Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bawaslu mendesak KPU mematuhi putusan MA dan merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan.
MA dalam amar putusannya mengabulkan gugatan pemohon untuk mengembalikan penghitungan afirmasi keterwakilan perempuan dengan mengacu pada Pasal 245 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
KPU mengatakan masih mempelajari putusan MA.
JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merevisi Peraturan KPU tentang pencalonan anggota legislatif. Bawaslu menyatakan revisi terhadap Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 itu mesti dilakukan setelah Mahkamah Agung mengabulkan uji materi pasal soal penghitungan kuota perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Bawaslu, Puadi, mengatakan putusan MA wajib dilaksanakan KPU untuk memberikan kepastian atas revisi Peraturan KPU tentang Pencalonan. “Dari awal Bawaslu telah merekomendasikan agar KPU mengubah pasal tersebut,” ujar Puadi saat dihubungi pada Kamis, 31 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima pemohon yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan uji materi Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lima pemohon yang mengajukan uji materi terdiri atas dua lembaga dan tiga perorangan. Mereka adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi; Koalisi Perempuan Indonesia; Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay; anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini; dan eks Komisioner Bawaslu, Wahidah Suaib.
Ketua majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman (kanan), berbincang dengan hakim konstitusi Saldi Isra (kiri) saat sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di gedung MK, Jakarta, 29 Agustus 2023. ANTARA/Reno Esnir
Dalam permohonannya, mereka meminta Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Menurut mereka, dalam pasal tersebut tertuang klausul yang berpotensi menggerus afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Musababnya, menurut para pemohon, dalam pasal itu terdapat regulasi pembulatan ke bawah untuk pecahan desimal di belakang koma kurang dari 50. Padahal aturan dalam dua pemilu sebelumnya untuk penghitungan afirmasi keterwakilan perempuan menggunakan metode pembulatan ke atas berapa pun pecahan desimal di belakang koma.
MA, dalam amar putusannya, mengabulkan gugatan pemohon untuk mengembalikan penghitungan afirmasi keterwakilan perempuan dengan mengacu pada Pasal 245 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Pengaturan daftar bakal calon anggota legislatif di setiap daerah pemilihan juga menyebutkan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, yang merujuk pada Pasal 243, 244, dan 245 UU Pemilu. “Mengabulkan permohonan keberatan dari para pemohon keberatan,” demikian amar putusan nomor 24P/HUM/2024 dikutip dari keterangan resmi MA pada Selasa lalu, 29 Agustus.
Baca: Mengembalikan Hak Politik Perempuan
Puadi mengatakan MA dalam putusannya sudah menyatakan Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan yang menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas. "Putusan MA harus dihormati dan dilaksanakan mengingat sudah berlaku setelah dibacakan.”
Menurut dia, putusan MA itu mendukung gerakan mendorong keterwakilan perempuan dalam legislatif. Putusan tersebut, kata dia, bakal tidak berdampak terhadap penyelenggara dan mengganggu proses pendaftaran calon anggota legislatif yang sedang berjalan. Putusan itu hanya akan berdampak kepada partai politik yang keterwakilan perempuannya dalam daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif masih di bawah 30 persen.
Dengan begitu, kata Puadi, KPU mesti mempertimbangkan kesiapan partai politik. “Mesti dilakukan sosialisasi kepada partai politik dan menyiapkan mekanisme yang memudahkan bagi partai untuk melakukan perbaikan DCS,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito, mengatakan lembaganya menghormati putusan MA. Menurut dia, lembaga yudikatif memiliki peran untuk menerapkan checks and balances dalam penyelenggaraan negara, khususnya penyelenggaraan pemilu. “Tentu saja putusan MA wajib dipatuhi,” ujarnya.
Heddy mengatakan DKPP tidak dapat banyak berkomentar atas putusan tersebut. Sebab, DKPP saat ini tengah menangani perkara dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU dalam menerbitkan norma yang menjadi obyek uji materi di MA.
Meski begitu, DKPP sebelumnya telah meminta KPU merevisi pasal soal afirmasi yang berpotensi merugikan hak politik perempuan tersebut. Bahkan DKPP langsung berkirim surat kepada KPU dengan tembusan kepada Komisi II DPR Bidang Pemerintahan agar Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU tentang Pencalonan direvisi. “Isi surat kami mendukung KPU merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan.”
Adapun Komisioner KPU Idham Holik mengatakan lembaganya masih mempelajari putusan MA. KPU, kata Idham, belum bisa memastikan ada-tidaknya upaya untuk merevisi dan meminta penyesuaian DCS partai yang dianggap tidak memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen. “Kami masih mempelajari putusan uji materi MA tersebut,” ucapnya.
Wewenang Bawaslu dan DKPP
Komisioner KPU periode 2012-2017, Ida Budhiarti, mengatakan Bawaslu wajib mengawasi pelaksanaan putusan MA untuk memberi kepastian hukum. Hal itu sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 93 huruf g angka 2 Undang-Undang Pemilu.
Apabila KPU membangkang atas putusan MA, Bawaslu juga diberi wewenang oleh Undang-Undang Pemilu untuk meminta pertanggungjawaban etik kepada ketua dan anggota KPU karena dianggap melanggar sumpah janji jabatan, prinsip kepastian hukum, serta kewajiban etik untuk menghargai lembaga dan aparatur negara. Kewenangan Bawaslu itu tertuang dalam Pasal 19 huruf c Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Ida menjelaskan, apabila KPU dan Bawaslu tidak menjalankan tugas dan wewenangnya, DKPP harus mengoreksi perilaku penyelenggara pemilu. Jika DKPP juga abai terhadap tugas dan kewajiban menjaga kemandirian dan integritas penyelenggara pemilu, presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab untuk memastikan sirkulasi kepemimpinan dilaksanakan secara jujur dan adil oleh wasit pemilu yang netral.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo