"KAMI cinta perdamaian, tapi kami lebih cinta kebenaran," bunyi sebuah poster yang diacung-acungkan 100 siswa SMAN 84 Utan Jati, Jakarta Barat. Ini bukan aksi menyambut konperensi tingkat tinggi Reagan-Gorbachev beberapa hari lagi. Kamis pekan lalu itu mereka mengadu ke DPRD DKI Jakarta mengenai tindakan kepala sekolahnya, yang dianggap merugikan. Ada kesan, akhir-akhir ini muncul sikap kritis para siswa terhadap sekolah. September lalu, misalnya, siswa-siswa PGA di Kebumen dan dua SMA di Ambarawa dan Banyumas -- tiga kota itu di Jawa Tengah minta penurunan SPP mereka. Dan ternyata berhasil (TEMPO, 3 Oktober, 1987). Kini giliran siswa di Jakarta. Di DPRD DKI Jakarta tak semua yang datang bisa masuk. Hanya lima siswa yang diterima oleh Komisi A dan Komisi E, yang mewakili pimpinan dewan. Kelimanya mengutarakan keresahan di sekolahnya, dan pangkal sebabnya, kata mereka, adalah Marsudin Hasihuan, kepala sekolah. Bermula di tahun ajaran baru yang lalu, ketika pihak SMA yang baru berjalan dua tahun ini mengharuskan semua siswa membayar uang buku sebesar Rp 73.000 untuk 15 buku pelalaran. Menurut siswa, ternyata jumlah harga itu lebih mahal daripada di toko buku. "Misalnya buku Fisika, di toko buku hanya Rp 2.000 tapi di sekolah Rp 3.800," kata Yoppie, 17 tahun, siswa kelas II, salah satu yang ikut diterima DPRD. Lucunya lagi, para siswa dilarang saling meminjam buku pelajaran. Tak cuma itu sikap kepala sekolah pun dianggap kurang pada tempatnya. Bila ada siswa yang terpaksa belum membayar dengan alasan orangtuanya tak mampu, menurut Dadang, siswa kelas I, Pak Kepala akan langsung membentak, "Mau-maunya kamu, ke sekolah tidak diberi peralatan, sama saja ke sawah tidak membawa pacuk" Tak cuma Pak Kepala. Raien Herdiani, seorang siswa, mengaku pernah menangis semalaman gara-gara dibentak oleh guru Kimia. Priensen, guru itu, menegur dengan kata-kata yang agak keterlaluan, karena Raien belum membayar uang buku. "Bila tak mampu beli buku, jual saja tampang semalaman," cerita siswa itu. Ditemui di rumahnya, akhir pekan lalu, Hasibuan tak menyangkal hal-hal yang dikritikkan oleh siswanya. "Memang, saya begitu," katanya. "Ibarat orang pergi ke sawah tak membawa cangkul, apa di sawah hanya mau menggigit tanah?" Dan tentang soal pinjam buku, tambahnya, "Kalau buku sudah dikembalikan, dia belajar pakai apa?" Guru Kimia Priensen juga tak membantah. Cuma, katanya, kata-katanya yang, agak kasar, "itu cuma intermeso," -- selingan. Tapi pak guru ini menambah kejengkelan siswa. Ketika ulangan Kimia, guru tidak tetap itu menjual kertas ulangan seharga Rp 25. Beberapa hari kemudian semua siswa diminta mengulang karena nilai mereka jeblok semua, sementara hasil ulangan itu sendiri tak dibagikan. "Jadi, apa memang betul kami goblok semua hingga semua harus her? Atau Pak Guru mau jualan kertas?" ini gerutu Yoppie. Tentang ini, Priensen tak menanggapi. Para siswa semakin kritis. Mereka mempersoalkan ekstrakurikulum yang tak jalan, bola voli yang disimpan di lemari terkunci, tentang koperasi yang mencekik. Dan ketika Arnol Pangaribuan, guru Ekonomi, mengajarkan ihwal koperasi di salah satu kelas satu, pertengahan Oktober, mulailah kesabaran siswa habis. Guru ini menjelaskan, antara lain, koperasi di SMAN 84 tidak pantas disebut koperasi, karena harga barang terlalu tinggi. Hari itu pula serombongan murid menghadap kepala sekolah, menanyakan ihwal koperasi. Hasibuan tak menanggapi. Mungkin karena itu para siswa kesal, lalu memecahkan kaca ruangan. Insiden pertama ini menyebabkan aparat keamanan masuk ke sekolah. Sekolah yang baru mempunyai kelas I dan II, masing-masing 6 lokal, itu pun diliburkan tiga hari. Sejumlah murid diperiksa. Persitiwa itu mendorong siswa mengirimkan delegasi, terdiri dari 11 orang, ke Kanwil P dan K DKI, Kamis 22 Oktober. Menurut sebuah sumber, mereka ditanggapi dengan baik, dijanjikan penyelesaian setelah masalah dibahas. Sepekan berlalu. Tak apa pun terjadi di SMA tersebut. Kamis 29 Oktober, tiga utusan dikirim ke Kanwil lai. Menurut sumber TEMPO, di Kanwil mereka dibentak. "Kalian kok tidak percaya pada kami. Sekarang pulang, tenangkan kawan-kawan," kata seorang pejabat di Kanwil P dan K, menurut sebuah sumber. Karena jawaban dari Kanwil tak jelas bagi para siswa, ini menimbulkan kecurigaan. Mereka menduga, yang diutus tak sampai di tujuan. Lagi, dikirim delegasi terdiri dari 50 siswa. Dan sekali lagi, cuma ketakjelasan dibawa pulang. Dipersiapkanlah delegasi lebih besar, 200 orang. Kali ini pihak Kanwil menjanjikan jawaban paling lambat lima hari lagi, yakni 18 November. Menurut seorang murid, seharian (18 November) itu mereka menunggu jawaban dari Kanwil P dan K. Tak kunjung datang. Lalu, terjadilah itu: esok harinya, Kamis pekan lalu, lebih dari seratus murid SMA ini menuju gedung DPRD DKI. "Seharusnya Kanwil cepat tanggap. Empat kali kami mengirimkan delegasi, tidak ada tanggapan. Akhirnya kami memutuskan ke DPRD," kata Eli Hasudungan Limbong, Ketua OSIS SMAN 84. Eli tak ikut ke DPRD karena hari itu ia dipanggil ke Kanwil P & K. Tak jelas apakah karena para siswa ke DPRD atau memang Kanwil baru sempat mengusut pengaduan siswa, Jumat pekan lalu Marsudin Hasibuan dipanggil ke Kanwil P dan K DKI Jakarta. Ia, kabarnya, diminta untuk tak lagi datang ke sekolah. Dan Sabtu pekan lalu, ke SMAN 84 datang Abdullah Ibrahim, Pengawas SMP-SMA Jakarta Barat, yang menyatakan dirinya sebagai pejabat sementara kepala sekolah, untuk sementara. Adapun Hasibuan, 57 tahun, kini ditarik kembali ke Kanwil P & K DKI Jakarta, terhitung sejak Senin pekan ini. Putu Setia, Sri Indrayati, Tri Budianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini