Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Setara Institute Halili Hasan mengkritik isi surat edaran Gubernur Kalimantan Barat yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam penanganan kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Sintang.
Dalam surat edaran nomor 450/3278/BKBP-D1, meminta MUI dan penyuluh agama untuk mengelola rumah ibadah, serta pemerintah daerah bersama MUI dan tim Pakem menangani pelanggaran keputusan bersama.
“Edaran tersebut problematik, sebab salah dalam memposisikan MUI dalam peristiwa kekerasan atas JAI Sintang,” kata Halili dalam keterangannya, Ahad, 19 September 2021.
Halili menjelaskan, berdasarkan anggaran dasar MUI, lembaga tersebut bukan institusi negara dan kedudukannya setara dengan organisasi masyarakat lainnya, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karena itu, MUI tidak dapat menangani pelanggaran keputusan bersama dan tidak dapat pula mewakili suara umat Islam yang beragam terkait pengelolaan masjid JAI.
Halili juga mengkritik penugasan tim pengawas aliran kepercayaan masyarakat (Pakem) untuk mengawasi JAI yang ditujukan untuk menjaga kerukunan. Menurut dia, hal tersebut hanya akan mewujudkan kerukunan semu yang dipaksakan dan berpotensi menjadi konflik apabila disulut dengan pemantik tertentu, seperti politik identitas dalam dinamika politik lokal.
“Maka, kerukunan semu ini tidak akan bisa menjamin persatuan nasional sebagaimana diharapkan oleh Gubernur Kalimantan Barat dalam surat edaran tersebut,” ujarnya.
Kerukunan yang berkelanjutan, kata Halili, harus lahir dari kesadaran masyarakat. Sehingga, untuk mewujudkan kerukunan yang berkelanjutan, pemerintah perlu melibatkan JAI dan elemen-elemen masyarakat dalam dialog, bukan dengan koersi maupun keputusan sepihak.
Mengenai kelembagaan Pakem, Setara Institute mendesak Jaksa Agung untuk mencabut Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
Artinya, Halili menuturkan Kejaksaan Agung mesti membubarkan Pakem dari pusat hingga daerah. Sebab, Pakem tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan HAM, karena memberikan kewenangan kepada negara untuk merestriksi hak warga untuk memeluk agama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani.
“Selain itu, kelembagaan Pakem bertentangan dengan semangat kebhinekaan yang mestinya memberikan ruang kepada seluruh latar belakang anak bangsa, termasuk agama dan kepercayaan, untuk memperkaya keragaman Indonesia,” ucapnya soal kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Baca juga: Agar Tak Ada Penyerangan Terhadap Ahmadiyah, Kemenag Sosialisasikan SKB 3 Menteri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini