Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Berita Tempo Plus

Setahun, 304 Orang Tewas di Tangan Polisi

Kontras: mayoritas korban adalah warga sipil, pelaku kejahatan, aktivis, hingga jurnalis.

29 Juni 2020 | 00.00 WIB

Aktivis KontraS Sumatera Utara menggelar aksi teaktrikal di Medan, Sumatera Utara, 26 Juni 2020.  ANTARA/Septianda Perdana
Perbesar
Aktivis KontraS Sumatera Utara menggelar aksi teaktrikal di Medan, Sumatera Utara, 26 Juni 2020. ANTARA/Septianda Perdana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan institusi kepolisian secara masif terlibat dalam praktik penyiksaan dan pembunuhan.

  • Dalam setahun terakhir, Kepolisian diduga terlibat dalam 921 insiden kekerasan dan menyebabkan 5.097 korban yang di antaranya terluka, tewas, dan ditangkap.

  • Mayoritas korban adalah warga sipil, pelaku kejahatan, aktivis, hingga jurnalis.  

JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan institusi kepolisian secara masif terlibat dalam praktik penyiksaan dan pembunuhan. Dalam setahun terakhir, kepolisian diduga terlibat dalam 921 insiden kekerasan dan menyebabkan 5.097 korban yang di antaranya terluka, tewas, dan ditangkap.

Peneliti dari Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan ribuan orang yang menjadi korban penyiksaan tersebut mayoritas adalah peserta demonstrasi besar-besaran Reformasi Dikorupsi, demonstrasi anti-rasialisme Papua, dan beberapa peristiwa lain. “Sebagian besar penyebab korban meninggal lantaran terjadi penembakan dan penganiayaan,” kata Rivanlee kepada Tempo, kemarin.

Kontras merinci, dalam periode Juli 2019-Juni 2020, terdapat 5.097 korban kekerasan yang berjatuhan. Dari data itu, jumlah korban luka-luka mencapai 1.627 orang, korban tewas 304 jiwa, korban ditangkap 3.028 orang, dan lainnya 138 orang. Korbannya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari warga sipil 280 kasus, kriminal 503 kasus, aktivis 24 kasus, buruh 9 kasus, jurnalis 17 kasus, dan mahasiswa 88 kasus.

Rata-rata korban mengalami kekerasan dalam penembakan, penganiayaan, penyiksaan, tindakan tidak manusiawi, salah tangkap, pembubaran paksa, intimidasi, kriminalisasi, hingga kejahatan seksual. Namun mayoritas kekerasan yang dilakukan kepolisian adalah penembakan, yaitu sebanyak 534 peristiwa. Hal ini di antaranya telah melukai 683 jiwa dan menewaskan 287 jiwa. Polisi juga terlibat tindakan penganiayaan dalam 101 peristiwa dengan jumlah korban luka 878 orang dan korban tewas 37 orang.

Berbagai macam dugaan kejahatan penyiksaan itu masuk dalam 921 peristiwa sepanjang setahun terakhir. Menurut Rivanlee, satu peristiwa tindakan kekerasan dilakukan oleh lebih dari satu institusi dengan berbagai jenis kekerasan. “Hal ini juga berimplikasi pada beberapa kategori korban, mulai dari luka-luka hingga meninggal dunia,” kata dia.

Kontras juga mendapatkan data dari kepolisian melalui gugatan “keterbukaan informasi publik”. Pada periode Agustus 2019-Februari 2020, kepolisian menemukan 45 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya. Namun tak satu pun dugaan pelanggaran itu ditindaklanjuti ke proses pidana. Biasanya kasus kekerasan hanya diselesaikan secara etik.

Rivanlee khawatir kasus kekerasan macam ini akan makin masif di kemudian hari jika kepolisian tidak segera melakukan evaluasi dan reformasi. Apalagi kepolisian juga sama sekali tidak menindaklanjuti beberapa rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ihwal dugaan kekerasan yang dilakukan institusinya. “Kemungkinan besar akan terus seperti ini,” kata dia.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, menyatakan institusi kepolisian paling banyak diadukan terkait dengan dugaan pelanggaran HAM dalam setahun terakhir. Dari 744 aduan yang diterima Komnas HAM, 525 di antaranya adalah aduan kekerasan yang melibatkan kepolisian. “Soal penegakan hukum, saya kira belum menghadirkan keadilan,” ucap dia.

Komnas HAM sebelumnya juga telah merilis beberapa laporan mengenai kekerasan yang dilakukan kepolisian dalam Aksi 22 Mei 2019 dan demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019. Mereka juga memberi beberapa rekomendasi teknis untuk menyelesaikan setiap kasus yang melibatkan kepolisian. Namun tidak satu pun rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti oleh kepolisian.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian, Brigadir Jenderal Awi Setiyono, menyatakan lembaganya menghargai temuan Kontras ihwal keterlibatan polisi dalam kasus kekerasan dan penembakan. “Terkait hasil kajian tersebut Polri sangat menghormati dan menghargai semua kritik yang ditujukan ke Polri. Tentunya hal tersebut sebagai bahan introspeksi diri,” ujar dia.

Awi mengklaim polisi selalu dibekali dengan instrumen seperti prosedur standar operasional (SOP) dalam bertindak di lapangan. Mereka juga diatur oleh peraturan Kepala Kepolisian RI dalam segala tingkah lakunya. Meski begitu, Awi mengakui ada anggota yang bertindak di luar aturan yang telah ditentukan. “Tentunya kalau ada yang melanggar SOP dan perkap (peraturan Kapolri), maka ada mekanisme kontrolnya,” ucap dia.

ANDITA RAHMA | AVIT HIDAYAT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus