Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) ragu ihwal kelengkapan dakwaan terhadap Pinangki Sirna Malasari. Sebab, sesuai dengan dakwaan, ada beberapa poin yang dianggap bolong dalam penanganan perkara dugaan suap yang melibatkan terpidana korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jaksa belum menyampaikan siapa jaringan langsung Pinangki di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kemarin.
Kurnia mencontohkan beberapa poin krusial yang hilang dalam dakwaan Pinangki. Misalnya, dalam dakwaan tidak terungkap materi yang disampaikan Pinangki saat bertemu dengan Joko Tjandra di Kuala Lumpur, November lalu. Padahal, saat itu, bekas Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan itu mengajukan proposal bantuan permohonan fatwa Mahkamah Agung kepada Joko agar dapat terbebas dari jerat hukum kasus hak tagih Bank Bali. “Kejaksaan seharusnya menjelaskan apa yang disampaikan Pinangki sehingga Joko Tjandra mempercayakan penanganan kasusnya kepada orang yang tak memiliki kewenangan tinggi di Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Menurut Kurnia, penjelasan tentang alasan Joko mempercayai Pinangki sangat penting untuk diungkap. Sebab, secara kasatmata, Joko tidak mungkin mempercayakan pengurusan kasusnya kepada Pinangki, yang hanya pejabat eselon IV di Kejaksaan Agung. "Psikologis pelaku kejahatan, sudah barang tentu akan selalu menaruh curiga kepada siapa pun yang ia temui," katanya.
Poin kedua, kata Kurnia, jaksa penuntut umum belum menjelaskan dalam dakwaan mengenai langkah-langkah yang sudah dilakukan Pinangki untuk mensukseskan rencana aksi permohonan fatwa MA tersebut. Padahal MA hanya bisa mengabulkan fatwa itu atas dasar permintaan lembaga negara. "Tentu dengan posisi Pinangki mustahil dapat mengurus fatwa yang nantinya diajukan oleh Kejaksaan Agung secara kelembagaan," ucap Kurnia.
Poin ketiga, jaksa penuntut belum menginformasikan dalam dakwaan mengenai dugaan keterlibatan jaksa lain dalam pengurusan fatwa ini. Padahal ada banyak rangkaian kegiatan yang mesti dilakukan untuk memperoleh fatwa MA. "Selain kajian secara hukum, pasti dibutuhkan sosialisasi agar nantinya MA yakin saat mengeluarkan fatwa."
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang perdana pembacaan dakwaan kepada Pinangki, kemarin. Jaksa penuntut mendakwa Pinangki dengan tiga pasal berlapis, yaitu penyuapan, pencucian uang, dan permufakatan jahat. Dalam dakwaan setebal 56 halaman itu, jaksa penuntut hanya menyebutkan keterlibatan Pinangki seorang diri di Kejaksaan Agung.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan kejanggalan yang paling tampak dalam dakwaan Pinangki adalah soal ketidakjelasan peran pihak lain yang membantu Pinangki. Ia menekankan, tidak logis bagi Pinangki, yang punya jabatan rendah, bisa mengupayakan proposal sebesar US$ 100 juta kepada Joko Tjandra. “Ini menutup pihak lain yang diduga terlibat di institusi kejaksaan,” kata Zaenur.
Kuasa hukum Pinangki, Jefri Moses, menganggap wajar jika banyak poin yang tak terjelaskan dalam dakwaan kliennya. Selain waktu penyidikan yang cepat, ia menilai banyak kejadian yang tak bisa dibuktikan oleh jaksa. “Jaksa paham kalau peristiwa itu tidak jalan. Action plan itu tidak pernah terjadi. Jadi, siapa yang berperan, apa tidak ada?” katanya.
Menanggapi sorotan ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, mengatakan dakwaan Pinangki ini sudah sesuai dengan hasil penyidikan. Ia mengatakan keterlibatan pihak lain akan ditelusuri jika muncul bukti baru di persidangan. “Semua sudah terang dalam penyidikan sesuai dengan alat bukti,” kata Hari.
MAYA AYU PUSPITASARI
Tiga Pasal Menjerat Pinangki
JAKSA penuntut umum mendakwa Pinangki Sirna Malasari, mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, dengan tiga pasal berlapis dalam kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Joko Sugiarto Tjandra, terpidana korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali. Ketiga pasal itu adalah dugaan penyuapan, pencucian uang, dan permufakatan jahat.
Dugaan Menerima Suap
- Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a subsider Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
- Diduga menerima uang dari Joko sebesar US$ 500 ribu dari janji US$ 1 juta.
- Memberikan uang kepada mantan pengacara Joko, Anita Kolopaking, sebesar US$ 50 ribu.
Dugaan Pencucian Uang
Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang:
Mengalihkan uang pemberian Joko sebesar US$ 500 ribu dalam beberapa bentuk, seperti penukaran uang dolar; menukar mata uang dolar melalui sopirnya, Sugiarto, dengan nilai mencapai US$ 280 ribu. Kemudian meminta suaminya menukar mata uang dolar. Lalu, suami Pinangki menyuruh stafnya, Beni Sastrawan, menukar uang sebesar US$ 47,6 ribu. Juga menukar melalui pihak lain sebesar US$ 10 ribu.
- Membeli mobil BMW X5 seharga Rp 1,75 miliar.
- Membayar sewa apartemen di Amerika Serikat sebesar Rp 412 juta.
- Membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat sebesar Rp 419 juta.
- Membayar dokter home care seharga Rp 176 juta.
- Membayar kartu kredit sebesar Rp 2,08 miliar.
- Membayar sewa apartemen Pakubuwono Signature di Jakarta senilai Rp 940 juta.
- Membayar sewa apartemen Darmawangsa Essence di Jakarta sebesar Rp 525 juta.
Dugaan Permufakatan Jahat
- Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a subsider Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi:
Diduga bermufakat dengan politikus NasDem, Andi Irfan Jaya, dan Joko untuk memberikan hadiah atau janji sebesar US$ 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
TEKS: MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo