Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Silang Pendapat Setelah Putusan Mahkamah

Silang pendapat terjadi setelah putusan MK soal syarat batas usia pencalonan presiden dan wakilnya. Putusan MK menuai kritik.

18 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah anggota DPR punya pendapat berbeda soal putusan Mahkamah Konstitusi ihwal syarat batas usia minimal pencalonan presiden dan wakilnya.

  • KPU segera merevisi Peraturan KPU tentang Pendaftaran Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

  • Sejumlah pegiat menghujani kritik terhadap putusan MK.

JAKARTA – Silang pendapat terjadi di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ihwal putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat batas umur bakal calon presiden dan wakilnya. Putusan MK itu disebut berlaku untuk Pemilu 2024, tapi ada pula yang berpendapat baru bisa diterapkan pada pemilu mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Komisi II DPR Bidang Pemerintahan Junimart Girsang mengatakan putusan MK hanya bisa diberlakukan ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu direvisi lebih dulu. “Karena Mahkamah Konstitusi bukan fungsi legislasi atau pembentuk undang-undang,” ujar Junimart dalam keterangannya, Selasa, 17 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah Konstitusi—berkantor di Medan Merdeka Barat—mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden dan wakilnya. Dalam putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, MK menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu soal syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan yang dibacakan pada Senin lalu, MK menyatakan Pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi: “….Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah…” Artinya, dengan putusan itu, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju menjadi bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden selama berpengalaman atau sedang menjalani jabatan kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu.

Sejumlah kalangan menilai putusan tersebut sarat masalah dan janggal. Sebelum membacakan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi lebih dulu membacakan tiga putusan soal batas usia dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang juga mempersoalkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor Pemilu. Ketiga permohonan uji materi itu ditolak dengan dalil sengketa syarat usia pencalonan adalah wewenang pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, yang bersifat open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Namun hal berbeda terjadi terhadap putusan Nomor 90/PUU.

Junimart menegaskan, putusan MK tidak dapat berlaku otomatis pada Pemilu 2024. Berlakunya putusan MK diatur pada Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun bunyi Pasal 10 ayat (2): “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.”

Halaman gedung Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, 17 Oktober 2023. TEMPO/Subekti

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu selaku penyelenggara pemilihan umum tidak dapat melakukan perubahan atas Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 soal pencalonan peserta pemilu presiden serta wakil presiden. Peraturan tersebut tidak dapat memasukkan klausul "pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah" sebelum Undang-Undang Pemilu direvisi meski putusan MK bersifat final dan mengikat. “Jadi, Undang-Undang Pemilu harus direvisi dulu oleh DPR dan pemerintah dengan memasukkan klausul putusan MK,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR lainnya, Yanuar Prihatin, mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat, meski dianggap melebihi batas kewenangannya. Yanuar menegaskan, putusan MK harus tetap dilaksanakan, apalagi masa pendaftaran bakal calon presiden dan wakilnya kian dekat, yang dibuka pada 19-25 Oktober 2023.

Menurut Yanuar, revisi terhadap Undang-Undang Pemilu setelah adanya putusan MK ada kemungkinan bakal dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). "Jadi, sebaiknya KPU tetap berpedoman pada undang-undang yang masih berlaku," kata Yanuar.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, memahami bahwa putusan MK mendapat banyak respons negatif lantaran dianggap memiliki kepentingan demi meloloskan seorang bakal calon wakil presiden.

Sebelum putusan, nama Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka santer disebut sebagai kandidat bakal calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden. Prabowo diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM). Koalisi tersebut terdiri atas gabungan partai politik, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, Partai Bulan Bintang, Partai Garuda, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), dan Partai Demokrat.

Guspardi menegaskan, putusan Mahkamah harus tetap dilaksanakan karena bersifat final dan mengikat. “Apalagi Mahkamah sudah menyatakan putusan ini berlaku mulai Pemilu 2024,” ujar dia. Meski begitu, kata dia, putusan MK harus diakomodasi dengan dilakukan perubahan pada Undang-Undang Pemilu. Dia juga mengatakan bahwa KPU selaku penyelenggara harus melakukan perubahan pada peraturan KPU sebagaimana putusan Mahkamah. “Nantinya, perubahan dalam peraturan KPU harus dikonsultasikan pada DPR.”

Anggota Komisi Pemerintahan DPR lainnya, Mardani Ali Sera, mengatakan perubahan Peraturan KPU tetap dapat dilakukan meski DPR tengah memasuki masa reses. Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, DPR bisa saja melakukan rapat pembahasan atas hasil perubahan peraturan KPU di tengah masa reses. “Tapi tetap harus ada izin pimpinan komisi dan DPR,” kata Mardani.

Dengan begitu, Mardani melanjutkan, KPU dipersilakan menindaklanjuti putusan Mahkamah dengan melakukan perubahan pada peraturan KPU. “Yang penting nanti dikonsultasikan saat DPR kembali masuk masa sidang.”

Respons KPU

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Divisi Teknis KPU Idham Holik mengatakan bahwa MK dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sudah menyatakan putusan berlaku pada Pemilu 2024 dan seterusnya. “Jadi, sejak diucapkan hakim, putusan sudah berkekuatan hukum,” kata Idham. Dia mengatakan, KPU segera menerbitkan kebijakan sebagai tindak lanjut putusan MK.

Namun Idham tak menjawab pertanyaan mengenai konsultasi dengan DPR selaku regulator perihal rencana revisi peraturan KPU. Begitu pula dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan komisioner KPU, Mochammad Afifuddin. Hingga malam tadi, keduanya belum memberikan jawaban ihwal pertanyaan yang diajukan Tempo yang dikirim ke nomor telepon seluler mereka.

KPU sebelumnya mengatakan bakal mengirim surat kepada pemerintah dan DPR perihal pembahasan perubahan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Putusan MK Menuai Kritik

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik putusan MK. Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, mengatakan, MK dinilai abai terhadap legal standing atau kedudukan pemohon gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Penggugat uji materi Undang-Undang Pemilu ihwal batas usia capres-cawapres, Almas Tsaqibbirru Re A., memberikan keterangan kepada wartawan saat ditemui di Manahan, Solo, Jawa Tengah, 16 Oktober 2023. Antara/Mohammad Ayudha

Menurut Kahfi, legal standing pemohon lemah dan dimuat dalam tiga halaman saja. Bahkan, pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami, melainkan hanya mencantumkan basis kerugian berlandaskan kekaguman terhadap figur Gibran Rakabuming. “Dikabulkannya gugatan pemohon sungguh pertimbangan yang sangat memalukan dan melecehkan akal sehat,” kata Kahfi.

Peneliti dari Netgrit, Hadar Nafis Gumay, mempertanyakan inkonsistensi MK ihwal open legal policy. Menurut Hadar, sebelum memutuskan permohonan Nomor 900/PUU, MK menyatakan ketentuan batas minimal usia bakal calon presiden dan wakilnya merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.

Namun, saat pembacaan putusan Nomor 90/PUU, MK langsung mengubah pendiriannya. Hal ini, kata Hadar, merupakan sikap memalukan dari lembaga peradilan. Semestinya, menurut dia, MK sadar bahwa permohonan uji materi yang diputus akan mengandung cacat akademis sepanjang masa.

Tempo belum mendapat tanggapan dan konfirmasi dari Mahkamah Konstitusi. Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, tidak menjawab pesan berupa pertanyaan yang dikirimkan Tempo ihwal tanggapan Komisi Pemerintahan DPR dan kritik organisasi masyarakat sehubungan dengan putusan perkara 90/PUU-XXI/2023. Hingga laporan ini ditulis, Fajar hanya membaca pesan pertanyaan yang dikirim Tempo ke nomor telepon selulernya.

ANDI ADAM FATURAHMAN | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus