Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lolosnya polisi aktif dalam tes administrasi seleksi anggota Komnas HAM menjadi sorotan.
Polisi menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan dalam berbagai kasus pelanggaran HAM.
Panitia seleksi diminta mencermati standar internasional Paris Principle.
JAKARTA – Lolosnya polisi aktif dalam tes administrasi seleksi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2022-2027 menjadi sorotan. Anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, mengatakan kehadiran polisi akan berdampak pada kemandirian Komnas HAM. Independensi anggota dan pegawai Komnas juga terancam. “Polisi kan memiliki kesadaran korps dan perasaan persatuan yang sangat tinggi terhadap sesama polisi," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 50 calon anggota Komnas HAM untuk periode 2022-2027 dinyatakan lolos seleksi tertulis oleh tim panitia seleksi (pansel) pada pekan lalu. Salah satu calon yang lolos adalah Remigius Sigid Tri Hardjanto. Remigius tercatat sebagai polisi aktif dengan pangkat inspektur jenderal dan menduduki jabatan Kepala Divisi Hukum Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sandrayati mengatakan Komnas HAM sering menangani kasus pelanggaran yang melibatkan anggota kepolisian. Bahkan, dari hasil pemantauan dan penyelidikan, banyak pelanggaran hukum, tata tertib, serta pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh anggota Polri.
Sandrayati mencontohkan, berdasarkan catatan tahunan Komnas pada 2021, pelanggaran HAM yang dilakukan polisi menempati posisi teratas, yaitu 728 laporan. Aduan terbanyak berikutnya ditujukan untuk korporasi sebanyak 428 laporan, pemerintah daerah 249 laporan, pemerintah pusat 247 laporan, dan individu 229 laporan. Pola serupa juga terlihat dalam catatan pada tahun-tahun sebelumnya.
Irjen. Pol. Remigius Sigid Tri Hardjanto. pid.kalbar.polri.go.id
Untuk menangani setiap laporan, kata Sandrayati, Komnas HAM harus independen agar dapat menghasilkan fakta yang benar dan obyektif. "Apakah itu masih bisa dilakukan apabila salah satu anggota Komnas HAM merupakan anggota Polri?" ujarnya. "Bagaimana ada jaminan kerahasiaan atas semua temuan—termasuk pemeriksaan saksi dan lainnya—dalam proses penyelidikan kami nanti?"
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pada dasarnya setiap orang yang telah memenuhi kualifikasi dapat mendaftarkan diri sebagai anggota Komnas HAM. Pada Pasal 84 huruf b Undang-Undang HAM disebutkan bahwa orang yang memiliki pengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum bisa menjadi anggota Komnas HAM.
Sandrayati berpendapat, berdasarkan pasal tersebut, polisi aktif memang diperbolehkan untuk mendaftar menjadi anggota Komnas HAM. Namun, perlu diperhatikan, pada Pasal 84 huruf a ditegaskan bahwa calon anggota Komnas harus memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasinya. "Anggota kepolisian yang lolos itu harus memenuhi butir soal pengalaman isu dan perlindungan HAM," kata dia.
Panitia seleksi, kata Sandrayati, semestinya juga mempertimbangkan rujukan lain, yaitu Paris Principle atau Principles relating to the Status of National Institutions. Rujukan ini digunakan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa untuk memberikan akreditasi kepada Institusi HAM Nasional. "Kalau merujuk pada Prinsip Paris, pejabat atau pensiunan (polisi) semestinya tidak boleh mendaftar," ujarnya.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menegaskan bahwa Paris Principle selama ini menjadi standar internasional untuk mengukur independensi lembaga HAM di seluruh dunia. Lembaga yang lolos asesmen dan memiliki independensi bagus akan mendapat akreditasi A. "Komnas HAM Indonesia mendapat akreditasi A," ujarnya.
Taufan menegaskan, panitia seleksi mendapat mandat dari Komnas HAM untuk menentukan orang-orang yang kredibel. Karena itu, dia berharap panitia seleksi cermat memilih calon-calon terbaik sesuai dengan prasyarat yang tertuang dalam undang-undang ataupun standar internasional Prinsip Paris tersebut.
"Saya percayakan kepada pansel untuk menentukan siapa yang terbaik untuk menakhodai Komnas lima tahun ke depan,” kata Taufan. "Silakan didalami UU dan Paris Principle serta mempertimbangkan kepentingan masa depan hak asasi di Indonesia."
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) berpendapat bahwa keikutsertaan polisi dalam seleksi komisioner di lembaga non-struktural sebenarnya bukan fenomena baru. Sebelumnya, Firli Bahuri, yang berasal dari Korps Bhayangkara, lolos seleksi menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian ada Mochamad Iriawan, yang menjadi pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat. "Praktik tersebut menjadi acuan untuk membolehkan anggota Polri duduk di posisi tertentu di luar kepolisian," kata Wakil Koordinator Badan Pekerja Kontras, Rivanlee Anandar.
Rivanlee menilai, khusus di Komnas HAM, kehadiran polisi ini cukup berbahaya karena berpotensi mengancam independensi lembaga tersebut. Sebab, polisi kerap menjadi pihak yang dilaporkan dalam berbagai kasus tindak kekerasan terhadap massa aksi atau kelompok masyarakat rentan. Karena itu, Rivanlee heran tim seleksi dengan mudah meloloskan polisi aktif dalam tes administrasi. "Seleksi tidak bisa dilihat dari selembar surat administrasi saja, tapi juga harus kontekstual dan melihat peran Polri selama ini," ujarnya.
Menurut Rivanlee, jika seleksi ini tetap dilanjutkan, dikhawatirkan bakal menjadi preseden buruk untuk pemilihan komisioner selanjutnya. Padahal yang harus dicari adalah komisioner yang lebih baik daripada komisioner pada periode-periode sebelumnya. "Komnas HAM akan bias nantinya,” katanya. “Kompolnas, yang diisi oleh polisi, tak mampu mencegah atau merekomendasikan hal secara konkret dalam perbaikan Polri. Akan sulit bagi Komnas jika hal serupa terjadi."
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan fenomena itu menunjukkan kepolisian berupaya memperluas penetrasi ke berbagai instansi non-kepolisian. Termasuk untuk masuk ke dalam tubuh Komnas HAM saat ini. "Apalagi Komnas HAM belakangan ini menyoroti kinerja kepolisian secara kritis," kata dia.
Dalam Prinsip Paris, kata Usman, representasi anggota lembaga HAM sebenarnya memang harus beragam, baik mewakili gender, geografi, maupun latar belakang politik. Indonesia pernah menerapkan hal itu ketika Komnas HAM dipimpin Marzuki Darusman dari Partai Golkar. Kemudian Koesparmono Irsan yang memiliki berlatar belakang kepolisian.
"Tapi yang bersangkutan sudah pensiun dan bukan lagi anggota kepolisian,” kata Usman. "Karena itu, siapa pun anggota kepolisian aktif tetap harus mengundurkan diri jika ingin masuk ke Komnas HAM."
Ketua Panitia Seleksi Anggota Komnas HAM, Makarim Wibisono, mengatakan Inspektur Jenderal Remigius Sigid Tri Hardjanto saat ini masih menjalani seleksi dan belum menjadi komisioner. Berdasarkan dokumen pendaftaran, Remigius bakal memasuki masa pensiun pada tahun ini. "Jadi, kalau terpilih, semua orang yang dari polisi itu harus sudah berhenti dari institusinya," ujar dia.
Panitia seleksi, kata Makarim, bakal mengadakan dialog publik pada 8-9 Juni mendatang. Dalam dialog ini, semua peserta yang telah lolos seleksi tertulis bakal berhadapan dengan masyarakat untuk diberondong pertanyaan. Jawaban dan cara pandang mereka terhadap isu HAM akan dinilai oleh panitia. "Termasuk anggota kepolisian itu,” katanya. “Apakah dia cuma mau jadi alat atau orang yang sebenarnya memenuhi kriteria yang dibutuhkan Komnas HAM."
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo