Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saya tidak pilih kasih

Wawancara Tempo dengan menteri Hans Van Den Broek tentang tindakan-tindakan yang akan diambil setelah menerima surat dari pemerintahIindonesia. wawancara Tempo dgn menteri kerja sama pembangunan J.P. Pronk ttg keputusan indonesia dlm menolak bantuan belanda, usulannya utk berkunjung ke aceh dan ir-ja, dan pengiriman delegasi ke dili.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDANA Menteri Ruud Lubbers segera memanggil Menteri Luar Negeri Hans van den Broek, yang sedang berkunjung ke Helsinki, ketika surat Radius Prawiro diterimanya tanggal 25 Maret. Sore itu juga, sekitar pukul 17.00, ia memanggil Menteri Broek dan Menteri Kerja Sama Pembangunan, Jan P. Pronk, untuk membicarakan surat Radius di kantor Perdana Menteri, di gedung Binnehof. Setelah lima jam berembug, rapat belum juga usai. Menteri Broek dan Pronk meneruskan pembicaraan di Kementerian Luar Negeri. Menjelang tengah malam, kedua menteri itu baru memberikan keterangan kepada pers. Setelah itu, baik Pronk maupun Broek memberi kesempatan kepada wartawan TEMPO, Asbari N. Krisna, untuk wawancara khusus. Berikut kutipan wawancara dengan Menteri J.P. Pronk, yang suka ketemu berbagai pihak dari LSM selama di Indonesia dan mengunjungi pedesaan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain. Apa konsekuensi dari keputusan pemerintah Indonesia? Seperti tercantum dalam surat kami kepada ketua parlemen, semuanya akan ditinjau mana yang akan diteruskan dan mana yang tidak, termasuk kurang lebih 650 mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda, 250 karyawan kerja sama pembangunan dari Belanda yang ada di Indonesia, dunia usaha, dan proyek-proyek. Tetapi, semua itu harus dibicarakan dengan pemerintah Indonesia. Setelah diteliti, kedutaan besar kedua negara akan diberitahu. Melihat gaya Anda baik sebelum maupun sesudah peristiwa Dili, ada kesan seolah Anda sebagai inspektur jenderal dan tuan besar, yang dapat seenaknya memeriksa Indonesia. Apa pendapat Anda tentang sebutan itu dan desas-desus yang menyatakan Anda seorang kolonialis tulen? Saya belum pernah mendengar desasdesus itu. Nyatanya, saya mencoba untuk melaksanakan dialog, yang memperhatikan baik konsekuensi pembangunan maupun juga kaitan pembangunan dengan hak-hak manusia. Saya tidak istimewa dalam hal itu. Saya menjalankan kebijaksanaan yang sama terhadap negara-negara lain di Asia. Dan negara-negara lain juga melakukan hal yang sama, termasuk juga yang berkaitan dengan Indonesia. Saya tidak pilih kasih. Saya bukan kolonialis. Seperti kolega saya, Menteri Hans van den Broek, telah mengatakan bahwa kerja sama pembangunan Belanda sama sekali tak mengandung ancaman kepada negara mana pun. Semuanya merupakan kesatuan dalam dialog politik. Anda mengusulkan akan meninjau Aceh, apa kepentingannya? Sesudah kunjungan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, saya menyatakan setuju untuk tidak setuju. Karena, Menteri Alatas dalam konperensi persnya menjelaskan bahwa ia tak dapat menerima kaitan apa pun antara kerja sama pembangunan di satu pihak dan hak-hak asasi manusia di lain pihak. Saya katakan bahwa dalam pandangan kami pembangunan itu berisi pula hak-hak manusia. Proses pembangunan tak dapat dipisahkan dari hakhak manusia. Kami juga mengacu kepada posisi Eropa, misalnya pada Resolusi Dewan Menteri Masyarakat Eropa, 28 November 1991. Usulan saya mengunjungi Aceh adalah usulan dua tahun lalu, yang tak mungkin saya laksanakan pada waktu itu, karena alasan waktu. Tahun lalu, ketika saya meninggalkan Indonesia sesudah kunjungan saya yang kedua sebagai Ketua IGGI, saya hanya berkesempatan mengunjungi Jawa Barat. Saya katakan tahun depan saya ingin mengunjungi Aceh. Sesudah kejadian di Timor Timur dan debat di Parlemen, saya katakan kepada Menteri Alatas bahwa kami sangat percaya kepada pemerintah Indonesia dalam cara menangani peristiwa Timor Timur itu. Marilah kita kembali ke bisnis kita seperti biasa. Bisnis seperti biasa itu berarti saya mengunjungi Aceh, yang disetujui tahun lalu. Tambahan pula, Komisi Parlemen kami telah mengunjungi Aceh. Jadi, apa pula masalahnya? Tetapi anggota Parlemen Belanda menyarankan Anda mengunjungi Irian Jaya bekas jajahan Belanda, yang mereka anggap Anda abaikan? Ya, saya jawab kunjungan itu tak dapat saya lakukan dalam waktu singkat barangkali. Dan saya pun tak akan mengunjunginya dalam waktu singkat. Kunjungan saya ke Irian Jaya mungkin merupakan usulan saya yang baru, yang ingin saya diskusikan dengan pemerintah Indonesia. Kunjungan ke Aceh memang sudah saya usulkan dan diskusikan tahun lalu dan setahun sebelumnya. Tetapi, kunjungan ke Irian Jaya ini diusulkan oleh anggota Parlemen. Bukan kepada Ketua IGGI, tetapi kepada saya sebagai Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda. Seperti diberitakan surat kabar Belanda, mengapa Anda meminta Menteri Hans van den Broek untuk mengajak anggota Masyarakat Eropa lainnya mengirimkan delegasi ke Dili, Timor Timur, selagi di sana ada sidang pengadilan? Tidak. Kalau Anda ikuti sidang Parlemen, ada permintaan dari anggota Parlemen agar wakil Masyarakat Eropa hadir dalam pengadilan di Dili. Saya mengatakan kepada wakil Masyarakat Eropa dari VVD (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie) bahwa permintaan itu janganlah diajukan kepada saya, tetapi kepada Menteri Luar Negeri. Lalu, ia bertanya kepada saya, apakah saya bersedia mengajukan permintaan kepada kolega saya. Saya jawab, tentu saya akan bersedia menyampaikan pesan itu kepadanya (Menlu Hans van den Broek). Berikut kutipan wawancara dengan Menteri Hans van den Broek: Setelah menerima surat dari pemerintah Indonesia, adakah tindakantindakan politik yang akan diambil Belanda? Saya telah berbicara di telepon lama sekali dengan kolega saya, Menlu RI Ali Alatas, hari ini (25 Maret 1992), menyampaikan kekecewaan saya. Bila Indonesia tak ingin melakukan kerja sama pembangunan, toh, masih ada hubungan-hubungan lain yang saya harapkan akan tetap dapat dilangsungkan lebih baik, seperti hubungan dan kerja sama di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lainnya. Pemerintah Indonesia merasa bantuan Belanda selama ini digunakan untuk intimidasi dan mengancam Indonesia. Dapatkah Anda menjelaskan mengenai hal ini? Kami terkejut atas tuduhan itu. Kami tak melihat kebijaksanaan itu sebagai ancaman atau mengancam Indonesia. Kita semua tahu, kerja sama pembangunan telah menghasilkan halhal yang baik hampir dua puluh lima tahun. Tetapi, apabila pemerintah Indonesia berpendapat hubungan baik antara Indonesia dan Belanda tidak usah dilakukan dengan kerja sama pembangunan seperti sekarang ini, kami dapat menerima. Hanya perlu kita catat, kami sangat menyayangkannya. Apa sebenarnya keuntungan dan kerugian Belanda dan Indonesia dengan adanya surat dan keterangan pers dari pemerintah Indonesia? Pertama-tama tentu hal ini akan meresahkan pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia tak akan lagi memperoleh kerja sama yang menguntungkan dari Belanda. Tetapi, seperti disebutkan dalam keterangan pers tersebut, pemerintah Indonesia berharap akan melanjutkan hubungan-hubungan lain dengan Belanda. Kami pun benar-benar siap bekerja sama atas dasar itu, bagaimanapun besarnya penyesalan kami. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ia berharap hubungannya dengan Belanda tetap baik. Adakah jaminan untuk ini? Kami benar-benar siap untuk melakukannya dan, tentu saja, memperbaiki hubungan kita. Tak ada alasan bagi Indonesia memutuskan secara sepihak untuk tidak menerima lagi bantuan Belanda, dengan mengatakan, "Ya, kalau tidak menerima bantuan pembangunan, kami juga tak menerima hubungan yang lain." Hubungan di luar pembangunan, seperti hubungan politik, ekonomi, dan kebudayaan tentu saja akan kami terima dengan baik. Walaupun, sekali lagi, saya sebagai menteri dan pribadi kecewa dan menyayangkan keputusan ini, karena kita mempunyai hubungan yang sangat tradisional, yang selalu diupayakan oleh Belanda dalam hubungannya dengan Indonesia. Saya kira, Belanda telah melakukan pekerjaan besar. Kami telah melakukan dialog yang sangat konstruktif dalam berbagai bentuk kerja sama pembangunan dengan Indonesia. Kami sering menyatakan kekaguman kami atas keberhasilan Indonesia dalam pembangunan. Hasil yang sangat besar dan luas bagi sebuah negara yang besar dan luas dengan penduduk yang sangat besar pula. Jadi, kami berpendapat, kerja sama pembangunan ini merupakan komponen hubungan yang sangat berharga. Menjadi Ketua IGGI merupakan kehormatan dan kebanggaan Belanda. Bila IGGI bubar, lalu apa artinya bagi Belanda? Apa pun yang Anda katakan mengenai orang Belanda, memang kadang-kadang suka berpura-pura. Tetapi percayalah kepada saya, kami tidak mempunyai kepuasan pada diri sendiri atau bangga hanya karena kami menjadi ketua IGGI. Apa yang selalu kami pikirkan, bersama Indonesia, adalah sejumlah besar donor agar negara-negara itu membantu pembangunan Indonesia, negara yang indah itu. Usaha itu hasilnya sangat memuaskan. Karena itu kami tidak merasa kehilangan martabat. Kita pun tidak perlu saling menyakiti hati dengan mengatakan bahwa kami menggunakan bantuan untuk mengintimidasi Indonesia. Dapatkah Anda bayangkan, negara seperti Belanda dapat mengintimidasi Indonesia? Pemerintah Indonesia mengingatkan bahwa hubungan kedua negara pernah mengalami kenangan masa lalu yang kurang manusiawi, terutama sesudah 1945. Dapatkah Anda membayangkan perasaan demikian pada bangsa Indonesia? Ya, saya dapat membayangkan keadaan lima puluh tahun lalu itu. Indonesia mengharapkan Belanda untuk memperhitungkan hal itu. Namun, tampaknya usaha kami selama ini juga kurang dihayati Indonesia. Saya berharap pada masa mendatang, kita dapat melakukan dialog, melanjutkan dialog kita secara terbuka dan bersahabat. Apabila Indonesia merasa bahwa tanpa bantuan kerja sama pembangunan itu akan lebih baik, ya, usahakanlah supaya lebih baik dengan cara demikian. Apakah friksi ini bersumber pada latar belakang budaya yang berbeda. Bagaimana mempertemukan dua budaya yang berbeda? Bicara, bicara, dan bicara. Untungnya, banyak mahasiswa Indonesia belajar di Belanda. Banyak pemuda Belanda yang mengunjungi Indonesia, mencintai Indonesia. Dengan kata lain, pertukaran mahasiswa, ilmuwan, orang-orang awam, dan sebagainya. Saya berharap di Indonesia jangan sampai ada pendapat yang mengatakan bahwa kami di Belanda, yang juga mengetahui perasaan-perasaan Indonesia, tidak mengerti masalah-masalah peka. Sekali lagi, kami akan memperhitungkan hal-hal itu walaupun kini pemerintah Indonesia memutuskan secara sepihak persepsi semacam itu. Tidak ada jalan lain bagi kami untuk menerima keputusan itu. Kalau surat itu merupakan friksi, tahukah Anda sebabnya? Sudah saya jelaskan dalam surat yang kami sampaikan kepada Ketua Parlemen (Majelis Rendah) bahwa kami menerima hal yang disebutkan dalam surat pemerintah Indonesia dan kami sangat menyesal serta menyayangkan. Tetapi, kami juga menyesalkan kata-kata dan tuduhan yang telah ditujukan kepada Belanda. Sekali lagi, dengan Indonesia saya berharap dapat melanjutkan hubungan baik dengan demikian kita dapat meneruskan dialog dalam berbagai hubungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus