mencoba lagi Senin kemarin. Diterima oleh Asisten I Intel Kol.
Rosadi dan stafnya, Dipo Alam kembali mengkritik cara penahanan
itu. "Cara menangkap di mesjid itulah yang kami rasa
menyinggung. Kenapa tidak ditangkap waktu Fahmi pergi kuliah",
katanya. "Apakah soalnya sudah demikian gawat hingga perlu
menangkapnya selepas sembahyang Subuh?" Tapi oleh Kol. Rosadi
penahanan di waktu subuh itu tampaknya sengaja dilakukan karena
masih sepi. "Ini agar khalayak tak melakukan interpretasi yang
macam-macam", kata Rosadi. Fahmi Basya, mahasiswa Fakultas Ilmu
Pasti dan Alam (FIPIA) itu, menurut Rosadi "diketahui melakukan
kegiatan di mesjid yang berindikasi bertentangan dengan
Pancasila".
Di mesjid, di mana Fahmi menetap dan tidur, telah disita
beberapa bukunya dan milik beberapa kawannya, berikut sebuah
senapan angin ukuran 4. Dalam salah satu bukunya, menurut Dipo,
memang terdapat coretan reaksi kimia Trinitro Toluena (TNT).
"Mungkin fihak Laksusda menganggap coretan rumus itu sebagai
bahan pembuat peledak", kata Dipo Alam yang juga mahasiswa FIPIA
jurusan Kimia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo