Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK September lalu di beberapa kampung di Yogya ada gairah
baru. Di Kampung Ledok Terban, misalnya, anak-anak SD dan SMP
tiap habis maghrib belajar bersama. Dua gadis remaja, sekitar 20
tahun, membimbing mereka cara belajar yang baik dan teratur. Di
siang hari, muda-mudi di kampung itu belajar memasak makanan
yang terjangkau ekonomi mereka tapi sehat dan bergizi.
Yang menyolok, sejak beberapa minggu ini penduduk Ledok Terban
itu -- yang hampir semuanya buruh kasar dan tukang becak--tak
lagi mengambil air minum dari Kali Code. Berkat para remaja itu
pula mereka kini mempunyai sumber air bersih, sebuah sumur
pompa.
Itulah hasil praktek kerja Cecilia Daryanti dan Mursiti
Wahyuningsih, dua siswa SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial)
Tarakanita Yogyakarta. Sebetulnya rencana kedua gadis ini
banyak. Antara lain juga kegiatan olahraga dan kursus mencukur
rambut. Tapi karena waktu praktek hanya tiga bulan, "rencana
kami akan kami serahkan kepada teman yang praktek berikumya,"
kata Daryanti.
Mandi Di Kali
Itu bukan kegiatan baru bagi SMPs Tarakanita, yang berdiri pada
1961 itu. Juga bagi SMPS Negeri maupun swasta yang ada di
beberapa kota di tanah air ini. Toh SMPS tak begitu populer. Ny.
Ermi Djoehari SH, Kepala Sekolah SMPS Negeri Jakarta, sering
menerima tamu yang akan memasukkan anaknya ke sekolahnya
--padahal si anak baru lulus SD. "Mereka mengira sekolah ini
setingkat SMP," katanya.
Sekolah yang lama pendidikannya 4 tahun itu, yang sebelum 1976
bernama SPSA (Sekolah Pekerjaan Sosial Atas), memang setingkat
SLA. Ia menaruh praktek kerja sebagai programnya yang terpenting
-- terutama dl daerah pelosok. Di Desa Ngembesan, desa kecil di
lereng Gunung Merapi, misalnya, satu-satunya SD di situ adalah
berkat praktek kerja SMPS Tarakanita Yogya di akhir tahun 60-an.
Juga salah sebuah sekolah di Desa Ngandong, di daerah yang sama.
Jadi selama ini praktek kerja memang kebanyakan dilakukan di
desa.
Itulah mengapa dipilihnya kampung miskin di kota, di Yogya,
untuk praktek kerja tahun ini, begitu menarik perhatian--seakan
orang baru tahu apa SMPS. Seorang dosen Fak. Teknik Universitas
Gajah Mada, yang juga seorang penulis, begitu tertarik. Y.B.
Mangunwijaya, orang itu, menganggap praktek kerja para siswa itu
lebih berhasil dari ICKN mahasiswa.
Di Kampung Wingit, di pinggir Sungai Winongo, tiga siswa SMPS
Tarakanita ditugasi membina sembilan kepala keluarga (29 jiwa)
terdiri dari tukang becak, pencari kertas bekas, pemungut
puntung dan semacamnya. Baru-baru ini ketika daerah itu dilanda
angin puyuh, banyak gubuk yang rubuh. Dan tanpa canggung tiga
remaja itu membantu mendirikan kembali gubuk-gubuk bambu itu.
Agaknya cara para siswa itulah mereka tinggal di rumah penduduk,
ikut mandi di kali, misalnya--yang mengesankan. Ada dua hal yang
mengesankan pada masyarakat di situ: semangat kerja bagi para
orang tua dan semangat belajar bagi anak-anak. "Anak-anak di
sini kini belajarnya teratur," kata Sukaeran Siswosuharjo, 40
tahun, penduduk Kampung Ledok Terban. Dan menurut Sarimin
Hadiwinoto, 52 tahun, ketua RT, kalau selama ini banyak
"penduduk saya yang malas bekerja, kini rajin berusaha mencari
kerja."
Pun Nona Diann Mc Cabe, ketua ICA (Institute of Cultural
Affairs), sebuah badan sosial dari Amerika Serikat, menganggap
para siswa itu "banyak membantu". ICA yang sejak 1978 menggarap
Kampung Bontoa, di Desa Marannu, Kabupaten Maros. Sulawesi
Selatan, memang banyak dibantu para siswa SMPS Negeri
Ujungpandang.
Dan dari pengalaman selama ini, ketua ICA rupanya mendapatkan
ken ataan bahwa siswa SMPS yang masih remaja itu mudah
mendekati para remaja di tempat praktek.
Lebih-lebih karena cara yang ditempuh para siswa praktek itu
umumnya bukan ceramah. Tapi langsung kerja, dan ini pun
dilakukan dengan informal, utur Nona Diann pula.
Itu diakui oleh seorang guru taman kanak-kanak di Desa Marannu.
"Kami senang belajar pada adik-adik itu. Caranya luwes, membuat
kami tak malu-malu," kata Daeng Bau, guru itu. Ia sendiri
menjadi guru TK secara sukarela-dan hanya bermodal tekad, tak
pernah menerima pendidikan formal.
Sayang juga, ya, sekolah yang mendidik langsung calon pekerja
sosial ini jumlahnya tak banyak. Yang negeri hanya delapan buah:
di akarta, Semarang, Surakarta, Malang, Palembang, Medan,
Banjarmasin dan Ujungpandang. Yang swasta hanya enam.
Di antara tahun-tahun pendidikan, setahun digunakan untuk
praktek lapangan. Itu bisa dibagi dua, tiga atau empat tahap,
tergantung kebutuhan. Dan sejak dulu jenis sekolah ini hanya
punya dua jurusan: Pelayanan Sosial dan Pengembangan Masyarakat.
Yang pertama lebih banyak berkecimpung di badan-badan sosial
macam panti asuhan atau lembaga rehabilitasi sosial. Prakteknya
pun biasanya dilakukan lewat lembaga tersebut. Jurusan kedualah
yang banyak langsung berhubungan dengan masyarakat.
Jumlah siswa yang negeri rata-rata 200-an tiap sekolah. Yang
swasta hampir sama. Tapi memang tak banyak yang lulus sampai
akhir.
Maklum: dilihat dari lapangan pekerjaan, tak begitu mengherankan
kalau SMPS tak begitu populer--meski yang di Malang, misalnya,
telah berdiri pada 1949. Selama ini, baik prakteknya maupun para
lulusannya kebanyakan memang mengambil lapangan pekerjaan di
desa atau di lembaga sosial.
Sedang arus yang kuat dari umumnya sekolah dewasa ini ialah,
sadar atau tak sadar, mencetak orang-orang "kantoran". Di kora,
kalau bisa nanti ke Ibukota. Mentereng, 'kan? Tanpa kerampilan
kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo