Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah warga Nahdliyin dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mendesak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pemerintah terkait pemberian izin konsesi tambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah meneken beleid tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara itu pada Kamis, 30 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Aturan baru itu menyebut organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), termasuk kepada PBNU.
Dilansir dari Tempo, PBNU mengaku izin itu sudah dijanjikan sejak 2021. Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya mengatakan, Jokowi menawarkan izin tersebut saat berpidato di acara Muktamar ke-34 NU di Lampung.
"Pada waktu pembukaan Muktamar ke-34 di Lampung bulan Desember 2021 dulu, Presiden Jokowi dalam pidato pembukaannya mengatakan akan menyediakan konsesi tambang untuk NU," kata Yahya di Kantor PBNU, Jakarta, Kamis, 6 Juni 2024, seperti dikutip dari Tempo.
Yahya menjelaskan, saat itu dirinya belum menjabat sebagai ketua umum lantaran masih pembukaan muktamar. Ia menilai, pemerintah memberi perhatian besar kepada NU karena jumlah anggotanya.
"Mungkin ya, ini husnudzon kami, yang paling dipikirkan mungkin memang NU, mungkin ya, mungkin ini, karena NU punya umat yang begitu besar," kata dia.
Selain itu, NU mengklaim memiliki sekitar 30 ribu pesantren dan madrasah yang dikelola oleh komunitas Nahdliyin. Belum lagi jumlah Taman Kanak-kanak (TK) dan infrastruktur lain.
Sementara sumber daya dan kapasitas mereka sudah tidak mampu lagi untuk menopang berbagai program tersebut. Kondisi tersebut yang mendorong PBNU segera membutuhkan interferensi atau campur tangan sesegera mungkin.
Sebab jika menunggu afirmasi dari pemerintah secara langsung, katanya, PBNU harus melewati birokrasi yang lama dan berbelit-belit.
"Kami melihat sebagai peluang, ya segera kami tangkap. Wong (kami) butuh. Mau bagaimana lagi," ucapnya.
Desakan Nahdliyin alumni UGM
Kebijakan pemerintah yang disambut positif oleh PBNU itu kemudian mendapat desakan dari sejumlah warga Nahdliyin alumni UGM. Mereka mendesak PBNU agar tidak ikut mengelola tambang-tambang yang ada di Tanah Air.
“Mendesak PBNU untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan,” seperti disampaikan salah satu penggagas pernyataan sikap mereka, Heru Prasetia, dalam konferensi pers daring, Ahad, 9 Juni 2024.
Heru mewakili puluhan warga NU alumni UGM lainnya yang ikut menyatakan sikap. Mereka berasal dari kalangan akademisi, aktivis, pengajar pesantren, peneliti, budayawan, hingga pengusaha. Beberapa dari mereka juga mengaku ikut aktif dalam kepengurusan NU, baik di pusat maupun daerah.
Selain itu, mereka juga meminta agar PBNU kembali berkhidmah atau mengabdi kepada masyarakat dengan tidak menerima konsesi tambang. Menurut mereka, penerimaan konsesi tersebut akan membuat NU terkooptasi menjadi bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat.
Selanjutnya, mereka berharap PBNU bisa lebih mandiri secara ekonomi tanpa harus memasuki dunia pertambangan. Mereka menyebut bisnis tambang sebagai praktik yang kotor.
Tak hanya kepada PBNU, para warga Nahdliyin alumni UGM itu juga menolak kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang.
“Karena akan merusak organisasi keagamaan yang seharusnya menjaga marwah sebagai institusi yang bermoral,” ucap Heru menyampaikan sikap mereka.
Menurut mereka, pemberian izin tambang pada ormas keagamaan berpotensi hanya akan menguntungkan segelintir elit ormas dan menghilangkan tradisi kritis ormas. Mereka mengatakan, kebanyakan ongkos usaha pertambangan akan ditanggung rakyat.
“Pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat yang bisa mengontrol dan mengawasi pemerintah,” ucap dia.
Maka dari itu, mereka turut mendesak pemerintah untuk konsisten dengan agenda transisi energi yang sedang berlangsung. Di antaranya dengan meninggalkan batubara, baik sebagai komoditas ekspor maupun sumber energi.
Pemerintah, menurut mereka, juga punya kewajiban untuk melakukan penegakan hukum lingkungan atas terjadinya kehancuran tatanan sosial dan ekologi.
“Seperti perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, eksploitasi, korupsi, dan polusi, akibat aktivitas pertambangan batubara,” kata Heru.
Para warga NU alumni UGM pun memberi seruan kepada masyarakat umum, baik berlatar belakang Nahdliyin atau bukan.
“Menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi,” ucap Heru.
SULTAN ABDURRAHMAN | AISYAH AMIRA WAKANG
Pilihan Editor: Nahdliyin Alumni UGM Desak PBNU Batalkan Pengajuan Izin Tambang