Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERCAT hitam yang sudah memudar, kapal MV Sun Kung 5, pelan-pelan digiring merapat di pelabuhan III Tanjungpriok, Jakarta, Kamis dini hari pekan lalu. Kapal berbobot mati 10.231 ton, dengan panjang 128 meter, itu adalah kapal "peletup" bencana biskuit beracun tempo hari. "Kami memang bekerja sama dengan Interpol Hong Kong untuk mengupayakan datangnya kapal itu," kata Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. Koesparmono Irsan. Setelah kapal itu bersandar, 19 orang awak kapalnya langsung diperiksa. Tapi tak ada satu pun yang ditahan. Ketika kapten kapal, Hartono Tamin, diperiksa, dia malah menunjuk mualim yang bersalah, karena mualim inilah yang mengurusi penempatan barang dalam kapal. Tapi ketika mualim itu diperiksa, kata Koesparmono, "Malah dia cengar-cengir." Munculnya musibah biskuit beracun itu memang bermula dari merapatnya kapal MV Sun Kung 5, pada 8 April 1989 lalu, di pelabuhan Tanjungpriok. Kapal perusahaan pelayaran Hong kong, Po Hui Shipping Co. Ltd., itu antara lain memuat 2.000 sak (a 25 kg) amonium bikarbonat eks RRC, kiriman perusahaan Twin L. Ltd., PT Firman Jaya Abadi. Di kapal yang sama, dalam satu palka, ada pula 2.000 sak sodium nitrit, pesanan PT Panca Kusuma Aneka Kimia, Jakarta. Tindakan Po Hui Shipping Co. meletakkan amonium bikarbonat berdekatan dengan sodium nitrit itu ceroboh. Sebab, sodium nitrit, yang biasa digunakan untuk pengawet daging dan batik itu, tergolong bahan berbahaya. Yang menambah runyam, label karung pembungkus kedua jenis bahan kimia itu banyak yang terhapus. Lalu para petugas PT Adhiguna Putera Tanjungpriok, yang membongkar bahan kimia itu, rupanya main hantam kromo pula. Akibatnya, amonium bikarbonat itu tertukar dengan sodium nitrit. Setelah diturunkan dari kapal, amonium bikarbonat itu disimpan di gudang pelabuhan nomor 210. Lalu mulai 18 Mei 1989 disalurkan kepada para pemesan. Sedangkan sodium nitrit, sebelum disalurkan ke pemesan, disimpan di gudang tempat menyimpan bahan kimia berbahaya. Agen kapal itu, menurut Koesparmono, malah tak ada masalah. Tapi, yang jadi masalah importirnya. "Seharusnya, kalau mengimpor barang berbahaya, berapa pun jumlahnya, harus menyewa satu palka, dan terpisah dengan barang lain. Nah, sekarang ini masih kami teliti, apa motivasi mereka, apa hanya untuk tujuan menghemat saja".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo