Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siapa Mengubur RUU Masyarakat Adat

DPR dan Presiden digugat karena menggantung RUU Masyarakat Adat. Kepentingan investasi diduga jadi motif mandeknya pembahasan.

27 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sudah tiga tahun draf RUU Masyarakat Adat rumusan Badan Legislasi tak beranjak di ruang pimpinan DPR. Agenda pembahasan terancam tahun politik.

  • Komunitas adat menggugat DPR dan Presiden ke PTUN Jakarta dengan tuduhan melakukan perbuatan melawan hukum. Diduga lebih mementingkan investasi dan mengancam masyarakat adat.

  • Draf RUU Masyarakat Adat juga belum sempurna sehingga pembahasannya kelak perlu diawasi.

JAKARTA — Sebagai anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat, Taufik Basari tak mau disalahkan atas mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat di Senayan. Menurut dia, Baleg telah merampungkan penyelarasan naskah RUU Masyarakat Adat dan menyerahkannya kepada pimpinan DPR sejak 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Posisinya selama ini tertahan di sana. Bolanya ada di pimpinan DPR," kata Taufik kepada Tempo, Kamis, 26 Oktober 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Kelompok Fraksi Partai NasDem itu mengatakan fraksinya merupakan pengusul pembahasan kembali RUU Masyarakat Adat pada awal 2020. RUU ini telah lama terkatung-katung sejak diusulkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah kelompok masyarakat sipil pada 2009. RUU ini juga berulang kali keluar-masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tanpa kejelasan.

Begitu pula sekarang ini. Baleg telah merampungkan pembahasan drafnya sejak November 2020. Karena itu, menurut Taufik, pimpinan DPR seharusnya segera membawa draf RUU Masyarakat Adat hasil pembahasan Baleg ke sidang paripurna. Dengan begitu, DPR bisa menyetujuinya sebagai RUU inisiatif Dewan dan memulai pembahasan bersama pemerintah.

Dia sepakat payung hukum bagi masyarakat adat kini semakin mendesak. "Karena ini sudah menjadi amanat konstitusi untuk menjamin perlindungan bagi masyarakat adat," kata Taufik.

Ketua DPR Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR Lodewijk F. Paulus tidak merespons upaya Tempo untuk mendapatkan penjelasan mereka tentang nasib RUU Masyarakat Adat. Tempo juga menanyakan tentang langkah kelompok masyarakat sipil yang menggugat DPR dan Presiden RI ke pengadilan.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 25 Oktober 2023. Dok. PPMAN

Alasan Masyarakat Adat Menggugat DPR dan Presiden

Gugatan perbuatan melawan hukum itu dilayangkan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), AMAN, dan empat komunitas adat lainnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu, 25 Oktober lalu. AMAN menggugat setelah suratnya kepada DPR dan Presiden, masing-masing pada 31 Juli dan 1 Agustus lalu, tak ditanggapi. Dalam surat itu, mereka memohon agar DPR dan pemerintah segera membahas RUU Masyarakat Adat.

Menurut anggota kuasa hukum PPMAN Fatiatulo Lazira, DPR dan Presiden telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tak kunjung membahas RUU Masyarakat Adat. Padahal rancangan peraturan ini juga telah masuk ke daftar Prolegnas Prioritas 2023 dengan nama RUU Masyarakat Hukum Adat.

Fatiatulo mengingatkan bahwa pembentukan undang-undang masyarakat adat diamanatkan dalam konstitusi, yakni Pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945. Karena itu, DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara semestinya menjalankan amanah tersebut.

Di sisi lain, ketiadaan payung hukum telah membawa konsekuensi negatif bagi masyarakat adat. "Masyarakat adat terus terancam oleh kriminalisasi karena mengakses kawasan hutan," kata Fatiatulo. "Mereka juga terancam kehilangan wilayah adat. Bahkan lebih jauh, eksistensi dan identitas adat mereka pun bisa lenyap."

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 25 Oktober 2023. Dok. PPMAN

Dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang kini teregister dalam perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta tersebut, para penggugat menunjukkan bukti penguat atas dampak buruk dari tak kunjung dibahasnya RUU Masyarakat Adat. Tujuh orang, dari total 10 orang penggugat, kini berada di penjara. Mereka diduga mengalami kriminalisasi.

Selain karena ancaman terhadap masyarakat adat terus meningkat, gugatan itu dilayangkan mengingat tahun politik 2024. Mereka khawatir RUU yang sudah berada di daftar Prolegnas Prioritas itu benar-benar batal dibahas dan disahkan karena padatnya agenda menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

"Dalam konteks kontestasi pemilu, isu masyarakat adat kerap dijadikan bahan kampanye," kata Fatiatulo. "Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh."

Kepentingan Investasi Diduga Jadi Penghalang

Seorang anggota DPR yang mengikuti perumusan RUU Masyarakat Adat mengungkapkan, kepentingan investasi menjadi penyebab mandeknya rencana pembahasan di Senayan. Lahirnya undang-undang ini kelak dikhawatirkan mengganggu investasi karena banyak komunitas adat saat ini tengah berkonflik dengan investor yang menduduki wilayah adat mereka.

"Masyarakat adat berupaya untuk melindungi wilayah adat mereka. Nah, kalau disahkan, bisa mengganggu investasi," kata dia.

AMAN mencatat 301 kasus perampasan wilayah adat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. PPMAN juga mendata, sepanjang Januari hingga September 2023, telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang berkaitan dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.


Baca laporan khusus Tempo:
Pengakuan Masyarakat Adat Jalan di Tempat
Masyarakat Adat Belum Merdeka
Melawan Konsesi Sawit di Grime Nawa
Nasib Masyarakat Adat di Aceh Terkatung-katung


Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN periode 2012-2017, menceritakan bahwa lembaganya sejak 2009 telah berupaya meyakinkan banyak pihak bahwa RUU Masyarakat Adat justru memperbaiki mutu kehidupan. Namun upaya itu, kata dia, tak pernah membuahkan hasil. “Mereka masih berpikir RUU ini akan merugikan,” kata Abdon, kemarin.

Menurut dia, sebagian fraksi di parlemen menilai RUU Masyarakat Adat akan mengganggu pembangunan dan investasi. Sebagian lainnya juga masih menolak karena khawatir RUU ini membawa feodalisme. "Padahal masyarakat adat bukan anggota kerajaan," kata Abdon. “Masyarakat adat justru merupakan bagian wong cilik."

Empat perwakilan suku Awyu melakukan pelaporan kepada petugas pengaduan Komnas HAM di kantor Komnas HAM, Jakarta, 9 Mei 2023, ANTARA/Galih Pradipta

Sekjen AMAN periode 2022-2027, Rukka Sombolingi, mengatakan, tak kunjung disahkannya RUU Masyarakat Adat semakin menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat juga semakin tak terlindungi dari dampak program-program mitigasi iklim yang digulirkan pemerintah, termasuk transisi energi.

“Bendungan, PLTA, pembangkit geotermal, dan lain-lain saat ini dibangun dengan merampas wilayah adat," kata Rukka. "Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat justru diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon."


Baca juga:
Kampung Adat Terusik Proyek Geotermal
Perjuangan Suku Awyu Melawan Konsesi
Proyek IKN Mengancam Masyarakat Adat
Harapan Palsu bagi Masyarakat Adat


Ketua Pengurus Harian PPMAN, Syamsul Alam, mengatakan bahwa RUU ini mandek tak hanya disebabkan tarik-menarik di DPR, tapi juga di pemerintah yang ia anggap sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi. Gejalanya bisa dilihat dengan begitu cepatnya pemerintah dan DPR bersepakat mengesahkan UU Cipta Kerja pada 2020 yang pembahasannya hanya dalam hitungan bulan.

UU Cipta Kerja, kata dia, merupakan wujud pengingkaran untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. Pasalnya, undang-udang ini juga mengubah sejumlah undang-undang sektoral yang justru melemahkan upaya pengakuan terhadap masyarakat adat demi memuluskan penguasaan lahan oleh korporasi.

“Pemerintah melalui proyek strategis nasional telah menggusur tanah-tanah leluhur dan menghancurkan ritual kepercayaan masyarakat adat,” kata Syamsul.

Syamsul mencontohkan pengalaman yang dialami Mikael Ane, tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Pria 57 Tahun ini dituduh merampas hak milik orang lain karena membangun rumah di wilayah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari Taman Wisata Alam Ruteng, NTT. Dia divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Ruteng. Rumah milik Mikael Ane juga terancam dihancurkan.

Anak-anak dari tiga suku di Lembah Grime Nawa membentangkan pesan terkait menjaga alam dan hutan adat, saat aksi damai menolak keberadaan PT PNM di Lembah Grime Nawa, yang digelar di Kantor Dewan Adat Daerah Grime Nawa, Nimbokrang Sari, Nimbokrang, Jayapura, 9 Agustus 2022. TEMPO/Egi Adyatama

Taufik Basari membenarkan bahwa pembahasan RUU ini sejak awal mendapatkan penolakan dari mayoritas fraksi di DPR. Karena itu, kata dia, Fraksi Partai NasDem sebagai pengusul juga telah melakukan lobi-lobi lintas fraksi.

Dia menyatakan tak tahu persis mengapa pimpinan DPR tak kunjung membawa draf RUU Masyarakat Adat ke paripurna untuk mendapatkan persetujuan dimulainya pembahasan dengan pemerintah. “Apakah gerakan penolakan sebagian fraksi itu mempengaruhi keputusan pimpinan DPR? Itu yang kami tidak tahu,” kata Taufik.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Usep Setiawan, tak merespons permohonan wawancara Tempo tentang hal ini. Namun sebelumnya, dia mengatakan, pemerintah terus mengupayakan RUU ini segera disahkan.

Menurut Usep, tantangan terbesar dalam pengakuan eksistensi masyarakat adat adalah aspek regulasi. Sebab, ada sekitar 30 regulasi yang juga mengatur soal masyarakat adat, dari peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri dengan istilah berbeda-beda. “Karena itu, diperlukan suatu reformasi regulasi yang komprehensif, dan tentu harus ada rujukannya, yaitu undang-undang ini,” kata Usep kepada Tempo, Mei lalu.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara melakukan aksi damai di Jakarta, 2016. Dok. Tempo/Eko Siswono Toyudho

Substansi RUU Masyarakat Adat Perlu Diawasi

Pakar hukum adat dari UGM, Yance Arizona, menilai RUU Masyarakat Adat memang perlu didorong untuk segera disahkan. Namun, dia mengingatkan, publik tetap harus mengawasi proses pembahasannya kelak karena ada beberapa substansi yang perlu diperbaiki.

Yance telah mencermati draf RUU Masyarakat Adat hasil pembahasan di Baleg DPR pada 2020. Dia menilai draf RUU itu masih mengharuskan masyarakat adat mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Dengan begitu, masyarakat adat masih dipandang sebagai subyek yang dibentuk pemerintah.

Menurut Yance, RUU ini kudu didorong untuk menggunakan pendekatan pendataan ketimbang pengakuan. Dengan pendekatan ini, masyarakat adat tinggal didata untuk kemudian dipenuhi hak-haknya. "Seperti hak atas wilayah adat dan hak atas perlindungan," ujarnya.

Di sisi lain, draf RUU Masyarakat Adat juga tidak mengatasi masalah banyaknya undang-undang sektoral. Padahal masing-masing kementerian dan lembaga masih terikat pada undang-undang sektoral tersebut. "Selama belum ada penyesuaian di masing-masing undang-undang sektoral, RUU ini tidak memiliki kekuatan yang memadai," kata Yance.

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus