Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis ekonomi tidak cuma mengimbas, tapi juga melibas sekolah Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug, Jawa Barat. Maka, wajarlah bila tak ada upacara istimewa dalam pergantian pimpinan yang berlangsung Senin,1 Februari silam. Saat itu kepala PLP Curug?sekolah milik pemerintah yang mendidik pilot komersial?diserahterimakan dari Soenaryo Yosopratomo kepada mantan kepala pusat penelitian dan pengembangan di sekolah itu, Nur Susanto. Soenaryo, yang sudah lima tahun menjadi kepala PLP, langsung menempati pos baru di Departemen Perhubungan, sebagai Dirjen Perhubungan Udara.
Upacara dan resepsi sederhana diselenggarakan karena sekolah bergengsi yang sampai beberapa tahun lalu masih jadi rebutan para lulusan SMA dan STM itu kini sedang terancam kesulitan finansial. Di bawah tekanan krisis ekonomi yang semakin menjadi-jadi, satu dari lembaga pendidikan penerbang itu?di Indonesia ada dua sekolah penerbangan?harus berusaha keras agar bisa tetap mencetak lulusan yang bermutu.
Seperti halnya beberapa sekolah kejuruan di Indonesia, PLP Curug, yang dirintis sejak 1952, belum mampu membiayai dirinya sendiri. Di sekolah ini seorang siswa bisa menghabiskan biaya pendidikan hingga Rp 50 juta. Biaya itu, selain untuk keperluan buku, seragam, pemondokan, dan makan, pos anggaran terbesar dialokasikan untuk mengoperasikan pesawat terbang.
Padahal untuk menyelesaikan pendidikan yang setara D-2 itu, setiap siswa cuma dipungut bayaran sekitar Rp 3 juta. Sisanya ditanggung pemerintah. Dengan jumlah siswa 200 orang yang terdiri dari dua angkatan, sekolah ini mendapat subsidi Rp 5 miliar per tahun. Kini dana sebesar itu tak lagi cukup untuk menutupi bujet yang membengkak.
Lagi pula sekolah penerbangan itu kini tak mendapatkan penghasilan "sampingan". Sesuai dengan aturan main, perusahaan penerbangan komersial yang memakai pilot lulusan PLP Curug harus mengembalikan biaya subsidi yang dikucurkan pemerintah. Celaka bagi PLP Curug, sejak dua tahun lalu perusahaan penerbangan justru ramai memberhentikan pilotnya.
Sejak itu sekolah ini tak sanggup lagi menanggung biaya perawatan pesawat, yang menyita anggaran terbesar dari total pengeluaran setiap tahunnya. Pesawat yang mesinnya sudah melewati batas waktu pemakaian tak bisa dioperasikan karena tak ada dana untuk membeli yang baru, yang harganya melonjak tiga kali lipat.
Pesawat latih TB-10 Tobago buatan Aerospatiale, Prancis, yang mutakhir dan paling enak dikendalikan, kini terpaksa dikandangkan. PLP Curug tak mampu membiayai perawatannya karena suku cadangnya saja harus diimpor dari Prancis. Begitu pula pesawat MD-3 buatan Malaysia yang tergolong favorit, sekarang terpaksa mendekam di garasi. Usia mesin pesawat ini sudah di atas 5.000 jam dan tentu tak lagi layak terbang.
Alhasil, taruna yang sedang menyelesaikan tugas akhir terpaksa berlatih dengan pesawat Sundowner dan Piper Dakota yang tergolong tua. Tak ada pilihan lain karena cuma dua pesawat itu yang dilengkapi mesin baru. PLP memang masih menyimpan dua unit pesawat baru, yakni Baron bermesin ganda dan TBM-70 buatan Socata, Prancis. Hanya, taruna penerbang tak bisa menerbangkannya sesuka hati. Setiap siswa hanya diizinkan mengangkasa selama empat jam. Padahal, menurut kurikulum, taruna bisa berlatih dengan kedua pesawat itu selama delapan jam. Pemangkasan jam terbang juga diberlakukan terhadap penggunaan pesawat tua Sundowner dan Piper Dakota tadi.
Soal kesulitan keuangan yang dialami sekolah penerbang di Curug tak disangkal oleh Soenaryo. Namun hal itu bukan dialami oleh PLP Curug saja, tapi juga semua perguruan tinggi negeri di Indonesia. Ia membantah bahwa PLP Curug telah mengurangi jam terbang tarunanya. Yang betul, katanya, jumlah taruna yang akan terbang dikurangi. Dulu, untuk sekali terbang, biasanya diikutkan 20 taruna sekaligus, tapi kini dibatasi 5 taruna saja. Yang lain menunggu giliran. Hanya yang memiliki prestasi bagus yang diberi kesempatan mengudara lebih dulu.
Akibatnya, waktu belajar mungkin bertambah, misalnya dari dua tahun menjadi empat tahun. Sambil menunggu, mereka diperbolehkan meneruskan studi di tempat lain. "Dengan begitu, sekolah bisa menghemat biaya pembelian mesin," kata Soenaryo.
Sebagai pemimpin PLP Curug yang baru, Nur Susanto belum sudi ber komentar perihal biaya irit yang menghadang kesinambungan pendidikan di sekolahnya. Siapa pun harus mengakui, memimpin PLP Curug melalui masa-masa suram tentu merupakan pekerjaan yang penuh tantangan. Jika Nur Susanto mampu mengatasi berbagai kesulitan itu, bukan saja para taruna yang berutang budi kepadanya, tapi juga dunia penerbangan komersial pada umumnya.
Ma'ruf Samudra dan Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo