Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sudah rugi, mau tenggelam pula

Pd panca karya, perusahaan daerah di ambon yang membawahi "hotel anggrek" & perusahaan pelayaran nusantara "berdikari" selalu rugi. kapalnya dicarterkan ke swasta dengan muatan yang berlebihan. (dh)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU ini, DPRD tingkat I Maluku kembali angkat bicara soal kebobrokan perusahaan-perusahaan daerah, yang belum terpecahkan sejak masa Gubernur Sumeru dulu. Soalnya semua bidang usaha yang dipegang P.D. Panca Karya, tak menghasilkan keuntungan alias rugi. Baik Hotel Anggrek di dalam Kota Ambon, maupun perusahaan Pelayaran Nusantara 'Berdikari'. Di atas kertas, Berdikari punya 6 kapal. KM Ampera II s/d Ampera IV, KM Kelapa hadiah Presiden Suharto, dan KM Bratasena. Namun tak sebuah pun di antara ke-6 kapal itu, dikelola sendiri oleh Berdikari. Sampai-sampai Dirjen Perla Haryono Nimpuno, dalam sepucuk telegram yang dibeberkan koran mingguan IV Nasional di Ambon, 18 dan 25 Desember lalu, lewat Kanwil Ditjen Perla VIII Maluku menegur direksi Berdikari karena hanya mencarterkan kapal-kapalnya kepada pihak swasta. Selain itu, sebagian di antara kapal Berdikari yang dicarterkan itu tidak berlayar menghubungkan ke-999 pulau di Maluku sendiri, tapi lebih banyak berada di luar perairan wilayah itu. Teguran Dirjen Perla memang ada alasan. Sebab "pencarteran kapal-kapal Berdikari itu belum mendapat persetujuan DPRD Maluku sendiri," ujar seorang wakil rakyat di sana kepada pembantu TEMPO, di Ambon. Kebijaksanaan itu, ditempuh langsung oleh manager Berdikari, Bob Achmad, serta atasannya, Ketua Perusahaan-Perusahaan Daerah Propinsi Maluku, Moh. Kasim Soulisa. Padahal sentralisasi wewenang atas semua perusahaan daerah di bawah PD Panca Karya, "belum mendapat pengesahan DPRD Maluku maupun Mendagri," tambah anggota DPRD tadi. Dijual Murah Namun seandainya Berdikari dapat mengalirkan dana ke kas daerah, mungkin urusan-urusan restu DPRD dan Mendagri tak begitu dipersoalkan. Tapi nyatanya, Berdikari yang kini sudah dipimpin oleh tangan keempat justeru merugi terus. Kapal pertama yang dimilikinya, KM Ampera I yang merupakan hasil perjuangan almarhum Dr J. Leimena dan dibuat di Jepang telah dijual kepada sebuah firma dengan harga Rp 15 juta saja. Alasan penjualan kapal yang baru berumur 10 tahun itu "untuk membayar tunggakan gaji karyawan Berdikari." Nyatanya uang Rp 15 juta itu pun belum cukup untuk melunasi tunggakan gaji karyawan ditambah hutang perusahaan. Alasan kedua: kapal itu sudah jadi besi tua, badan dan mesinnya tak dapat dipakai lagi. Tapi alasan ini disanggah sendiri oleh ahli-ahli teknik Berdikari, ujar seorang awak kapal Ampera I kepada TEMPO: "ketika dijual, mesin kapal masih mulus." Bahkan ada satu set onderdil cadangan mesin induk yang belum sernpat dipakai. Onderdil itupun kemudian lenyap dari gudang Berdikari dan diam-diam dijual kepada PT Surya dengan harga Rp 10 juta. Adapun pencarteran KM Ampera II dan III kepada PT Surya, pernah diprotes oleh awak kapalnya sendiri melalui DPRD Maluku di tahun 1976. Tapi lantaran perbedaan pendapat dalam DPRD - ada yang membela Bob Achmad, tapi ada juga yang membela para awak kapal, isyu itu kandas di tengah jalan. Padahal protes awak kapal dapat dimengerti, melihat eksploitasi kedua kapal itu secara kelewatan oleh pencarternya. Juni 1976 misalnya, Ampera II hampir tenggelam di perairan pulau Butung, Sulawesi Tenggara lantaran muatan yang kelewat batas. Namun kembali lagi awak kapal yang disalahkan, dan mereka diturunkan di Ternate, Maluku Utara. Nasib Ampera III, tak kalah konyolnya. Tahun 1976, kapai itu dinyatakan tak layak laut lagi oleh Biro Klasifikasi Industri (BKI) karena dalam keadaan jangkar macet, kapal itu dipaksa berlayar terus di Selat Madura. Ketika awak kapal protes dan melapor ke Syahbandar Ambon, ada yang diberhentikan dan ada yang dirumahkan. Toh eksploitasi kedua kapal itu masih diteruskan juga. Sampai Syahbandar Ambon sendiri turun tangan dan diberi teguran keras. Itu sebabnya, DPRD Maluku yang bersidang di gedungnya yang baru (warisan Gubernur Sumeru dulu), merasa perlu melemparkan ban pelampung. Tapi apakah gubernur baru, brigjen Hasan Slamet mau menerima lemparan DPRD itu dan turuntangan sendiri menyelamatkan perusahaan-perusahaan daerah yang sedang sekarat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus