Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengendus adanya kejanggalan dalam persidangan mantan pemimpin redaksi Banjarhits.id, Diananta Putra Sumedi. Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan, menilai pasal ujaran kebencian yang digunakan jaksa kepada Diananta tidak pantas didakwakan terhadap sengketa pemberitaan yang telah selesai di Dewan Pers. “Kami menyesalkan kasus sengketa pemberitaan semacam ini diproses secara pidana,” kata Manan kepada Tempo, kemarin.
Pengadilan Negeri Kotabaru mendakwa Diananta menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian berdasar atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) melalui tulisan yang diterbitkan di media Banjarhits.id dan Kumparan.com. Ia dituding melanggar Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Diananta terancam hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Manan menilai penggunaan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menunjukkan betapa mudahnya negara mempidanakan jurnalis karena karya jurnalistiknya. Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang ITE, kata Manan, sangat mudah dipakai untuk menuduh seseorang menyebarkan kebencian.”"Pertanyaannya, benarkah apa yang ditulis Diananta itu layak disebut menyebarkan kebencian? Kami menilai, dalam soal ini, Diananta menyampaikan fakta,” kata dia.
Selain soal penggunaan pasal, pengalihan sidang Diananta ke Pengadilan Negeri Kotabaru juga dianggap aneh. Komite Keselamatan Jurnalis menyesalkan pengalihan sidang ini karena kasus Diananta terjadi di Banjarmasin dan tempat tinggalnya berada di Kabupaten Banjar. Butuh waktu lebih dari delapan jam untuk menuju Pengadilan Negeri Kotabaru.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Sasmito Madrim, mengatakan jaksa menggunakan Pasal 84 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memungkinkan seorang terdakwa disidangkan tidak di wilayah hukum tempat kejadian perkara, melainkan di dalam daerah hukum terdakwa bertempat tinggal. “Sementara Diananta bertempat tinggal di Banjar,” kata dia.
Menurut Sasmito, lokasi dan waktu peristiwa yang dituduhkan jaksa ada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banjarmasin. Sebab, Diananta melakukan wawancara narasumber, menulis berita, dan menayangkan berita tersebut di Banjarmasin sehingga Pengadilan Negeri Banjarmasin-lah yang seharusnya memiliki kewenangan kasus Diananta. Tempat tinggal Diananta yang berada di Kabupaten Banjar berdekatan dengan Banjarmasin. Begitu pula saksi-saksi yang akan dihadirkan juga berdomisili di Banjarmasin. Bahkan, kuasa hukum Diananta juga berdomisili di Banjarmasin.
Sasmito mengatakan pengalihan lokus persidangan ke Kotabaru akan mempersulit Diananta untuk mendapatkan bantuan hukum yang maksimal dari kuasa hukumnya. Pelimpahan persidangan ini, dia menambahkan, juga akan mempersulit korban dalam melakukan pembelaan. “Kami menduga pelimpahan perkara Diananta ke Kotabaru adalah upaya untuk menjauhkan persidangan dari akses kuasa hukum dan pantauan publik,” kata Sasmito.
Kasus Diananta bermula dari berita yang ditayangkan Kumparan.com/Banjarhits.id berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” pada 8 November 2019 pukul 19.00 WITA. Berita ini ditulis oleh Diananta dari hasil wawancara dengan masyarakat adat suku dayak, yaitu Bujino, Riwinto, dan Sukirman. Sebelum ditayangkan, Diananta sudah berupaya meminta konfirmasi dengan menghubungi Andi Rufi, juru bicara PT Jhonlin Agro Raya (JAR), tapi tidak ada jawaban.
Atas pemberitaan itu, Diananta dilaporkan ke Dewan Pers dan kepolisian. Dewan Pers kemudian merekomendasikan agar teradu melayani hak jawab dari pengadu dan menjelaskan persoalan pencabutan berita yang dimaksud. Rekomendasi itu diteken melalui lembar pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) Dewan Pers yang terbit pada 5 Februari 2020. Pihak Kumparan melalui Banjarhits.id pun memuat hak jawab dari teradu dan menghapus berita yang dipersoalkan. Masalah sengketa pers dinyatakan selesai oleh Dewan Pers. Namun sengketa ini tetap berlanjut di kepolisian dengan dalih tulisan Diananta bukan karya jurnalistik.
Dalam berkas dakwaan, jaksa penuntut umum Dwi Hadi Purnomo mengatakan
artikel terdakwa yang berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” berpotensi menimbulkan konflik SARA. Isi artikel tersebut dianggap secara terbuka mengungkap latar belakang konflik persengketaan lahan ini. “Informasi yang bisa menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu,” kata Dwi.
MAYA AYU PUSPITASARI | S.G. WIBISONO
Dianggap Kriminalisasi
Penetapan mantan pemimpin redaksi Banjarhits.id, Diananta Putra Sumedi, sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap wartawan. Sebabnya, sengketa jurnalistik yang menyeretnya sudah diselesaikan oleh Dewan Pers. Berikut ini kronologi kasusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2019
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
8 November
Diananta menerbitkan tulisan berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” di portal Banjarhits.id.
November
Ketua Dewan Musyawarah Pusat Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan, Sukirman, melaporkan berita tersebut ke Dewan Pers karena memuat pernyataan pengadu yang tidak benar. Pengadu menilai berita yang dilaporkan menimbulkan rasa kebencian di kalangan masyarakat karena kental unsur SARA.
Selain ke Dewan Pers, Sukirman membuat aduan ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan. Ia mengadukan Banjarhits.id dan mitranya, Kumparan.com, karena menerbitkan tulisan tersebut.
15 November
Banjarhits.id dan Kumparan.com memuat hak jawab dari Sukirman dengan judul “Klarifikasi Sukirman soal Berita Konflik Etnis”.
26 November
Nanta diperiksa sebagai saksi atas aduan Sukirman oleh Polda Kalimantan Selatan.
2020
9 Januari
Dewan Pers meminta klarifikasi pengadu dan teradu di Sekretariat Dewan Pers, Jakarta.
Dalam pertemuan ini tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi karena pengadu menginginkan Dewan Pers mengeluarkan keputusan dalam bentuk pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR).
29-30 Januari
Dewan Pers menggelar sidang pleno pengaduan Sukirman terhadap Kumparan.com.
5 Februari
Dewan Pers mengeluarkan PPR yang isinya memutuskan redaksi Kumparan.com adalah penanggung jawab atas pemuatan berita yang diadukan, bukan redaksi Banjarhits.id yang menjadi mitra Kumparan.com. Dewan Pers juga memutuskan bahwa berita teradu melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik, karena menyajikan berita yang mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku.
11 Februari
Kumparan dan Banjarhits mencabut berita berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel”.
25 Februari
Nanta kembali diperiksa oleh Polda Kalimantan Selatan atas tudingan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
4 Mei
Nanta ditetapkan sebagai tersangka pelanggar UU ITE dan ditahan di Rumah Tahanan Polda Kalimantan Selatan.
8 Juni
Pengadilan Negeri Kota Baru menggelar sidang perdana Diananta.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo