Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMAN Nasional Ujung Kulon ternyata harus diperluas. Selain
karena memang arealnya (yang sekarang 56.000 hektar lebih) masih
terasa sempit, juga binatang penghuninya makin berkembang biak.
Tapi persoalan kemudian timbul, sebab perluasan berarti harus
memindahkan manusia penghuni satu desa.
Rencana perluasan areal cagar alam itu sebenarnya sudah ada
sejak 1976. Waktu itu Menteri Pertanian melalui salah satu
SK-nya menentukan: menambah areal taman nasional itu dengan
memasukkan kawasan Gunung Honje seluas 10.000 ha ke dalam
wilayah PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) - instansi yang
mengawasi Taman Nasional Ujung Kulon.
Perluasan itu menjadi kebutuhan yang makin mendesak setelah
diketahui jumlah binatang penghuni cagar alam itu berkembang
biak setiap tahun. Terutama badak Jawa yang bercula satu itu
(rhinoceros sondaicus). Dalam sensus 11 tahun lampau diketahui
jumlah badak di sini tercatat 31 ekor, tapi tahun 1980 ini
petugas PPA di sana mencatat telah menjadi 58 ekor.
Karena itu sejak 1978 penduduk Desa Legon Pakis yang ada di
kawasan Gumlng Honje diminta bersiap-siap pindah. Lokasi
pemukiman mereka yang baru, ditentukan di kawasan Desa Karang
Bolong dan Camara, sekitar 40 km dari Legon Pakis. Di tempat
baru itu kelak dijanjikan penduduk yang berasal dari Legon
Pakis akan mendapat tanah 2 ha tiap KK ditambah uang Rp 12.500
tiap bulan selama satu tahun, berikut alat-alat pertanian. Desa
baru itu kelak akan dilengkapi dengan masjid, sekolah, pasar dan
balai pengobatan. Dalam waktu tahun mereka masih boleh memungut
hasil kebun di Legon Pakis.
Tetapi sampai sekarang 126 KK (552 Jiwa) penduduk Legon Pakis
masih tetap di desa mereka semula. Mereka adalah petani-petani
peladang di sekitar Gunung Honje yang sebagian besar ditumbuhi
alang-alang. Hidup sehari-hari mereka tidak tergolong
mencukupi, meskipun tiap-tiap KK rata-rata memiliki pohon kelapa
sebagai sumber penghasilan tambahan. Mereka tinggal di
rumah-rumah panggung yang berdinding bambu.
Jangankan aliran listrik, bahkan gedung sekolah tak terdapat di
Legon Pakis. Sehingga anak-anak harus bersekolah di desa lain.
sebuah masjid di desa itu tampak tak terurus. Penduduk desa ini
berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat: Cianjur, Sumedang,
Indramayu dan Kuningan.
"Kami bukannya tak mau pindah ke tempat pemukiman baru," kata
Suhaya, salah seorang panglaku (semacam ketua rukun kampung) di
desa itu, "tapi silahkan lihat sendiri di sana, masih penuh
dengan alang-alang. " Suhaya bersama 10 orang pemuka desa telah
2 kali meninjau calon lokasi pemukiman di Karang Bolong dan
Camara. Ternyata di tempat itu belum terlihat tanda-tanda akan
dihuni manusia. Karena itu Suhaya merasa dibuat bingung. "Kami
menanam tanaman baru tidak boleh, tapi dipindahkan juga tidak,"
gerutunya.
Hanya Beberapa
Untuk membuka pemukiman baru itu Pemda Kabupaten Pandeglang
meyediakan biaya Rp 150 juta. Telah berkali-kali beberapa
pemborong di daerah ini diundang untuk menangani proyek itu.
"Tapi yang mengajukan penawaran hanya beberapa saja dengan biaya
yang lebih tinggi dari angaran yang disediakan, kata sumber
TEMPO. Singkatnya tambah sumber itu, biaya yang Rp 150 juta itu
masih jauh dari mencukupi sehingga tak ada pemborong yang
sanggup mengerjakannya.
Dengan begitu nasib penduduk Leon Pakis masih belum menentu.
Yang pasti mereka selalu didesak agar pindah dan dilarang
menanam tanaman baru di tanah mereka. Dan sementara itu
hewan-hewan di Taman Nasional Ujung Kulon terus bertambah.
Cagar alam di ujung paling barat Pulau Jawa itu kini antara lain
dihuni 243 jenis burung, badak bercula satu, banteng, lutung,
buaya, babi hutan, musang, harimau panther -- dan dijaga oleh 60
orang petugas PPA Untuk memasuki kawasannya harus dengan izin
dari Direktorat PPA di Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo