Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Survei: Mayoritas Publik Setuju Pilkada Ditunda

Masyarakat menilai pilkada serentak sangat rawan terhadap penyebaran virus corona.

26 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil sigi Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan 50,2 persen responden menilai pilkada 2020 harus ditunda.

  • Sedangkan 43,4 persen publik menilai pilkada 2020 mesti tetap digelar pada Desember 2020.

  • Masyarakat menilai pilkada serentak sangat rawan terhadap penyebaran virus corona.

JAKARTA -- Hasil sigi Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan 50,2 persen responden menilai pemilihan kepala daerah 2020 harus ditunda. Sedangkan 43,4 persen publik menilai pilkada 2020 mesti tetap digelar pada Desember 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menjelaskan, responden yang setuju  pilkada 2020 harus ditunda karena wabah Covid-19 belum terkendali. "Yang memilih tidak ditunda dan tetap diselenggarakan sesuai dengan jadwal karena menilai kita tidak tahu kapan virus corona berakhir," ujar Burhanudin dalam konferensi pers virtual, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil sigi Indikator juga menunjukkan, seandainya pilkada serentak tetap diselenggarakan pada Desember mendatang, potensi partisipasi juga tampak rendah. Hanya sekitar 43,9 persen responden yang berada di wilayah yang akan melaksanakan pilkada serentak pada Desember mendatang, menyatakan besar atau sangat besar kemungkinannya datang ke TPS. "Ini terutama karena mayoritas publik menilai bahwa penyelenggaraan pilkada serentak sangat rawan terhadap penyebaran virus corona," ujar Burhanuddin.

Survei tersebut dilakukan pada 24 September hingga 30 September 2020 dengan menggunakan panggilan telepon karena pandemi Covid-19. Metode yang digunakan adalah simple random sampling dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak berdasarkan data survei tatap muka langsung sebelumnya pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.

Adapun margin of error sekitar 12,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Sampel berasal dari seluruh provinsi di Indonesia yang terdistribusi secara proporsional.

Penundaan pilkada juga disuarakan banyak kalangan sebelumnya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), misalnya, merekomendasikan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah 2020 ditunda. FKUI meminta adanya pertimbangan terhadap keselamatan masyarakat, para calon, serta para penyelenggara pemilu.

Telaah dan rekomendasi itu telah dibuat pada 1 Oktober lalu dan disosialisasi kembali pada Jumat, 9 Oktober lalu, atau sehari setelah bangsa Indonesia menyaksikan peristiwa demonstrasi massa yang besar di banyak daerah terkait dengan UU Cipta Kerja. "Apakah pilkada 2020 dapat terlaksana dengan tetap mengikuti protokol kesehatan?" demikian bunyi pertanyaan yang disertakan dalam pernyataan tersebut.

FKUI mendorong dicarikan inovasi lain jika pilkada serentak 9 Desember mendatang memang tak terhindarkan. Alternatif metode yang dapat dilakukan untuk mengedepankan keselamatan adalah rangkaian pelaksanaan yang sepenuhnya daring, melalui acara televisi, atau memanfaatkan media sosial. "Sehingga menghilangkan potensi terjadinya kerumunan massa," demikian bunyi pernyataan FKUI.

Telaah dan rekomendasi yang juga dimuat dalam situs web FKUI tersebut berharap kepada pemerintah agar melakukan evaluasi ulang secara menyeluruh tentang pelaksanaan pilkada 2020. Tujuannya adalah mencegah terjadinya lonjakan masif jumlah kasus positif Covid-19.

FKUI dalam telaah dan rekomendasinya itu juga berkaca pada banyaknya pelanggaran yang sudah terjadi terhadap protokol kesehatan yang sudah ditetapkan dalam masa pendaftaran pada 4-6 September lalu. Mereka cemas masyarakat nanti menjadi korban.

Harapan yang sama disuarakan Ketua Satgas Covid-19 di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Profesor Zubairi Djoerban, Kamis, 8 Oktober lalu. "Pekerjaan rumah ke depan ialah pilkada. Jadi, pelajaran yang sudah berlalu ini supaya menjadikan kita lebih cerdas," katanya.

Selain demonstrasi di Tanah Air menolak UU Cipta Kerja, demonstrasi massa dalam jumlah besar yang mengabaikan kepedulian terhadap bahaya penularan Covid-19, menurut Zubairi, terjadi di Amerika Serikat setelah kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd.

Menurut Zubairi, pemerintah seharusnya mengantisipasi munculnya kluster-kluster baru penularan Covid-19 dengan menunda kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerumunan orang banyak. Profesor ini juga mengimbau seluruh lapisan masyarakat agar menghindari atau meniadakan suatu kegiatan yang mengumpulkan orang banyak. "Saya mohon sekali untuk alasan apa pun, baik demo, pengajian, gereja, sekolah, maupun konser musik agar ditiadakan dulu," kata dia.

DEWI NURITA | ZACHARIAS WURAGIL


Berpotensi Suburkan Politik Uang

Guru besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Prof Dr Eko Prasojo, mengatakan pilkada 2020 pada masa pandemi Covid-19 berpotensi melahirkan money politics (politik uang) secara terselubung. Ia menilai hal itu muncul karena ada kebutuhan ekonomi rakyat yang terkena dampak pandemi. "Pilkada di tengah pandemi Covid-19 juga dapat berpotensi memberikan dampak, di antaranya pada minimnya kualitas interaksi calon dan masyarakat," kata Eko.

Selain itu, pilkada 2020 pada Desember mendatang akan menjadi ritualitas demokrasi atau prosedural semata dan tidak terjadi konsolidasi demokrasi lokal. Eko melihat ada hal dilematis jika pilkada tidak dilaksanakan. Ia mengatakan penundaan pilkada akan berdampak pada pejabat sementara kepala daerah yang tidak dapat membuat keputusan strategis, seperti pemakaian dana negara dan terjadi penundaan berbagai program pembangunan.

Meski demikian, ada opsi lain, yakni pilkada tidak langsung oleh DPRD. Pilkada 2020 yang dilakukan tidak langsung melalui DPRD sangat dimungkinkan berdasarkan Pasal 18 UUD 1945. "Pilkada oleh DPRD juga tetap berpotensi money politics oleh politikus dan pengusaha. Serta perlu melakukan perubahan UU Pilkada atau melalui perpu yang membutuhkan waktu,” ujar Eko.

Guru besar FISIP UI, Prof Dr Valina Singka Subekti, mengatakan pilkada serentak sangat kompleks, rumit, dan berbiaya mahal. Menurut dia, pilkada identik dengan kerumunan yang melibatkan banyak orang.

Valina membuka opsi untuk menunda pilkada 2020 secara keseluruhan atau parsial. Menurut dia, selama melakukan penundaan, dapat dilakukan upaya pengendalian Covid-19, menyiapkan dasar hukum yang lebih kuat, dan inovasi pengaturan perpanjangan waktu untuk pemungutan suara.

Inovasi lain yang bisa disiapkan ialah perhitungan rekapitulasi suara secara elektronik, pemungutan suara via pos, kotak suara keliling, serta inovasi skema sanksi pelanggaran secara tegas dan menimbulkan efek jera. "Peran KPU sangat penting dalam pelaksanaan pilkada. Pelaksanaan pilkada perlu sangat berhati-hati, sehat, dan aman jiwa. Untuk itu, perlu dilakukan mitigasi risiko," ujar Valina.

ADITYA BUDIMAN | ANT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus