Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sejumlah konsep-kemungkinan ...

Sidang dpr tentang usul interpelasi sebagai anggota dpr tentang normalisasi kehidupan kampus (nkk) fraksi karya pembangunan dan fraksi abri menolak.(pdk)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH konsep tentang lembaga kemahasiswaan sekarang bermunculan -- dari pihak mahasiswa sendiri. Yang mutakhir, Dengan Pikiran Bening Mengamati NKK (BPBM), hasil rumusan sejumlah mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta termasuk Universitas Gajah Mada, IKIP Negeri Yogyakarta dan IKIP Sanata Dharma. Konsep tersebut Senin pekan lalu dibagikan kepada rekan-rekan mereka, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lain kota yang hadir dalam sidang DPR-RI -- merupakan sidang lanjutan tentang usul interpelasi sebagian anggota DPR tentang 'Normalisasi Kehidupan Kampus'. Sebenarnya mahasiswa bukan baru kali ini berusaha menyusun konsep lembaga mereka sendiri. Ketika dewan mahasiswa dibekukan, kemudian turun SK Menteri P&K tentang NKK, April 1978, sejak itu mahasiswa sudah mencoba membikin. Hanya agaknya usaha mereka tersebut terbenam dalam instruksi dan keputusan pemerintah. Mula-mula instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi 17 Mei 1978, yang memberi petunjuk pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan. Dan yang merupakan gongnya, yang agaknya sangat memukul anak-anak kampus itu, tak lain keputusan Menteri P&K 24 Februari 1979 -- yang isinya hanya membenarkan satu lembaga yang disebut Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Mahasiswa sendiri sebelumnya telah herusaha mengirim konsep mereka kepada pemerintah. ITB misalnya, yangakhir Juni 1978 sudah berhasil menyusunnya, mengirimkan konsep itu menurut mahasiswa Lilik Sudirahardjo kepada TEMPO -- kepada Menmud Abdul Gafur dan Dirjen Pendidikan Tinggi. Tapi dikatakan tak ada tanggapan apapun. Dan ketika mahasiswa mulai ramai lagi membicarakan NKK/BKK, November 1979 yang lalu, mereka tak lagi mencoba adu konsep. Langsung protes. Itulah yang kemudian memberi kesan bahwa para pemuda itu hanya bisa teriak. Tapi lihatlah. Sekarang mereka menyetensil konsep itu - dan menyerahkannya ke DPR. Membaca beberapa dasar pemikiran yang tertuang, misalnya dari konsep ITB, mahasiswa perguruan tinggi di Yogya, dan UGM, keberatan utama mereka terhadap BKK pada dasarnya sama campur tangan staf pengajar pada badan itu. Dengan judul Kesalahan Struktural dalam BKK (ITB), pendapat itu antara lain dituangkan dalam kalimat: " . . . setelah organisasi kemahasiswaan didudukkan sebagai aparat rektor, fungsi mahasiswa dalam BKK sendiri hanya sebagai pembantu Sekum (sekretaris umum red) BKK, tanpa kewenangan apapun." Kesan itu memang wajar. Bahkan senat mahasiswa di tingkat fakultas misalnya, yang tak langsung dipimpin staf pengajar, dalam BKK diharuskan berlanggungjawab kepada dekan padahal formatur yang membentuknya dipilih oleh Badan Permusyawaratan Mahasiswa dan bukan oleh fakultas. Dalam banyak hal seperti disebut dalam konsep UGM, terasa "tak adanya kehidupan demokratis dalam proses pengambilan keputusan." Di samping itu, "NKK menjadi tidak mendewasakan mahasiswa dalam pendidikan non-formal." Padahal seperti disebut dalam konsep mahasiswa Yogya (bedakan dari yang UGM), untuk tujuan antara lain kepercayaan diri sendiri dan kemampuan, yang diharapkan ialah "agar mahasiswa sebagai manusia tidak hanya dibimbing" semata-mata. Singkat kata, mahasiswa menghendaki lembaga kemahasiswaan dipercayakan kepada mereka sendiri. Aparat rektor atau staf pengajar, menurut konsep UGM, diberi kesempatan pada yang disebutnya Badan Musyawarah Universitas -- berfungsi sebagai forum musyawarah "untuk koordinasi ideal yang berupa konsensus universitas. "Yang menarik ialah bahwa tuntutan "kebebasan" itu, seperti ditunjukkan oleh konsep para mahasiswa Yogya, tidak semutlak keadaan sebelum masa NKK. Mereka mencantumkan bahwa "rektor (kali ini red) berhak membatalkan/menganulir keputusan, kebijakan dan tindakan-tindakan BKK." (Konsep ini mempertahankan nama BKK bagi lembaga kemahasiswaan tingkat universitas). Jadinya konsep ini bertentangan dengan dasar pemikirannya, kepercayaan kepada diri sendiri, artinya adanya tanggungjawab mahasiswa, lantas tak berarti. Ini seperti sebuah konsesi. Yang juga menarik, dari konsep ITB, ialah saran dibentuknya Lembaga Pemeriksa Keuangan. Dalam konsep UGM hal itu sepenuhnya diserahkan kepada lembaga tertinggi mahasiswa yang disebut Badan Musyawarah Mahasiswa itu. Sedang dalam konsep mahasiswa Yogya tak jelas tercantum lembaga mana yang wajib mengawasi BKK. Masalahnya sekarang: adakah pemerintah, dalam hal ini Departemen P&K, bersedia menimbang gagasan mahasiswa itu semua? Melihat kenyataan di Universitas Hasanuddin misalnya (yang dalam BKK-nya hanya ketua dan sekretarisnya saja berasal dari staf pengajar), agaknya BKK memang perlu modifikasi. Rektor Unhas, Prof. Dr. Amiruddin, ketika menghadiri Dies Natalis ke-15 IKIP Ujung Pandang, 9 Januari yang lalu, tentang hal itu mengatakan kepada TEMPO: itu tidak dilarang dalam konsep BKK. Meskipun yang dikehendaki para mahasiswa itu kelihatan lebih jauh dari model BKK Unhas. Mungkinkah dalam Rapat Kerja Rektor Perguruan Tinggi Negeri seluruh Indonesia Februari nanti penyempurnaan akan dibicarakan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus