Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil kajian Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) soal kondisi Sungai Brantas di Jawa Timur menemukan adanya peningkatan suhu air sungai dari 1994-2024. Dampaknya, ada peningkatan suhu air suhu yang bisa menyebabkan punahnya plankton dan ikan. Perlu penegakan hukum bagi industri pencemar dan masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat sampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Buangan limbah cair tak terkendali dari Industri dan pemukiman warga menyebabkan penurunan kualitas air sungai Brantas, polutan limbah cair menyebabkan peningkatan 10 kali lipat sumbangan emisi gas rumah kaca dari sungai ke atmosfer yang menyebabkan bumi makin panas. Pemanasan bumi ini menyebabkan suhu air meningkat pada gilirannya mendorong kepunahan biota dalam air sungai," kata peneliti Ecoton, Tasya Husna dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 5 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada empat temuan dari hasil analisis Ecoton. Pertama, kualitas air Sungai Brantas melebihi baku mutu berdasarkan PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Pembuangan limbah dari berbagai industri dan aktivitas manusia di sekitar sungai yang menyumbang kandungan karbon (C) dan Nitrogen (N) dalam limbah menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam membentuk gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas metana, dan dinitrogen oksida," ungkap Tasya.
Kedua, peningkatan suhu air sungai Brantas. Sejak 2020 suhu air sungai Brantas mencapai titik terpanas, yaitu 340C pada 2024 dan 31,570C pada 2022. Padahal pada periode 1994-2004 suhu terpanasnya 29.60C dan periode 2007-2013 suhu terpanasnya 29.450C. "Kenaikan suhu di air sungai akan mengakibatkan penurunan pH air atau menyebabkan air semakin asam dan penurunan kadar oksigen terlarut dalam air yang mengakibatkan matinya plankton-plankton sensitif yang pada gilirannya mendorong percepatan kepunahan ikan air tawar," tambah Tasya.
Ketiga, dominasi plankton yang toleran pencemaran. Ecoton menemukan lebih banyak jenis fitoplankton dalam Sungai Brantas Area Gresik dan Surabaya daripada zooplankton. Sebanyak 79,42% plankton yang hidup di sungai tersebut merupakan jenis plankton yang tahan polutan tinggi seperti Eunotia sp., Fragilaria sp. dan Oscillatoria sp. Padahal, jika terlalu banyak fitoplankton, air menjadi keruh dan mempercepat terjadinya blooming algae.
Keempat, dampak dari dominasi plankton yang toleran terhadap pencemaran. Ini artinya terjadi penurunan jumlah plankton yang sensitif dan berkurangnya jumlah plankton secara keseluruhan. Keberlangsungan hidup plankton toleran pencemaran juga akan terancam bila pencemaran terus terjadi dan meningkat. Padahal, plankton merupakan sumber makanan utama bagi banyak organisme akuatik, seperti ikan kecil, krustasea, dan cumi-cumi. Jika plankton hilang, maka organisme-organisme ini akan kehilangan sumber makanannya dan populasinya akan menurun.
Prigi Arisadi, ketua peneliti dan pendiri Yayasan Ecoton mengatakan, gangguan pada rantai makanan akibat hilangnya plankton dapat mempengaruhi sumber daya makanan manusia. Ikan dan makanan laut lainnya yang dikonsumsi manusia bergantung pada plankton sebagai sumber makanan. "Data tahun 2019 mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki nomor 2 kepunahan ikan tertinggi setelah Filipina. Hal ini salah satunya diakibatkan karena berkurangnya makanan ikan, yaitu plankton," kata Prigi.
Ecoton meminta masyarakat meningkatkan kepedulian terhadap sungai. Pemerintah diminta memberi sanksi kepada perusahaan yang membuang limbah ke sungai. “Agar kualitas sungai tetap terjaga sekaligus mengurangi sumbangan gas yang menyebabkan perubahan iklim di bumi,” tambah Tasya Husna.
HANAA SEPTIANA