Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seleksi Penjabat Kepala Daerah Bermasalah

Ombudsman menemukan proses pengusulan penjabat kepala daerah di 85 daerah tidak transparan dan tak melibatkan publik.

10 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Ombudsman RI menilai proses pengusulan calon penjabat kepala daerah di 10 provinsi dan 75 kabupaten/kota tidak transparan dan tak melibatkan partisipasi publik. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tersebut absen sejak proses pengusulan hingga penetapan tiga calon penjabat di daerah masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan kesimpulan tersebut merujuk pada laporan dari kantor perwakilan Ombudsman yang tersebar di 34 provinsi. Mereka mengawasi proses pergantian penjabat kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan wali kota, sejak tahap pengusulan hingga penetapan calon di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "DPRD tak melakukan penjaringan aspirasi atau setidaknya mengumumkan nama-nama bakal calon untuk mendapat masukan masyarakat," kata Robert di kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, pada Rabu, 9 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa jabatan 17 gubernur dan 153 bupati/wali kota akan berakhir pada September-Desember mendatang. Sebanyak 10 gubernur dan 75 bupati/wali kota di antaranya akan purnatugas pada bulan depan. Mereka akan digantikan oleh penjabat sebagai kepala daerah sementara karena pilkada serentak baru akan digelar pada November 2024. Kemarin adalah batas waktu terakhir bagi DPRD di 10 provinsi mengajukan nama calon penjabat usulan daerah kepada Kementerian Dalam Negeri. Adapun proses pengusulan nama calon penjabat kepala daerah di 75 kabupaten dan kota dimulai sejak Mei lalu. 

Dalam proses pemilihan penjabat gubernur, DPRD provinsi akan mengusulkan tiga nama calon. Mereka akan bersaing dengan tiga calon yang diusulkan kementerian dan lembaga. Para calon yang diusulkan harus aparatur sipil negara dengan jabatan pimpinan tinggi madya, baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Adapun dalam pengusulan calon penjabat bupati/wali kota, akan dijaring sembilan calon yang selama ini menduduki jabatan pimpinan tinggi pratama, yang pengusulannya dibagi rata dari DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan kementerian/lembaga.   

Para calon yang diusulkan oleh pemerintah daerah ataupun kementerian/lembaga itu akan diseleksi oleh tim pra-penilai akhir. Tim ini dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri serta beranggotakan pejabat setingkat eselon I dari Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Badan Kepegawaian Nasional, Badan Intelijen Negara, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Mereka akan meneliti berkas administrasi dan melacak rekam jejak para calon, serta memeras jumlah calon penjabat menjadi tiga nama saja untuk diusulkan kepada tim penilai akhir yang dipimpin Presiden Joko Widodo.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat pelantikan lima penjabat (Pj) gubernur untuk lima provinsi, yakni Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat, di Jakarta, 12 Mei 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat

Robert menyesalkan tak adanya transparansi dan partisipasi publik dalam proses penetapan calon usulan daerah. Ombudsman, kata dia, sudah lama meminta Kementerian Dalam Negeri mengoreksi maladministrasi yang sebelumnya terjadi dalam proses penunjukan 101 penjabat kepala daerah pada 2022. Kala itu Ombudsman menekankan supaya proses pemilihan penjabat berikutnya, yang digelar tahun ini, dilakukan secara terbuka, transparan, serta partisipatif.

"Transparan artinya publik harus tahu kenapa seseorang diangkat menjadi penjabat kepala daerah di suatu tempat," kata Robert. "Namun transparansi informasi dan keterbukaan proses dan open data itu masih jauh dari standar memadai." 

Akibatnya, proses pemilihan penjabat kepala daerah terkesan hanya menjadi ajang pertarungan kepentingan politik. Padahal kewenangan para penjabat kepala daerah hampir sama dengan gubernur atau bupati/wali kota definitif. Menurut Robert, proses yang terlalu birokratis atau politis, serta tak melibatkan aspirasi atau dukungan masyarakat dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, justru berpotensi menyebabkan para penjabat tak efektif bekerja. 

"Karena kalau ada unsur politik, butuh banyak waktu melakukan konsolidasi dengan masyarakat. Padahal waktu kerjanya tidak lama, bisa tiga bulan, bisa setahun. Tapi, kalau sudah banyak waktu yang dipakai untuk berkonsolidasi dengan masyarakat, efektivitas pemerintahan menjadi taruhannya," kata Robert. 

Robert pun meminta Kementerian Dalam Negeri membuka data calon penjabat kepala daerah. Dia juga meminta Kementerian memberikan tambahan waktu selama dua pekan kepada DPRD untuk menentukan tiga nama calon. Dalam waktu itu, DPRD harus membuka data para bakal calon penjabat untuk menjaring partisipasi publik dalam penilaian terhadap para kandidat. 

"Kami juga minta Kemendagri nanti membuat kerangka evaluasi berbasis perbaikan kinerja. Pastikan kepala daerah mengerti instrumen kinerja. Setiap tiga bulan berdasarkan peraturan Mendagri, harus ada laporan pertanggungjawaban," ujar Robert.

Masa Tugas Berakhir

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, tak kaget terhadap temuan Ombudsman dalam proses penjaringan calon penjabat di daerah. Selama ini, pengusulan penjabat kepala daerah tidak pernah transparan, apalagi melibatkan partisipasi publik. ICW bahkan pernah menggugat Kementerian Dalam Negeri agar membuka dokumen dan informasi pengangkatan penjabat kepala daerah. Gugatan ini dilayangkan ICW melalui Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 2022. "Hasilnya, kami menang pada Juli 2023," ujar Kurnia kepada Tempo, kemarin. "Sampai saat ini, kami masih menunggu langkah Kemendagri atas putusan itu."

Dalam putusannya, KIP memutuskan data mengenai pengangkatan penjabat gubernur dan seluruh aturan teknis ihwal pengisian posisi penjabat kepala daerah merupakan informasi terbuka serta dokumen-dokumen tersebut wajib diberikan kepada ICW. Begitu pula status pada dokumen penjaringan calon penjabat, dokumen usulan dan saran yang diterima Kementerian Dalam Negeri ihwal kandidat penjabat, dokumen pertimbangan dalam sidang tim penilai akhir calon penjabat kepala daerah, serta dokumen rekam jejak dan latar belakang kandidat penjabat kepala daerah. Dokumen tersebut dicap sebagai informasi terbuka sepanjang tidak memuat data pribadi. 

Menurut Kurnia, mekanisme yang tidak transparan membuat masyarakat tak mengetahui latar belakang para calon penjabat kepala daerah. Mekanisme ini juga memunculkan potensi konflik kepentingan. Misalnya, penguasa bisa menunjuk calon untuk kepentingan mereka. Walhasil, agenda pembangunan daerah justru terancam tidak dijalankan. "Apalagi kita tidak tahu mekanisme evaluasinya. Selama ini tidak dijelaskan dalam Permendagri Nomor 4 Tahun 2023," ujarnya. 


Baca juga:


Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan penunjukan penjabat memang masih menjadi polemik. Sebab, sampai saat ini belum ada indikator penunjukan penjabat seperti yang disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022. Putusan MK tersebut menjelaskan bahwa penunjukan penjabat harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Dengan demikian, seharusnya Kementerian Dalam Negeri memiliki aturan teknis yang sejalan dengan putusan MK ini. "Namun itu tidak dijalankan Kemendagri," ujarnya. 

Peneliti dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian, bahkan menganggap mekanisme pengusulan calon penjabat kepala daerah telah melanggar konstitusi karena tidak demokratis. Penjabat kepala daerah, dia mengingatkan, diberi kewenangan untuk melaksanakan kepentingan publik. Karena itu, seharusnya para calon juga dipilih oleh publik. "Sayangnya, pemilihan penjabat tidak melibatkan masyarakat," kata Rozy.

Mekanisme tidak transparan juga berbahaya karena tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dan asas tata kelola pemerintahan yang baik. Asas ini, kata Rozy, semestinya diwujudkan untuk mencegah penjabat kepala daerah justru diduduki oleh calon dengan rekam jejak yang buruk dan sarat konflik kepentingan politik. 

Gubernur Maluku Murad Ismail melantik empat penjabat bupati dan wali kota yang telah berakhir masa jabatannya pada 22 Mei 2022, di Lapangan Merdeka, Ambon, 24 Mei 2022. ANTARA/Penina F Mayaut.

Di mata pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, pemilihan penjabat kepala daerah menjelang Pemilihan Umum 2024 memang kental dengan nuansa politik praktis. Partai politik di DPRD akan mengajukan aparatur sipil negara yang bisa mengakomodasi kepentingan elektoral mereka. "ASN memang harus netral, tapi faktanya, kalau bicara politik, mereka tak netral," kata Ujang. "Apalagi ini masuk tahun politik pasti tak akan netral."

Ujang khawatir penjabat yang dipilih dengan proses sarat kepentingan politik akan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Yang paling jamak, kata dia, penjabat akan membuat kebijakan yang seolah pro-rakyat, seperti program bantuan sosial. "Kemudian mereka akan memberikan langsung ke masyarakat untuk pencitraan," kata Ujang.

Kemarin, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irawan, tak menjawab pesan dan panggilan telepon Tempo ihwal temuan Ombudsman tersebut. Namun sebelumnya dia berjanji akan menyampaikan data-data nama calon penjabat kepala daerah kepada publik. Dia juga memastikan pemerintah berupaya memilih penjabat kepala daerah yang tidak mempunyai konflik kepentingan dan rekam jejak bermasalah. Pemerintah, kata dia, telah meminta secara khusus kepada Badan Intelijen Negara untuk meneliti secara detail rekam jejak para calon penjabat kepala daerah. "Sekarang informasi dari publik juga sangat kuat untuk membantu informasi," kata Benny pada 6 Agustus lalu.

Selain itu, menurut Benny, regulasi yang menjadi rujukan pemilihan penjabat kepala daerah telah mengatur proses evaluasi. Masa jabatan penjabat kepala daerah paling lama hanya satu tahun, meski bisa diperpanjang dengan orang yang sama atau berbeda. Adapun evaluasi dilakukan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri setiap tiga bulan sekali terhadap penjabat kepala daerah. "Kalau memang dianggap kurang atau tidak netral, bisa dievaluasi dan dibina," kata Benny. "Kami membuka diri agar publik, media, dan lembaga swadaya masyarakat untuk ikut mengawasi."

HENDRIK YAPUTRA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus