Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengejar Royalti Pengelola Lahan Negara

Sengkarut lahan Hotel Sultan dengan PPKGBK terus bergulir. Perpanjangan izin pengelolaan lahan mesti melalui tender.

9 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PPK-GBK meminta PT Indobuildco, pengelola Hotel Sultan, mengosongkan lahan di kawasan Gelora Bung Karno (GBK).

  • Konflik status pengelolaan lahan bermula sejak 1971.

  • Izin perpanjangan lahan Senayan bisa diajukan, tapi melalui mekanisme tender.

JAKARTA – Ratusan polisi berkumpul di dekat pintu masuk The Sultan Hotel and Residence Jakarta sejak Rabu pagi, 4 Oktober lalu. Mereka bersiaga mengamankan lokasi hotel bertaraf internasional itu setelah Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) meminta PT Indobuildco, perusahaan yang menaungi Hotel Sultan, mengosongkan lahan di kawasan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saor Siagian, pengacara PPKGBK, mengatakan bahwa pengosongan lahan dilakukan karena hak guna bangunan (HGB) yang dikantongi PT Indobuildco telah habis masa berlakunya pada 2023. Selain pengosongan, PT Indobuildco tetap diharuskan membayar royalti yang nilainya masih dihitung berkisar Rp 600 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Kewajiban ini merujuk pada Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Nomor 1744 pada 1971,” ujar Saor dalam penjelasannya kepada Tempo, pekan lalu. Pembayaran royalti menjadi kewajiban PT Indobuildco seiring dengan terbitnya izin dari Gubernur Ali Sadikin kepada perusahaan tersebut untuk menggunakan tanah Blok 15 Komplek Gelora Bung Karno.

Warga melintas di depan Hotel Sultan, Kompleks GBK, Jakarta, 29 September 2023. ANTARA/Galih Pradipta

Saor menjelaskan, dalam poin 5 Surat Keputusan Nomor 1744/A/K/BKP/71 yang diteken Gubernur Ali Sadikin pada 12 Januari 1971 disebutkan bahwa PT Indobuildco diwajibkan membayar royalti US$ 50 ribu per tahun atau US$ 1,5 juta untuk izin penggunaan lahan selama 30 tahun. ”Royalti ini pun diperkuat oleh putusan majelis hakim yang memutuskan hak pengelolaan lahan atas tanah atau HPL kepada PPKGBK itu sah dan menghukum Indobuildco membayar royalti,” ujar Saor. Selama masa izin penggunaan lahan, menurut PPKGBK—layanan umum di bawah Kementerian Sekretariat Negara—PT Indobuildco disebut menunggak royalti sejak 2007.

Pengacara PPKGBK lainnya, Chandra Hamzah, menyatakan bahwa putusan pengadilan atas PT Indobuildco telah jelas, yaitu menghukum untuk membayar royalti atas penggunaan lahan atas nama Kementerian Sekretariat Negara dan PPKGBK beserta bunga dan dendanya sejak 2007. “Jumlah seluruhnya US$ 2.251.500,” ujar Chandra.

Dalam kesempatan terpisah, pemerintah menyatakan belum menghitung kerugian yang timbul akibat sengketa Hotel Sultan. Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama mengatakan, pemerintah mendorong PT Indobuildco milik Pontjo Sutowo itu membayar royalti lebih dulu. “Kami upayakan agar mereka bisa membayar royalti. Diselesaikan dulu kewajibannya," ujar Setya ketika ditemui di Kompleks Gelora Bung Karno, pekan lalu.

Baca:

Hotel Hilton Berganti Nama

Sengkarut Bermula di Atas Lahan Negara

Sengkarut status penggunaan lahan di dekat Simpang Susun Semanggi ini bermula pada 1971. Saat itu PT Indobuildco diberi tugas oleh pemerintah DKI Jakarta untuk membangun gedung konferensi dan hotel bertaraf internasional.

PT Indobuildco melakukan perjanjian dengan pemerintah DKI dengan sejumlah syarat dan perjanjian yang diteken pada Agustus 1971. Salah satu poin perjanjian adalah Indobuildco mendapatkan izin penggunaan lahan seluas 13 hektare dengan membayar royalti kepada Gubernur sebesar US$ 1,5 juta untuk jangka waktu 30 tahun.

Pada Agustus 1972, terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang diteken Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri. Isinya adalah HGB 20/Gelora PT Indobuildco untuk jangka waktu 30 tahun. HGB tersebut dipecah menjadi dua, yakni HGB Nomor 26/Gelora tanah seluas 57.120 meter persegi dan HGB Nomor 27/Gelora seluas 83.666 meter persegi. Kedua HGB itu memiliki masa hingga Maret 2003. Setahun sebelum berakhir, PT Indobuildco mengklaim telah mengajukan permohonan perpanjangan atas kedua HGB tersebut selama 20 tahun hingga 2023.

Namun ada Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 tentang Pemberian Hak Pengelolaan atas Nama Sekretariat Negara Republik Indonesia cq Badan Pengelolaan Gelanggang Olahraga Senayan.

Atas surat itu, PT Indobuildco pada 2006 menggugat ke pengadilan. Dalilnya, surat keputusan BPN itu cacat hukum. PT Indobuildco juga mengklaim masih berhak atas lahan tersebut dengan status hak guna bangunan (HGB) yang diperpanjang selama 20 tahun hingga 2023.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2007 mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan PT Indobuildco. Putusan itu dikuatkan majelis banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hingga putusan kasasi Mahkamah Agung.

Singkat cerita, pemerintah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi. Putusan PK berbalik 180 derajat. Majelis hakim PK Mahkamah Agung mengabulkan sengketa ini dan membatalkan putusan sebelumnya.

Dalam putusan PK, salah satu pertimbangan MA mengabulkan permohonan pemerintah adalah kasus hukum yang menyeret Robert Jeffrey Lumempouw, Kepala Kantor Wilayah BPN Jakarta. Dia disebut sebagai pihak yang menerbitkan perpanjangan HGB. Dalam kasus ini, Robert dinyatakan bersalah karena menyalahgunakan wewenang dalam memperpanjang HGB Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora.

Tidak tinggal diam, Indobuildco melawan dengan juga mengajukan PK. Total, Indobuildco mengajukan PK sebanyak tiga kali. Namun ketiga PK tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim. Tak berhenti, pada 2023, PT Indobuildco melayangkan gugatan terhadap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional perihal pengelolaan Blok 15 kawasan GBK atau Hotel Sultan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Adu Klaim di Lahan Negara

KT Nasional Infog 9-1-1 Adu Klaim Lahan di Aset Negara

Baca: Sengketa Hotel Planet Dianggap Selesai

Deklarasi Pengosongan

Direktur Umum PPKGBK Hadi Sulistia mengatakan, upaya pengosongan ini bakal dilakukan dengan langkah yang persuasif. Menurut dia, PPKGBK bakal melakukan pertemuan lebih dulu dengan PT Indobuildco untuk menyampaikan informasi mengenai adanya tindakan pemasangan spanduk, plang, dan sebagainya. Pemasangan ini dilakukan, kata Hadi, karena tidak digubrisnya beberapa kali pemberitahuan yang dilayangkan oleh PPKGBK kepada PT Indobuildco. “Ini deklarasi agar publik tahu tanah Blok 15 adalah milik negara.”

Chandra menegaskan, PT Indobuildco diharapkan dapat mematuhi prosedur dan kesepakatan secara hukum. Sebab, kata Chandra, HGB Nomor 26 dan 27/Gelora yang dikantongi PT Indobuildco sudah berakhir. “Kami harap mereka bisa paham dan dilakukan penyelesaian secara baik, yaitu dikosongkan.”

Tanah di Blok 15 Kompleks GBK ini, Chandra melanjutkan, merupakan tanah yang hak pengelolaan atas tanah (HPL) dikantongi oleh PPKGBK atas nama Kementerian Sekretariat Negara. Hal tersebut, kata dia, juga diperkuat dengan terbitnya HPL Nomor 1/Gelora Tahun 1989. Upaya peninjauan kembali yang diajukan PT Indobuildco juga ditolak seluruhnya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Jadi, tidak perlu diperdebatkan lagi.”

Respons Indobuildco

Dalam kesempatan terpisah, Hamda Zoelva, pengacara PT Indobuildco, mengklaim bahwa kliennya tidak memiliki utang kepada pemerintah. Sebab, PT Indobuildco sudah membayar royalti US$ 1,5 juta untuk 30 tahun pertama dan tahap selanjutnya hingga 2006 karena ada putusan pengadilan. “(Royalti) yang baru, yang 2007 sampai sekarang, kami bingung dasarnya apa?" ujar Hamdan.

Dia menegaskan, PT Indobuildco pada 1971 ditugaskan pemerintah melalui Gubernur DKI Jakarta untuk membangun hotel bertaraf internasional. PT Indobuildco memperoleh izin dan penunjukan penggunaan tanah eks Jakindra (Yayasan Kerajinan dan Kebudayaan Industri Rakyat) seluas kurang-lebih 13 hektare, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 1744/A/K/BKD/71.

PT Indobuildco kemudian mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut kepada negara melalui Menteri Dalam Negeri dan telah dikabulkan dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 181/HGB/Da/72 tanggal 3 Agustus 1972.

Hamdan menyatakan bahwa HPL Nomor 1/Gelora atas nama Kementerian Sekretariat Negara baru terbit pada 1989. Sedangkan PT Indobuildco sudah mengantongi HGB sejak 1972. Menurut hukum tanah nasional, kata Hamdan, HPL harus terbit di atas tanah negara bebas tanpa hak. “Sebelum HPL terbit, lahan tersebut harus dibersihkan dan diberi ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang ada di atas lahan yang akan dijadikan HPL.”

Hamdan menilai, PPKGBK seharusnya bisa melakukan dialog dengan kliennya untuk meluruskan persoalan ini. Terlebih, kata dia, PT Indobuildco sudah mengajukan surat kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk meminta pelindungan hukum pada 2 Oktober lalu. “Ini kan bukan penghuni liar. Ini berkaitan dengan perkara,” ujar Hamdan.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Feri Wibisono (kiri); Ketua Dewan Pengawas Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) sekaligus Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej; Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama; dan Direktur Utama PPKGBK Rakhmadi Afif Kusumo memberikan keterangan perihal pengelolaan Blok 15 Kawasan PPKGBK (Hotel Sultan) setelah berakhirnya hak guna bangunan a.n. PT Indobuildco, di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, 3 Maret 2023. TEMPO/Subekti

Ihwal permohonan pembaruan perpanjangan HGB, Setya Utama mengatakan, pemerintah tidak bisa begitu saja mengabulkan permohonan PT Indobuildco. “Kalau mau lanjut (perpanjangan), ya, harus ikut tender,” kata dia. Setya menjelaskan, aturan tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2023. Aturan itu mengatur bahwa kerja sama optimalisasi aset barang milik negara harus dilakukan dengan tender. Meski begitu, menurut dia, pemerintah belum menghitung kerugian negara yang timbul akibat sengketa Hotel Sultan. “Kalau mau ikut tender, diselesaikan dulu kewajibannya.”

ANDI ADAM FATURAHMAN | RIRI RAHAYU | SUKMA LOPPIES

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus