Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai masih banyak masyarakat yang belum memahami isi dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ. Ketidakpahaman itulah yang belakangan menimbulkan kontroversi. Karena itu, Dewan meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mensosialisasi surat edaran tersebut secara luas. Pengawasan juga dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Surat edaran Mendagri tersebut hanya memberikan kewenangan kepada penjabat, pelaksana tugas, dan penjabat sementara kepala daerah secara terbatas,” kata anggota Komisi Hukum DPR, Guspardi Gaus, kemarin. “Sepanjang untuk pembinaan aparatur sipil negara (ASN), efisiensi, dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak ada masalah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun ini, sebanyak 101 kepala daerah—terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota—mengakhiri masa jabatannya. Sementara itu, pada tahun depan, jumlahnya bertambah menjadi 278 kepala daerah. Untuk mengisi kekosongan hingga pemilihan kepala daerah serentak pada 2024, undang-undang memerintahkan pemerintah mengangkat penjabat kepala daerah. Penjabat gubernur ditentukan oleh presiden, sedangkan penjabat bupati dan wali kota ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri.
Undang-undang membatasi kewenangan penjabat kepala daerah. Untuk kebijakan yang bersifat strategis, penjabat kepala daerah memerlukan persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Belakangan, Ditjen Otda justru kewalahan karena kebanjiran permohonan dari pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan mutasi dan pemberhentian pegawai.
Atas dasar itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 14 September 2022 menerbitkan Surat Edaran Nomor 821/5492/SJ. Surat edaran itu memuat aturan tentang persetujuan Menteri Dalam Negeri kepada pelaksana tugas (plt), penjabat (pj), dan penjabat sementara (pjs) kepala daerah dalam aspek kepegawaian perangkat daerah. Kontroversi muncul karena banyak kalangan yang khawatir aturan ini justru menimbulkan kerancuan yang mengganggu jalannya pemerintahan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan) bersama wakilnya, John Wempi (kedua dari kanan), mengikuti rapat kerja bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 21 September 2022. ANTARA/Aprillio Akbar
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa, menilai surat edaran Menteri Dalam Negeri bertentangan dengan beberapa undang-undang serta rawan penyalahgunaan kekuasaan. Ia mencontohkan poin 4 huruf A, yang memberikan kewenangan kepada pj kepala daerah untuk memberhentikan, memutasikan, atau memberikan sanksi kepada ASN. “Ini bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” katanya. "Jadi, tidak serta-merta hal itu bisa dilakukan oleh pj, pjs, atau plt.”
Menurut Saan, Menteri Dalam Negeri seharusnya lebih dulu membuat aturan norma standar penyelenggara urusan pemerintahan sebelum memberikan mandat kepada pj kepala daerah. Norma standar itu bisa dikhususkan dalam kewenangan pemberhentian, pemberian sanksi, atau tindakan hukum lain kepada ASN yang terbukti melanggar disiplin. Karena itu, Saan meminta Surat Edaran Nomor 821/5492/SJ itu dievaluasi.
Dalam rapat bersama Komisi Hukum DPR pada Rabu malam lalu, Tito Karnavian menjelaskan, sejak ada enam pj gubernur dan 76 pj bupati/wali kota, surat yang masuk ke Ditjen Otda banyak sekali. Surat-surat itu umumnya berhubungan dengan pemberhentian atau mutasi pegawai. Karena ini termasuk keputusan strategis, penjabat-penjabat kepala daerah itu harus meminta persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri. “Ini prosesnya panjang. Apalagi nanti, akan ada 278 pj kepala daerah,” kata Tito. "Jadi, di sini perlu terobosan agar lebih simpel.”
Dengan Surat Edaran Nomor 821/5492/SJ, kata Tito, penjabat kepala daerah tidak perlu lagi meminta persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Mereka bisa langsung menandatangani surat keputusan mutasi, lalu menyerahkan surat itu ke Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya Kemendagri menyerahkan surat itu kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN). "Jadi, jika hanya untuk menandatangani persetujuan mutasi daerah, tidak perlu harus ke saya karena akan menumpuk dan akan memperpanjang birokrasi," ujar Tito.
Untuk pengawasan, kata Tito, penjabat kepala daerah diwajibkan melapor kepada Kementerian Dalam Negeri setelah menandatangani surat mutasi. Kementerian juga akan mengevaluasi aturan dalam surat edaran ini secara berkala. Jika ditemukan penjabat kepala daerah yang bertindak sewenang-wenang, Kementerian tidak segan memberikan sanksi. "Sanksinya ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata dia.
Guspardi Gaus berpendapat, surat edaran Menteri Dalam Negeri ini masih sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Penjabat kepala daerah diberi kewenangan untuk memberikan sanksi kepada pegawai negeri yang tersangkut kasus korupsi dan pelanggaran disiplin berat. "SE itu memberikan kewenangan terbatas, yakni persoalan korupsi, pelanggaran aturan, sanksi yang dilakukan itu hukuman yang berat," katanya.
Guspardi memahami terobosan aturan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Di sisi lain, masa jabatan penjabat kepala daerah yang panjang—sebelumnya hanya dua sampai enam bulan—wajar juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadi penyimpangan. Karena itu, dia mengingatkan agar pengawasan diperketat. "Prinsip bagi saya adalah SE tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, itu prinsip," ujarnya.
HENDARTYO HANGGI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo