Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tindakan Menteri Sosial Tri Rismaharini memaksa anak Tuli bicara dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional telah memicu kontroversi. Menteri Risma dianggap belum memahami bagaimana difabel berinteraksi dan berkomunikasi sesuai dengan ragam disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menyikapi peristiwa tersebut, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia menyatakan akomodasi yang layak adalah hak bagi setiap penyandang disabilitas. Sebab itu, difabel berhak memilih jenis akomodasi yang sesuai kebutuhan mereka terkait dengan kedisabilitasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Akomodasi yang layak adalah hak setiap penyandang disabilitas dan ini adalah pilihan individu sesuai kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri," kata Dante Rigmalia dalam konferensi pers di Hotel Balairung, Matraman, Jumat, 3 Desember 2021. Menurut Komisi Nasional Disabilitas, tindakan Risma menjadi pembelajaran bagi setiap orang, bahwa individu dengan disabilitas memiliki cara berbeda dalam mengakses informasi.
Anggota Komisi Nasional Disabilitas, Eka Prastama mengatakan, penyandang disabilitas berhak mengakses informasi, termasuk menjalani proses habilitasi dan rehabilitasi. Eka melanjutkan, masing-masing difabel memiliki cara menjalani habilitasi dan rehabilitasi tersendiri yang terkadang seperti di luar rasa kemanusiaan.
Eka mencontohkan, ada terapi duduk di kursi bagi anak dengan Autisme untuk memusatkan perhatian dia. Dengan begitu, anak tersebut berlatih berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. "Memang sepertinya terlalu keras, namun ada tujuannya, memberikan kemampuan agar difabel dapat berkecimpung di masyarakat," kata Eka.
Mengenai terapi bicara kepada anak Tuli, Pendiri Kesetaraan Bagi Anak Tuli, Susanti Mayangsari mengatakan, hal itu tidak bisa dilakukan dengan instan. "Memaksa anak Tuli bicara secara jelas bukan sebuah proses yang mudah dan terkadang menyakitkan bagi anak itu sendiri," kata Susanti pada Kamis, 2 Desember 2021.
Kemampuan setiap anak Tuli dalam menyerap suara dan mempraktikkan bahasa verbal berbeda-beda. Ada anak yang sudah menggunakan alat bantu dengar atau ABD dan tetap tidak dapat berbicara secara oral. Sementara itu, ada pula yang langsung dapat mengikuti suara.
"Anak menyerap suara secara berbeda. Dan dipaksa berbicara itu seperti menjadi proses yang menyakitkan bagi anak itu sendiri," ujar Susanti. Dia berharap ada komunikasi dan literasi bagi Menteri Sosial Tri Rismaharini soal permintannya agar anak Tuli dapat bicara.
Baca juga:
Kronologis Menteri Sosial Risma Paksa Anak Tuli Bicara Lalu Menuai Kritik
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.