Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Sleman - Seorang difabel daksa, Irvantoro, 21 tahun, sedang belajar menyajikan kopi latte dengan aneka latte art yang cantik di bagian atas cangkir. Dia belajar membuat latte art dengan tampilan gambar hati atau love, bunga tulip, atau angsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sayangnya, sampai 10 kali berlatih, gambar love dari latte art yang dibuatnya belum memuaskan. "Padahal membuat lukisan love itu yang paling dasar," kata Irvantoro di aula Pusat Rehabilitasi Yakkum, Sleman, Jumat, 26 April 2019. Dia mengaku kesulitan membuat foam atau busa dari susu yang dikocok.
Selain butuh keterampilan ekstra, dia berpikir bagaimana cara membuat busa atau foam tanpa susu karena harga susu cukup mahal. "Supaya hemat, saya lebih sering berlatih kopi latte art dengan menggunakan busa sabun," ucap Irvan sambil tertawa.
Tantangan lain yang belum bisa dikuasai adalah membuat kopi espresso dengan menggunakan mesin. Dan mungkin tak banyak yang memperhatikan bagaimana upaya Irvantoro ketika beraksi di depan meja latihan dalam workshop mini itu.
Ivantoro yang tampil trendi dengan potongan rambut ala mohawk, ini berusaha berdiri di atas kursi roda dengan menyandarkan bokongnya pada sandaran punggung. Sebabnya, meja barista terlalu tinggi untuk kursi rodanya. "Meja barista ketinggian. Perlu ada meja yang disesuaikan dengan kami yang menggunakan kursi roda."
Para barista inklusif yang bekerja di Cupable Coffee mengikuti mini workshop meracik kopi yang diadakan Pusat Rehabilitasi Yakkum bersama Starbucks Coffee, Jumat, 26 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Di acara mini workshop meracik kopi yang digelar Pusat Rehabilitaasi Yakkum dan Starbucks Coffee, Irvantoro bersama lima barista inklusif menunjukkan kepiawaian mereka dalam membuat kopi. Irvantoro paling suka menggunakan alat seduh V-60. "Karena V-60 bisa bikin rasa kopi yang diinginkan. Mau asam, manis, atau pahit," kata dia.
Adapun rekannya yang juga sehari-hari bekerja menyeduh kopi di Kafe Cupable Coffee -sebuah kafe barista inklusif dari Yakkum, Wahyu Mulad Widodo lebih suka menggunakan Vietnam Drip. Ada pula Hasta Wijaya Hutapea, 21 tahun, yang cenderung ke kopi tubruk. "Kopi tubruk lebih simpel," kata Hasta.
Mereka baru belajar cara menyeduh kopi dengan manual brew melalui pelatihan pada Januari sampai Maret 2019. Mereka termotivasi menjalani pelatihan karena sama-sama suka minum kopi. "Sejak kecil saya suka minum kopi. Meski awalnya kopi instan," kata Irvantoro menceritakan kisahnya.
Barista inklusif dari Cupable Coffee sedang berbincang menjelang praktik meracik kopi dalam mini workshop kerja sama Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Starbucks Coffee, Jumat, 26 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Ketika memasuki dunia barista, dia mulai mengenal kopi original. Untuk menyeduhnya, harus berjuang mengolah mulai dari menggiling hingga menuangkan ke dalam gelas. Bukan lagi menyobek bungkus kopi lalu tinggal diseduh dengan air panas.
Asisten Manager Starbucks Coffee di Yogyakarta, Riccardo Reza menilai kopi racikan para barista inklusif tak mengecewakan. "Kopinya enak. Meski ada yang baru latihan beberapa bulan, mereka sudah memahmi cara menyeduh kopi," kata Riccardo.
Artikel terkait: Mikael Jasin, Barista yang Wakili Indonesia di Tingkat Dunia