Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta-Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan membandingkan hasil survei elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) menjelang pemilu presiden 2019 dan elektabilitas Susilo Bambang Yudhoyono menjelang pilpres 2009. Data yang digunakan ialah hasil sigi SMRC dan Lembaga Survei Indonesia.
Dalam dua pilpres itu Jokowi dan SBY sama-sama merupakan calon inkumben. Menurut Djayadi calon inkumben atau petahana yang elektabilitasnya cenderung unggul memiliki peluang besar untuk kembali memenangi pemilihan presiden.
Baca: Survei SMRC: Peluang Jokowi Memenangi Pilpres 2019 Menguat
"Sebagai petahana, SBY menjelang pilpres 2009 dan Jokowi menjelang pilpres 2019 trennya terus unggul atas penantang mereka," kata Djayadi di kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 7 Oktober 2018.
Menjelang pilpres 2009, tepatnya pada September 2008, dukungan spontan atau top of mind untuk SBY sebesar 28,7 persen. Sedangkan dukungan spontan untuk Jokowi berada di angka 47,4 persen.
Pada simulasi dukungan semi-terbuka, dukungan untuk SBY pada Mei 2008 sebesar 30,7 persen. Adapun Jokowi mendapat dukungan 51,6 persen pada Mei 2018. Menurut Djayadi temuan ini menunjukkan bahwa Jokowi memiliki peluang yang sama seperti SBY yang terbukti menang kembali.
Simak: SMRC: Pemilih Tetap Prabowo Tak Lari karena Kasus Ratna Sarumpaet
Padahal, sigi menunjukkan elektabilitas SBY sempat turun sejak Maret 2007 dan cenderung stagnan hingga medio 2008. Pada Juni 2008 elektabilitas SBY bahkan hampir terkejar oleh penantangnya, Megawati Soekarnoputri.
Djayadi mengatakan anjloknya suara dukungan ini merupakan imbas dari kebijakan SBY menaikkan harga bahan bakar minyak ketika itu. Namun, kata Djayadi, efek kebijakan yang tak populer semacam ini pun tak berlangsung lama jika calon inkumben dapat menanggulanginya. "Bahkan sebagai petahana tren dukungan kepada Jokowi lebih kuat, karena itu Jokowi kemungkinan punya peluang lebih baik lagi," ujarnya.
Lihat: Survei LSI Denny JA: PDIP Berpotensi Jadi Partai Paling Kuat
Djayadi menuturkan Jokowi berpeluang besar kembali menang jika tak ada perubahan luar biasa menyangkut faktor fundamental. Faktor fundamental ini meliputi kondisi politik, ekonomi, hukum, dan keamanan. "Yang bisa mengubah itu adalah faktor fundamental, ini memengaruhi pertarungan jangka panjang. Kalau nonfundamental itu comes and go," kata Djayadi.
Contoh faktor nonfundamental di antaranya persepsi kesuksesan Asian Games 2018. Menurut Djayadi kesuksesan pemerintah menyelenggarakan gelaran internasional itu mungkin saja menambah dukungan sebesar 1-2 persen, tetapi pengaruhnya tak akan bertahan lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini