Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Sekolah di Yogya Tempat Siswi Paskibraka Lepas Jilbab: Biarkan Pelajar Tetap Memakainya

Sekolah di Yogyakarta yang muridnya mengirimkan anggota Paskibraka putri menyesalkan siswanya diminta lepas jilbab saat pengukuhan di IKN.

15 Agustus 2024 | 21.35 WIB

Anggota Paskibraka 2024 asal Sumatera Utara Violetha Agryka Sianturi mencium Bendera Merah-Putih dalam pengukuhan Paskibraka Tingkat Pusat 2024 di Istana Negara, Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Selasa, 13 Agustus 2024. Presiden mengukuhkan 76 anggota Paskibraka 2024 yang nantinya akan bertugas di Istana Negara, IKN pada 17 Agustus 2024. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Perbesar
Anggota Paskibraka 2024 asal Sumatera Utara Violetha Agryka Sianturi mencium Bendera Merah-Putih dalam pengukuhan Paskibraka Tingkat Pusat 2024 di Istana Negara, Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Selasa, 13 Agustus 2024. Presiden mengukuhkan 76 anggota Paskibraka 2024 yang nantinya akan bertugas di Istana Negara, IKN pada 17 Agustus 2024. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pihak sekolah di Yogyakarta dari pelajar putri anggota pasukan pengibar Bendera Pusaka atau Paskibraka yang bertugas untuk upacara kemerdekaan di Ibu Kota Nusantara atau IKN turut menyesalkan kejadian lepas jilbab yang kini jadi sorotan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pelajar putri anggota Paskibraka asal Yogyakarta itu adalah Keynina Evelyn Candra, yang saat ini duduk di bangku kelas XI atau kelas 2 di SMA Negeri 8 Kota Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sekolah kami sangat menghargai toleransi, dari dulu kami perbolehkan jilbab itu terus digunakan termasuk untuk kegiatan Paskibraka," kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA Negeri 8 Yogyakarta Slamet Nugroho Kamis 15 Agustus 2024.

Evelyn, panggilan Keynina Evelyn Candra, turut melepas jilbab bersama 17 anggota Paskibraka putri lainnya saat pengukuhan dan pengibaran bendera 13 Agustus 2024 lalu.

Slamet menuturkan, pihak sekolah telah menyiapkan Evelyn masuk menjadi anggota Paskibraka Nasional selama setahun terakhir. 

"Sudah sejak kelas 10 kami menyeleksi calon-calon Paskibraka itu, kemudian Evelyn lolos dan mulai menjalami karantina sekitar akhir Juli lalu," kata dia.

Evelyn, kata Slamet, dalam keseharian di sekolah memang menggunakan jilbab.  Selama mempersiapkan diri dan berlatih untuk lolos ke tingkat nasional, Evelyn juga tak pernah melepas jilbab yang digunakannya.

"Semboyan sekolah kami nasionalisme religius, apa pun keyakinan siswa semua kami layani tanpa unsur paksaan, sehingga apakah dia mau berjilbab atau tidak, kami persilakan sesuai keyakinan masing masing," kata dia.

Dengan polemik yang muncul soal lepas jilbab pada anggota Paskibraka ini, membuat sekolah yang mengirim Evelyn ikut mengelus dada. Sebab tahun-tahun sebelumnya nyaris tak ada masalah.

"Kami sudah tiga tahun ini mengirim perwakilan pelajar ke Paskibraka Nasional, tahun tahun sebelumnya tidak ada masalah," ujarnya.

Dengan polemik kali ini, pihak sekolah pun kaget. Seban mereka merasa juga tidak menerima pemberitahuan apa pun dari panitia Paskibraka Nasional terkait aturan aturan tertentu bagi pelajar yang terseleksi.

"Kami baru mengetahui setelah ramai di media sosial dan pemberitaan ada kejadian itu," kata Slamet.

Pihak sekolah menyatakan, sejak masa karantina hingga sampai saat ini, belum bisa berkomunikasi dengan Evelyn. Sehingga tak mengetahui apa yang akan dilakukan anak didiknya pasca-polemik ini bergulir.

"Penggunaan jilbab itu merupakan hak anak, itu menyangkut keyakinannya. Sehingga jika anak didik kami merasa terpaksa dengan (lepas jilbab untuk Paskibraka) itu, kami meminta pemerintah mengijinkan siswa kami tetap memakainya," ujar Slamet.

Sampai saat ini, pihak orang tua Evelyn juga belum menghubungi sekolah.

Adapun Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agus Wahyudi menyebut larangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka merupakan kebijakan berlebihan.

"Aturan soal busana terkait keyakinan itu hal yang berlebihan dan berpotensi memicu masalah," kata Agus, Kamis.

Di masa Presiden Soekarno, kata dia, juga bisa dilihat dari berbagai dokumen foto bahwa tidak ada unsur penyeragaman busana seperti itu. 

"Kami yakin, Bung Karno pun tidak kaku soal preferensi busana dalam upacara bendera," ujarnya.

Agus pun meminta BPIP kembali belajar tentang prinsip-prinsip dalam Pancasila. Salah satunya soal menghargai dan menghormati hak setiap warga negara menganut agama dan kepercayaannya.

Juli Hantoro

Juli Hantoro

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus