KAMIS, 3 November, Kota Sabang bagaikan sedang dilanda libur
resmi. Beberapa kantor pemerintah dan sekolah lengang. Konon,
para pegawai dan pelajar bergabung dengan massa, jumlahnya
sekitar empat ribu orang, yang memenuhi halaman dan jalan raya
di depan gedung Pengadilan Negeri Sabang. Hari itu, Yusuf Walad,
bekas wali kota Sabang, mulai diadili.
Walad, yang dituduh memanipulasikan uang pajak negara sekitar
setengah milyar rupiah, tampak kalem-kalem saja. Di ruang tunggu
kantor pengadilan, ia sempat berpesan kepada istri dan keenam
anaknya "Tenang-tenang saja kalian. Saya tak apaapa," ujar
Walad, alumnus Fakultas Ekonomi UI, yang hari itu mengenakan
pakaian dinas kepala daerah berwarna abu-abu dengan lencana
jabatan di dadanya.
Gara-gara seragam dan lencana itu pula sidang terpaksa
diurungkan. Jaksa penuntut umum, Soeharto, menolak permintaan
majelis hakim, yang diketuai Asmar Ismail, untuk membawa Walad
ke kursi di depan meja hijau. "Tertuduh tak mau menanggalkan
tanda jabatannya sebagai wali kota," kata Soeharto. Terpaksa ia
meminta sidang ditunda selama dua pekan untuk menyelesaikan
masalah itu.
Soeharto sempat berdebat selama sekitar satu jam dengan Walad
yang bersikeras bahwa dia masih berstatus wali kota. "Mana surat
pemberhentian dari Mendagri ?," teriak Walad pada Soeharto.
Menurut dia, yang ada hanyalah surat keputusan menarik dia ke
kantor gubernur di Banda Aceh.
Namun, menurut sebuah sumber di Kejaksaan Tinggi Aceh, gubernur
Aceh Hadi Thayeb sudah menunjuk seorang penjabat untuk
menggantikan Walad. "Kalau Walad menganggap dirinya masih wali
kota, berarti ada dua wali kota Sabang," kata sumber itu.
Penundaan sidang karena alasan pemakaian seragam dan tanda
jabatan itu dipersoalkan beberapa ahli hukum. "Seharusnya sidang
tidak perlu ditunda. Baju dan lencana yang dipakai seorang
terdakwa tidak dapat dijadikan alasan oleh jaksa maupun hakim
untuk menunda sidang," kata Albert Hasibuan, wakil ketua Komisi
III DPR.
Pengacara Soemadji malah menganggap alasan jaksa menunda sidang
dicari-cari. "Orangnya atau jabatannya, itu 'kan satu orang. Dia
tidak melakukan sesuatu jika tidak memiliki jabatan itu. Jadi,
sepanjang ia masih dalam jabatan yang benar, boleh saja ia
memakai seragam," katanya pekan lalu. Hukum acara, katanya,
tidak mengatur soal pakaian.
Dalam sidang berikut, Walad sudah bisa dipastikan tidak akan
memakai lencana dan baju dinas wali kota. "Sebenarnya, sejak
kawat Mendagri, 5 Agustus, yang menarik Yusuf Walad dari
jabatannya ke posisi kantor gubernur Aceh, ia sudah tak berhak
menyatakan diri scbagai wali kota sekalipun masa jabatannya
belum habis," kata Feisal Tamin, kepala Biro Humas Departemen
Dalam Negeri.
Pemberhentian Walad dari jabatannya kata Feisal, lebih
ditegaskan dengan keputusan Mendagri 1 November lalu yang
menunjuk Letnan Kolonel Husein Main sebagai penjabat wali kota
Sabang. "Jadi, secara moral, memang kurang kena menghadiri
sidang dengan seragam jabatan yang tidak lagi dijabatnya," kata
Feisal. Agaknya, keputusan Mendagri itu terlambat sampai di
Sabang hingga Walad bisa berulah dan menunda sidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini