Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siap Pindah, Demi Badak

Masalah perpindahan penduduk yang kena gusur perluasan areal cagar alam (desa legon pakis) menjadi terkatung-katung karena lokasi pemukiman mereka yang baru belum siap, biaya disediakan pemda terlalu kecil.(dh)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMAN Nasional Ujung Kulon ternyata harus diperluas. Selain karena memang arealnya (yang sekarang 56.000 hektar lebih) masih terasa sempit, juga binatang penghuninya makin berkembang biak. Tapi persoalan kemudian timbul, sebab perluasan berarti harus memindahkan manusia penghuni satu desa. Rencana perluasan areal cagar alam itu sebenarnya sudah ada sejak 1976. Waktu itu Menteri Pertanian melalui salah satu SK-nya menentukan: menambah areal taman nasional itu dengan memasukkan kawasan Gunung Honje seluas 10.000 ha ke dalam wilayah PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) - instansi yang mengawasi Taman Nasional Ujung Kulon. Perluasan itu menjadi kebutuhan yang makin mendesak setelah diketahui jumlah binatang penghuni cagar alam itu berkembang biak setiap tahun. Terutama badak Jawa yang bercula satu itu (rhinoceros sondaicus). Dalam sensus 11 tahun lampau diketahui jumlah badak di sini tercatat 31 ekor, tapi tahun 1980 ini petugas PPA di sana mencatat telah menjadi 58 ekor. Karena itu sejak 1978 penduduk Desa Legon Pakis yang ada di kawasan Gumlng Honje diminta bersiap-siap pindah. Lokasi pemukiman mereka yang baru, ditentukan di kawasan Desa Karang Bolong dan Camara, sekitar 40 km dari Legon Pakis. Di tempat baru itu kelak dijanjikan penduduk yang berasal dari Legon Pakis akan mendapat tanah 2 ha tiap KK ditambah uang Rp 12.500 tiap bulan selama satu tahun, berikut alat-alat pertanian. Desa baru itu kelak akan dilengkapi dengan masjid, sekolah, pasar dan balai pengobatan. Dalam waktu tahun mereka masih boleh memungut hasil kebun di Legon Pakis. Tetapi sampai sekarang 126 KK (552 Jiwa) penduduk Legon Pakis masih tetap di desa mereka semula. Mereka adalah petani-petani peladang di sekitar Gunung Honje yang sebagian besar ditumbuhi alang-alang. Hidup sehari-hari mereka tidak tergolong mencukupi, meskipun tiap-tiap KK rata-rata memiliki pohon kelapa sebagai sumber penghasilan tambahan. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung yang berdinding bambu. Jangankan aliran listrik, bahkan gedung sekolah tak terdapat di Legon Pakis. Sehingga anak-anak harus bersekolah di desa lain. sebuah masjid di desa itu tampak tak terurus. Penduduk desa ini berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat: Cianjur, Sumedang, Indramayu dan Kuningan. "Kami bukannya tak mau pindah ke tempat pemukiman baru," kata Suhaya, salah seorang panglaku (semacam ketua rukun kampung) di desa itu, "tapi silahkan lihat sendiri di sana, masih penuh dengan alang-alang. " Suhaya bersama 10 orang pemuka desa telah 2 kali meninjau calon lokasi pemukiman di Karang Bolong dan Camara. Ternyata di tempat itu belum terlihat tanda-tanda akan dihuni manusia. Karena itu Suhaya merasa dibuat bingung. "Kami menanam tanaman baru tidak boleh, tapi dipindahkan juga tidak," gerutunya. Hanya Beberapa Untuk membuka pemukiman baru itu Pemda Kabupaten Pandeglang meyediakan biaya Rp 150 juta. Telah berkali-kali beberapa pemborong di daerah ini diundang untuk menangani proyek itu. "Tapi yang mengajukan penawaran hanya beberapa saja dengan biaya yang lebih tinggi dari angaran yang disediakan, kata sumber TEMPO. Singkatnya tambah sumber itu, biaya yang Rp 150 juta itu masih jauh dari mencukupi sehingga tak ada pemborong yang sanggup mengerjakannya. Dengan begitu nasib penduduk Leon Pakis masih belum menentu. Yang pasti mereka selalu didesak agar pindah dan dilarang menanam tanaman baru di tanah mereka. Dan sementara itu hewan-hewan di Taman Nasional Ujung Kulon terus bertambah. Cagar alam di ujung paling barat Pulau Jawa itu kini antara lain dihuni 243 jenis burung, badak bercula satu, banteng, lutung, buaya, babi hutan, musang, harimau panther -- dan dijaga oleh 60 orang petugas PPA Untuk memasuki kawasannya harus dengan izin dari Direktorat PPA di Bogor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus