Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINUMAN keras sudah meluas sampai ke desa-desa pelosok di Aceh.
Pengedarnya pun agaknya leluasa menawarkan dagangannya dengan
keuntungan besar.
A. Muis misalnya dengan truk Daihatsu mengantar minuman sampai
ke udik. Mengambil brendi TKW dan Double Cat dari Medan,
"keuntungan saya bisa dua kali lipat," kata Muis (41 tahun). Ia
juga mengaku tak punya izin untuk itu. "Buat apa izin, kan tidak
pernah dilarang," katanya lagi.
Agen minuman Vigour di Banda Aceh juga membantah minuman yang
ia ambil dari Medan itu termasuk jenis terlarang. "Sebab kami
punya izin," kata pengusaha yang tak mau disebutkan namanya itu.
"Bahkan kami pakai selebaran pula," tambahnya. Bukan hanya itu,
di beberapa tempat juga tampak spanduk-spanduk mengiklankannya.
Di provinsi serambi Mekah itu sebenarnya ada Perda (No. 6/1966)
yang melarang membuat, memasukkan, menimbun dan memperdagangkan
minuman keras. Yaitu semua benda cair minuman yang sifatnya
memabukkan. Bagi pelanggarnya dikenakan sanksi kurungan
selama-lamanya 6 bulan atau denda Rp 10.000. Perda itu
diterbitkan mengingat sebagian besar masyarakat Aceh beragama
Islam.
Tapi sejak Perda tersebut berlaku hingga kini, tak pernah ada
pelanggar yang diseret ke meja hijau. Razia juga hanya sesekali
diadakan, tanpa hasil. Buktinya minuman keras kini meluas di
sana. Tak heran bila Haji Abdullah Ujung Rimba, Ketua Majelis
Ulama Aceh, jadi risau. "Jika tak cepat ditanggulangi, hal itu
akan merusak citra daerah ini," katanya. Sebab, tambah Abdullah,
"Saya juga melihat para pengedar, penjual dan pecandunya
mabuk-mabukan, membuat onar setiap malanl. Dan terjadi di kota
maupun desa." Ulama ini lalu menyarankan agar dibentuk tim yang
tetap untuk menertibkannya.
Tim yang dimaksudpun sebenarnya sudah pula terbentuk. "Tim tetap
ini akan bekerja secara maraton. Dan semua unsur kita libatkan,"
kata Ja'far Ahmad, Walikota Banda Aceh. Ja'far belum bisa
menjamin seberapa ampuh timnya. Sebab selama ini ternyata juga
ada SK Gubernur No. 5/1974 yang memberi izin khusus menjual
minuman keras bagi orang asing untuk beberapa jenis minuman
tertentu. "Di Banda Aceh ini saya tidak tahu siapa saja yang
mengantngi izin khusus itu, sebab hal itu urusan Biro Ekonomi
Kantor Gubernur," kata Ja'far lagi.
Seorang staf di Kantor Biro Ekonomi Gubernur Aceh menyatakan,
izin menjual minuman keras sudah menjadi tanggung jawab Dinas
Kesehatan. Repotnya seorang staf Dinas Kesehatan Aceh yang
bertugas meneliti kadar alkohol minuman keras mengaku "tidak
pernah memeriksa minuman keras." Ia hanya mensinyalir yang
beredar di Aceh sekarang termasuk minuman yang berkadar alkohol
tinggi.
Gubernur A. Madjid Ibrahim juga bersikap keras. Ia minta agar
seluruh aparat lebih giat membendung arus meluasnya minuman
keras ini. "Ini harus kita tangani serius, sekaligus menjatuhkan
sanksi pada pelanggarnya. Memalukan bila musabaqah tilawatil
Qur'an nanti berlangsung di sini, daerah ini belum bebas minuman
keras," kata Gubernur pekan lalu ketika mengumumkan SK Menteri
Agama yang menunjuk Banda Aceh sebagai tuan rumah MTQ ke XII
tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo