Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jimly Asshidqie dituding rankap jabatan di DPD dan MKMK.
Tugas Jimly di MKMK hanya untuk menyidangkan dugaan pelanggaran etik oleh hakim konstitusi.
DPD menyerahkan laporan tentang Jimly ke Badan kehormatan
JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak mempersoalkan penunjukan Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Apalagi Jimly pernah menjabat Ketua MK. "Mahkamah Konstitusi pasti sudah mempunyai pertimbangan hukum sehingga Prof Jimly ditunjuk," ujar anggota Komite I DPD Filep Wamafma, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jimly tercatat masih berstatus anggota DPD perwakilan DKI Jakarta. Pada 23 Oktober lalu, ia diminta oleh MK menduduki posisi Ketua MKMK. Adapun tugas MKMK adalah memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh hakim MK dalam memutuskan uji materi perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mempermasalahkan batas syarat usia calon presiden dan wakilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh seorang mahasiswa asal Surakarta, Jawa Tengah, bernama Almas Tsaqibbirru Re. Pokok perkara yang diajukan adalah pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 169 huruf q. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dalam sidang pembacaan putusan pada 16 Oktober lalu, MK mengabulkan permohonan itu. Maka, pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu terdapat ketentuan yang isinya syarat bakal calon presiden/wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Dengan aturan ini, Gibran, yang baru berusia 36 tahun, bisa mendaftar sebagai cawapres karena sedang menjadi Wali Kota Surakarta setelah terpilih dalam pilkada 2021.
Putusan MK itulah yang kemudian mendapat sorotan. Perhatian publik mengarah pada Anwar Usman. Ketua MK ini diduga memiliki kepentingan agar keponakannya, Gibran, dapat mencalonkan diri sebagai cawapres. Maka, muncullah desakan agar dugaan adanya pelanggaran etik hakim konstitusi dalam memutuskan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diusut.
Mahkamah kemudian membentuk MKMK. Majelis ini terdiri atas tiga anggota terpilih, yaitu Jimly Asshiddiqie, mewakili kelompok tokoh masyarakat; Bintan Saragih, perwakilan kelompok akademikus; dan Wahiduddin Adams, mewakili hakim konstitusi aktif. Namun keberadaan Jimly dalam MKMK justru dipermasalahkan. "Ada laporan dari masyarakat karena Prof Jimly dianggap merangkap jabatan. Saat ini beliau masih sebagai anggota DPD, tapi menerima tugas sebagai Ketua MKMK,” kata Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin.
Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Dalam surat aduan tersebut, Jimly dinilai melanggar Pasal 302 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Dalam pasal tersebut dinyatakan anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Namun, untuk memutuskan masalah ini, kewenangannya ada di Badan Kehormatan DPD. “Sampai saat ini tidak ada keputusan DPD yang mengatakan ada perbuatan pelanggaran etik,” kata Filep.
Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti menegaskan laporan masyarakat akan diteruskan kepada Badan Kehormatan DPD. "Senin kemarin, laporan masyarakat (dugaan pelanggaran etik Jimly) sudah dibahas di rapat pimpinan," ujarnya. "Kita tunggu telaah dari BK DPD, apakah memang terjadi pelanggaran atas undang-undang atau tidak."
Jimly sendiri telah memulai sidang dugaan pelanggaran etik sembilan hakim MK, kemarin. Ia memiliki waktu satu bulan untuk memeriksa adanya pelanggaran etik atas putusan MK yang membuat Gibran lolos dalam pencalonan wakil presiden. Namun, karena salah satu laporan menyoalkan keabsahan putusan MK, keputusan MKMK akan dipercepat dan diupayakan keluar sebelum 8 November. Sebab, itu merupakan batas akhir pengusulan perubahan bakal calon presiden atau wakil presiden.
Pakar hukum tata negara Agus Riewanto mengatakan mantan Ketua MK itu tidak menabrak pasal apa pun. Ia menyebutkan jabatan Ketua MKMK adalah jabatan lembaga ad hoc, yang pembentukannya bersifat insidental. "Jimly dipilih karena ketokohannya sebagai pakar hukum tata negara," ujarnya. Karena jabatan itu adalah untuk posisi lembaga ad hoc, Jimly tidak masuk dalam susunan pejabat negara. Karena itu, Agus mengatakan Jimly tidak bisa disebut melanggar Pasal 302.
Saat ditemui di gedung MK selepas memeriksa hakim MK, Jimly mengatakan ia tidak memiliki kepentingan apa pun dan tak melanggar kode etik apa pun. "Kalau ini enggak (rangkap jabatan). Ini kan cuma seminggu. Ad hoc saja," katanya.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo