Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Bank Panin, Hotel Hilton tak ubahnya inspirator. Bukan dalam bisnis perhotelan, bank milik keluarga Mukmin Ali Gunawan itu menjadikan Hilton sebagai ”cerita sukses” cara menguasai lahan di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan.
”Sukses Hilton mendorong kami melakukan hal yang sama,” kata Muchtar Lutfi, kuasa hukum Terminal Builders, perusahaan pemegang hak guna bangunan di lahan kantor pusat Bank Panin, Jakarta, Kamis lalu. Muchtar, kuasa hukum yang memenangkan Hilton, memastikan Mukmin Ali adalah pemilik seratus persen saham Terminal Builders.
Pada Juli 2006, pemilik Hilton menuntut kepemilikan lahan 9.942 meter persegi, tempat hotel yang kini menjadi Hotel Sultan itu berdiri megah. Melalui PT Indobuilco, hotel yang dipimpin Ponco Sutowo itu menguasai hak guna bangunan di situ sejak 1974. Dua tahun lalu, setelah melewati proses pengadilan di tingkat bawahnya, Mahkamah Agung memenangkan perusahaan itu. Negara mengajukan peninjauan kembali. Perkaranya kini sedang ditangani Mahkamah Agung.
Dengan cara yang kurang lebih sama, Terminal Builders mengajukan gugatan serupa, pada Maret lalu. Perusahaan itu memegang hak guna bangunan se luas 1,7 hektare di Jalan Jenderal Sudirman sekitar 1 kilometer dari Hotel Sultan sejak 1972. Terminal Builders melayangkan gugatan perdata bersama PT Amana Jaya, unit bisnis Terminal, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Empat pihak dijadikan tergugat, yaitu Badan Pertanahan Nasional, Sekretariat Negara, Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan, dan kantor Badan Pertanahan DKI Jakarta.
Yayasan Gelora Bung Karno melepaskan hak atas tanah seluas 13.900 meter persegi itu pada 12 Juli 1971. Hak itu dialihkan kepada Terminal Builders, yang membayar uang pengganti US$ 20 per meter persegi. Setelah melunasi uang pengganti total US$ 278 ribu, pada Januari 1972, perusahaan ini mendapat sertifikat hak guna bangunan nomor 16 selama 30 tahun. Sertifikat hak ini kemudian dipecah dua, masing-masing seluas 8.042 meter persegi dan 5.697 meter persegi.
Setahun kemudian, Yayasan Gelora Bung Karno menyerahkan tanah kepada Terminal Builders seluas 22.625 meter persegi. Terminal Builders cu kup membayar uang pengganti US$ 905 ribu (US$ 40 per meter persegi). Perusahaan itu kemudian mengalihkan hak atas tanah itu kepada Amana Jaya, yang lalu memperoleh sertifikat hak guna bangunan nomor 37 selama 30 puluh tahun.
Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno, Bambang Prajitno, mengatakan tak tahu alasan yayasan dulu memberikan kon sesi terlalu murah dengan kompensasi yang minim pula. Pengalihan dilakukan untuk mendapatkan dana penunjang pelaksanaan kegiatan olahraga dan pemeliharaan fasilitas di kompleks itu.
Pada 15 Agustus 1989, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sony Harsono, menerbitkan keputusan yang mengatur pemberian hak pengelolaan atas tanah Gelora Senayan. Menurut keputusan itu, hak pengelolaan tanah di kompleks Gelora tidak bisa serta-merta menjadi hak milik. Inilah yang kemudian digugat oleh Terminal Builders, 21 tahun kemudian.
Muchtar menyatakan, hak kliennya atas tanah itu terampas dengan aturan BPN yang dikeluarkan Sony Harsono. Sebab, dengan aturan itu, seluruh sertifikat hak guna bangunan harus diperbarui. Di situ lalu diberi catatan: hak guna bangunan berada ”di atas hak pengelolaan” Gelora Bung Karno.
Padahal, dia melanjutkan, tanah itu yang dikuasai sebagian merupakan kompensasi tukar guling dengan pemerintah atas tanah milik Terminal Builders seluas 13.900 meter persegi di Jalan Medan Merdeka Utara. Sebagian lagi dibeli melalui tender terbuka. ”Karena itu, kami menuntut agar kalimat ’di atas hak pengelolaan’ itu dicoret,” kata Muchtar.
Muchtar mengingatkan, gugatan serupa pernah diajukan Indobuildco dalam kasus tanah Hilton, pada Juli 2006. Indobuildco memenangi gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Mahmud Rahimi, yang memimpin sidang saat itu, menyatakan sertifikat nomor 26 dan 27 milik Indobuildco sah. Justru Keputusan BPN Nomor 169 Tahun 1989, yang diterbitkan Sony Harsono, dianggap cacat hukum.
Kuasa hukum Pengelola Gelora Bung Karno, Hirfi Syafrullah, menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam perkara itu. Pertama, yang dipersoalkan adalah keputusan Badan Pertanahan Nasional, sehingga gugatan seharusnya diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. ”Bukan ke pengadilan negeri,” katanya.
Hirfi juga mempertanyakan gugatan yang diajukan 21 tahun setelah keputusan dikeluarkan. Apalagi, dalam rentang waktu tersebut, Terminal Builders dan Amana Jaya telah membuat perjanjian perpanjangan waktu hak guna bangunan, yakni pada 17 November 2000 dan 2 April 2004.
Dalam risalah perjanjian kerja sama itu juga diatur perihal penyelesaian sengketa secara damai melalui arbiter. ”Aneh kalau tiba-tiba sekarang mereka menggugat di pengadilan,” katanya.” Ini hanya akal-akalan untuk mendapatkan tanah.”
Muchtar membantah tudingan itu. Ia mengatakan, Terminal Builders tidak menggugat lewat Pengadilan Tata Usaha Negara karena memang tidak menuntut pembatalan keputusan Kepala BPN. ”Kami hanya menuntut kata-kata ’hak guna bangunan di atas hak pengelolaan lahan’ dicoret,” katanya.
Soal lamanya gugatan diajukan, menurut Muchtar, disebabkan ketidaktahuan Terminal Builders dan Amana Jaya. ”Mereka ini pebisnis biasa. Baru belakangan tahu ada hak mereka yang dirampas,” katanya.
Proses persidangan gugatan dua perusahaan ini masih terus bergulir. Menurut jadwal, Kamis pekan ini majelis hakim akan mengeluarkan putusan sela yang menentukan perkara ini dilanjutkan atau tidak.
Di tengah sengketa ini, Dewan Perwakilan Rakyat juga menyorot rendah nya kontribusi yang diterima Gelora Bung Karno dari dua perusahaan itu. Terminal Builders hanya membayar kontribusi awal senilai Rp 4,17 miliar dan Rp 63,2 juta setiap tahun. Sedangkan Amana Jaya memberikan kontribusi awal Rp 2,44 miliar dan Rp 36,8 juta setiap tahun. ”Sangat rendah jika dibandingkan dengan nilai asetnya,” kata Ketua Panitia Kerja Aset Negara DPR, Teguh Juwarno.
Politikus Partai Amanat Nasional itu berjanji mengawasi sengketa hukum kepemilikan lahan di kantor pusat Bank Panin ini. Dia khawatir majelis hakim salah membuat keputusan, lalu tanah milik Gelora Senayan akan melayang ke perusahaan-perusahaan pengelolanya. Apalagi gugatan ini persis sama dengan Indobuildco, yang menang dalam sengketa tanah Hotel Sultan. ”Kalau menang lagi, siap-siap saja ada pemegang konsesi lain akan menggugat,” katanya. ”Bisa-bisa seluruh lahan milik negara di Gelora Senayan lenyap.”
Setri Yasra, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo