Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINGGU ini, DPRD tingkat I Maluku kembali angkat bicara soal
kebobrokan perusahaan-perusahaan daerah, yang belum terpecahkan
sejak masa Gubernur Sumeru dulu. Soalnya semua bidang usaha
yang dipegang P.D. Panca Karya, tak menghasilkan keuntungan
alias rugi. Baik Hotel Anggrek di dalam Kota Ambon, maupun
perusahaan Pelayaran Nusantara 'Berdikari'.
Di atas kertas, Berdikari punya 6 kapal. KM Ampera II s/d Ampera
IV, KM Kelapa hadiah Presiden Suharto, dan KM Bratasena. Namun
tak sebuah pun di antara ke-6 kapal itu, dikelola sendiri oleh
Berdikari. Sampai-sampai Dirjen Perla Haryono Nimpuno, dalam
sepucuk telegram yang dibeberkan koran mingguan IV Nasional di
Ambon, 18 dan 25 Desember lalu, lewat Kanwil Ditjen Perla VIII
Maluku menegur direksi Berdikari karena hanya mencarterkan
kapal-kapalnya kepada pihak swasta. Selain itu, sebagian di
antara kapal Berdikari yang dicarterkan itu tidak berlayar
menghubungkan ke-999 pulau di Maluku sendiri, tapi lebih banyak
berada di luar perairan wilayah itu.
Teguran Dirjen Perla memang ada alasan. Sebab "pencarteran
kapal-kapal Berdikari itu belum mendapat persetujuan DPRD Maluku
sendiri," ujar seorang wakil rakyat di sana kepada pembantu
TEMPO, di Ambon. Kebijaksanaan itu, ditempuh langsung oleh
manager Berdikari, Bob Achmad, serta atasannya, Ketua
Perusahaan-Perusahaan Daerah Propinsi Maluku, Moh. Kasim
Soulisa. Padahal sentralisasi wewenang atas semua perusahaan
daerah di bawah PD Panca Karya, "belum mendapat pengesahan DPRD
Maluku maupun Mendagri," tambah anggota DPRD tadi.
Dijual Murah
Namun seandainya Berdikari dapat mengalirkan dana ke kas daerah,
mungkin urusan-urusan restu DPRD dan Mendagri tak begitu
dipersoalkan. Tapi nyatanya, Berdikari yang kini sudah dipimpin
oleh tangan keempat justeru merugi terus. Kapal pertama yang
dimilikinya, KM Ampera I yang merupakan hasil perjuangan
almarhum Dr J. Leimena dan dibuat di Jepang telah dijual kepada
sebuah firma dengan harga Rp 15 juta saja. Alasan penjualan
kapal yang baru berumur 10 tahun itu "untuk membayar tunggakan
gaji karyawan Berdikari." Nyatanya uang Rp 15 juta itu pun belum
cukup untuk melunasi tunggakan gaji karyawan ditambah hutang
perusahaan. Alasan kedua: kapal itu sudah jadi besi tua, badan
dan mesinnya tak dapat dipakai lagi. Tapi alasan ini disanggah
sendiri oleh ahli-ahli teknik Berdikari, ujar seorang awak kapal
Ampera I kepada TEMPO: "ketika dijual, mesin kapal masih
mulus." Bahkan ada satu set onderdil cadangan mesin induk yang
belum sernpat dipakai. Onderdil itupun kemudian lenyap dari
gudang Berdikari dan diam-diam dijual kepada PT Surya dengan
harga Rp 10 juta.
Adapun pencarteran KM Ampera II dan III kepada PT Surya, pernah
diprotes oleh awak kapalnya sendiri melalui DPRD Maluku di tahun
1976. Tapi lantaran perbedaan pendapat dalam DPRD - ada yang
membela Bob Achmad, tapi ada juga yang membela para awak kapal,
isyu itu kandas di tengah jalan. Padahal protes awak kapal dapat
dimengerti, melihat eksploitasi kedua kapal itu secara kelewatan
oleh pencarternya. Juni 1976 misalnya, Ampera II hampir
tenggelam di perairan pulau Butung, Sulawesi Tenggara lantaran
muatan yang kelewat batas. Namun kembali lagi awak kapal yang
disalahkan, dan mereka diturunkan di Ternate, Maluku Utara.
Nasib Ampera III, tak kalah konyolnya. Tahun 1976, kapai itu
dinyatakan tak layak laut lagi oleh Biro Klasifikasi Industri
(BKI) karena dalam keadaan jangkar macet, kapal itu dipaksa
berlayar terus di Selat Madura. Ketika awak kapal protes dan
melapor ke Syahbandar Ambon, ada yang diberhentikan dan ada yang
dirumahkan. Toh eksploitasi kedua kapal itu masih diteruskan
juga. Sampai Syahbandar Ambon sendiri turun tangan dan diberi
teguran keras.
Itu sebabnya, DPRD Maluku yang bersidang di gedungnya yang baru
(warisan Gubernur Sumeru dulu), merasa perlu melemparkan ban
pelampung. Tapi apakah gubernur baru, brigjen Hasan Slamet mau
menerima lemparan DPRD itu dan turuntangan sendiri menyelamatkan
perusahaan-perusahaan daerah yang sedang sekarat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo