Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUS Sudono akhirnya "tumbang". Minggu pagi pekan lalu, namanya tak tercantum dalam daftar 17 pengurus baru SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) - nama baru FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) - yang dibacakan dalam penutupan Kongres Nasional II FBSI di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Sebagai ketua umum yang baru muncul Imam Soedarwo, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan yang juga salah satu Ketua DPP Golkar, dan juga anggota DPP FBSI. Sebagai sekjen, terpilih Arif Soemadji dan Datuk Bagindo sebagai bendahara. Tergusurnya Agus Sudono, 52, agak mengejutkan, karena di hari-hari pertama kongres, nama tokoh yang telah 12 tahun menjabat Ketua Umum FBSI ini tetap disebut-sebut sebagai tetap calon ketua umum. Apalagi sebagian besar DPP dan DPD FBSI konon "dikuasai" oleh pendukungnya. Agus sendiri tampaknya juga yakin akan "kekuatannya". Persiapan kelompoknya menjelang kongres ini cukup rapi. Termasuk, misalnya, penerbitan buku 30 Tahun Agus Sudono Mengabdi Gerakan Buruh pertengahan November lalu, yang sebagian besar isinya berupa pujian dari dalam dan luar negeri terhadap Agus Sudono. Tapi ternyata proses pemilihan pengurus baru FBSI tidak berjalan mulus. Kongresnya sendiri agak kacau. Di awal kongres, pada waktu pemandangan umum, nama Imam Soedarwo tak sekali pun pernah muncul. Selain Agus Sudono, beberapa nama lain, seperti Oetojo Oesman, Awaluddin Djamin, Effendi Yusuf, dan Sukarno diusulkan sejumlah pembicara. Para peserta memang terpecah dua: pendukung dan bukan pendukung Agus Sudono. Yang tak mendukung tidak jelas menunjuk siapa calon mereka. Kemacetan terjadi tatkala kongres membicarakan sistem pemilihan pengurus baru. Panitia pengarah dan DPP kabarnya sudah memutuskan agar formatir terdiri dari 7 orang. Namun, dalam sidang pleno ternyata Agus - entah mengapa - menyatakan bahwa ia belum sepakat dengan usul itu dan malah mengusulkan agar dipilih dulu ketua umum, baru kemudian 6 formatir lain. Akibatnya, terjadi kemacetan. Karena tak ada kesepakatan, pimpinan kongres dan DPP kemudian berkonsultasi dengan Menaker Sudomo. Sudomo konon mengajukan saran: tetap menggunakan formatir tanpa menyertakan DPP. Ini berarti delapan orang formatir hanya terdiri dari unsur DPD dan SBLP (Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan). Sejak saat itulah tanda-tanda tergesernya Agus Sudono mulai tampak, karena sebagian besar SBLP (yang terdiri dari 21 buah) menentang kepemim-pinan Agus. Untuk masing-masing memilih 4 wakil mereka Sabtu pekan lalu - yang dijadwalkan sebagai hari terakhir kongres - 21 SBLP dan 25 DPD berembuk di ruang terpisah. Formatir dari SBLP dengan mudah terpilih, karena sebagian besar mereka penentang Agus. Namun, di DPD terjadi kemacetan. Di sini 19 suara mendukung Agus, sedang 6 lainnya menentang. Kabarnya, beberapa hari sebelumnya, para utusan DPD ini diundang ke DPP Golkar di Slipi untuk menerima penjelasan tentang kebijaksanaan Golkar. Menurut sebuah sumber, di situlah nama Imam Soedarwo disebut sebagai calon pengganti Agus Sudono. Meski Imam sendiri dinilai bukan tokoh kuat, karena tak ada calon lain, ia dipasang sebagai calon ketua umum. Kepemimpinan Agus dinilai tidak berhasil karena kurang melakukan kaderisasi dan malah "mengkotak-kotakkan" FBSI. Dari pukul 13.15 hingga 18.00 rembukan DPD tak menelurkan formatir. Padahal, para tamu resepsi penutupan kongres sudah mulai berdatangan. Terpaksalah jasa baik Menteri Sudomo diminta lagi. Akhirnya Sudomo mengusulkan agar dilakukan voting. Pukul 21.00 DPD Sum-Bar, Ja-Bar, Yogyakarta, dan NTT terpilih. Artinya, pendukung Agus yang dominan di situ. Delapan formatir yang berembuk di ruang kerja Menteri Sudomo ternyata tak juga menghasilkan kesepakatan. Acara penutupan kongres pun terpaksa ditunda hingga esok paginya. Namun, ternyata hingga pukul 3.30 Minggu pagi, formatir tak berhasil memilih pengurus baru. Situasinya tetap: kelompok SBLP menghendaki pembaruan, sedangkan pihak DPD ingin mempertahankan status quo. Adu argumentasi kemudian berganti cara. Kelompok pembaruan mengusulkan agar disepakati dulu apakah FBSI perlu perubahan atau tidak, tanpa menyebut nama calon ketua umum lebih dulu. Mulailah terjadi pergeseran. Dari posisi 4:4, perimbangan berubah menjadi 6:2 dan kemudian 7:1. Akhirnya tinggal wakil DPD Yogyakarta yang masih mempertahankan Agus. Nama Imam Soedarwo pun dimunculkan kelompok SBLP. Dalam posisi 7:1, Imam Soedarwo pun terpilih sebagai ketua umum. Imam Soedarwo sendiri mengaku baru tahu dirinya terpilih pada pukul 6.30 Ahad pagi setelah ditelepon sekretaris Menaker. Ia kemudian menyiapkan sambutan tertulis 5 halaman folio yang dibacakannya seusai acara serah terima pataka SPSI. Imam, yang beragama Katolik, memulai sambutannya dengan ucapan Assalamualaikum warahmatulla hi wabarokatuh. Ia berjanji bahwa pengurus SPSI yang baru akan loyal terhadap organisasi dan berasaskan Pancasila, wawasan kebangsaan dan meningkatkan profesi. Tatkala nama Imam Soedarwo diumumkan, cukup banyak yang keplok, walau tidak begitu gemuruh. Kabarnya, cukup banyak yang kecewa karena terpilihnya Imam Soedarwo - yang dua tahun lebih tua dari Agus - berarti tidak terjadi regenerasi dalam kepemimpinan SPSI. Hasil penting lain kongres: dihapuskannya sistem federasi. "Federasi ini membuat kita terkotak-kotak," kata John D.P. Simamora, ketua panitia kongres. Hasil lain: pergantian nama menjadi SPSI. Sudomo agaknya paling gembira karena sudah lama ia mengusulkan agar istilah buruh diganti menjadi pekerja. "Pergantian itu akan mengubah citra yang semula kurang pada proporsinya. Buruh memiliki citra penentang kekuasaan," kata Sudomo. Agus Sudono sendiri menerima kekalahannya dengan tenang. Kabarnya, ia akan ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina SPSI. "Saya masih akan membantu SPSI sampai kapan pun. Bagi saya SPSI itu tempat mengabdi dan ibadat, bukan sebagai ladang saya, ujarnya. Susanto Pudjomartono Laporan Musthafa Helmy & Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo