Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temanggung, telah melakukan tindak pidana korupsi. KPK menuduh Syafruddin memperkaya diri sendiri dan Sjamsul Nursalim hingga Rp 4,5 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Berdasarkan audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2017, tindakan ini merugikan negara Rp 4,8 triliun," kata jaksa KPK, Haerudin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dakwaan, KPK mempersoalkan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikeluarkan Syafruddin dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorojatun Kuntjoro Jakti kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan Itjih S. Nursalim, pada 2004.
Bank Indonesia mengucurkan dana sekitar Rp 574 triliun untuk menyelamatkan 48 bank sekarat pada kurun 1997-1998. Salah satunya adalah BDNI, yang menerima dana talangan hingga Rp 30,9 triliun. Sjamsul telah membayar sebesar Rp 28,49 triliun dengan menyerahkan aset perusahaan. Sisanya dia bayar dengan menyerahkan aset BDNI dan uang tunai Rp 1,3 triliun kepada BPPN. Tapi masih ada tunggakan utang Rp 4,8 triliun.
Pada April 2004, Sjamsul mendapatkan SKL dari BPPN, yang ditandatangani oleh Syafruddin. Sjamsul dianggap telah melunasi utangnya yang sebesar Rp 4,8 triliun dengan menyerahkan hak tagih atas petani tambak udang bumi Dipasena Utama, di Tulang Bawang, Lampung.
Sebelum penerbitan SKL itu, BPPN merestrukturisasi utang Sjamsul. Restrukturisasi itu membuat utang Sjamsul terklasifikasi menjadi dua. Sebesar Rp 1,1 triliun dianggap sustainable (dapat dicairkan), sedangkan Rp 3,7 triliun unsustainable (tidak dapat dicairkan). Seharusnya, karena ada utang yang tidak bisa cair, SKL tak bisa diterbitkan.
Namun Syafruddin tidak melaporkan nilai aset Sjamsul yang unsustainable ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Pelunasan dengan tagihan piutang memang dibenarkan selama aset tidak macet. Hal ini membuat KKSK menyetujui terbitnya SKL. "Telah menyalahgunakan kewenangan sebagai pejabat BPPN dengan melakukan penghapusan piutang BDNI," kata Haerudin.
Syafruddin mengatakan dirinya tetap menolak dakwaan jaksa KPK. Dia berkukuh hanya menjalankan tugasnya sebagai Kepala BPPN yang mendapat tugas dan instruksi sesuai dengan arahan KKSK. Dia mengklaim SKL kepada Nursalim adalah keputusan KKSK. "Kami akan siapkan eksepsi dalam tiga hari ini," ujar dia.
Sebelumnya, kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, juga membantah keterlibatan kliennya dalam kasus korupsi BLBI. Dia menilai Sjamsul telah menerima surat pembebasan dan pelepasan dari utang dana BLBI yang resmi. Pada 2004, menurut dia, KKSK telah merestrukturisasi utang petani tambak menjadi Rp 1,1 triliun dan sisa utang senilai Rp 3,7 triliun dihapuskan. "Itu hasil keputusan pemerintah. Jadi, bukan kewajiban klien kami," kata dia. TAUFIQ SIDDIQ | FRANSISCO ROSARIANS
Terus Dikejar
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tak hanya mengalir kepada bos Bank Dagang Negara Indonesia, Sjamsul Nursalim, yang surat keterangan lunas (SKL)-nya dipermasalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bank Indonesia mengucurkan dana sekitar Rp 574 triliun untuk menyelamatkan 48 bank sekarat pada 1997-1998. KPK mulai menelusuri setiap proses pelunasan yang dilakukan para obligor BLBI.
Penanganan Kasus di KPK
- KPK membentuk empat tim untuk mengkaji penanganan BLBI pada 22 Oktober 2008.
- KPK menyelidiki pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada para pengutang pada April 2013.
- Kerugian negara Rp 4,58 triliun.
- Pada 25 April 2017, KPK menetapkan Syafruddin Temenggung sebagai tersangka.
- Beberapa saksi yang dihadirkan berasal dari kalangan swasta dan pejabat negara.
Daftar Penerima SKL:
- Sjamsul Nursalim - Rp 30,9 triliun
- Salim Group - Rp 26,6 triliun
- Mohammad Hasan - Rp 5,34 triliun
- Sudwikatmono - Rp 1,9 triliun
- Ibrahim Risjad - Rp 664 miliar
- Husodo Subroto - Rp 209,2 miliar
- Siti Hardijanti - Rp 156 miliar
- The Tjee Min - Rp 140 miliar
- Hongko Wendratmo, Njoo Kok Siong, dan Hasjim Djojohadikusumo - Rp 108,4 miliar
- Suparno Adjianto - Rp 50,4 miliar
- Philip Widjaya - Rp 50 miliar
SUMBER DIOLAH TEMPO | FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo