Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tantangan Difabel Saat Travelling, Mulai dari Toilet sampai Stigma Orang Sakit

Program Officer Disability Right Fund dan Disability Right Advocacy Fund, Dwi Aryanti menyampaikan aksesibilitas difabel saat travelling.

21 Agustus 2021 | 18.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Dwi Aryanti menjelajah ke berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara untuk mengetahui bagaimana aksesibilitas wisata untuk penyandang disabilitas. Dari berbagai perjalanan yang telah dijalani, pengguna kursi roda ini menyatakan aksesibilitas bagi difabel belum cukup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Yang pling sulit ketika ke toilet. Tak semua toilet ramah bagi difabel," kata Dwi saat mengisahkan pengalamannya dalam diskusi daring #Disabilitasmerdekabergerak2021 yang diadakan United Cerebral Palsy (UCP) Roda untuk Kemanusiaan pada Selasa, 17 Agustus 2021. Kesulitan yang dia rasakan antara lain jalan menuju toilet yang tinggi tanpa dilengkapi ramp atau toilet yang tak cukup lebar untuk manuver kursi roda. Sebab itu, Dwi selalu membawa kursi plastik kecil untuk berpindah dari kursi roda di toilet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama bepergian, suami turut mendampingi Dwi Aryanti yang bekerja sebagai Program Officer Disability Right Fund (DRF) dan Disability Right Advocacy Fund (DRAF) ini. Minimnya akses untuk difabel tak hanya dijumpai di destinasi wisata, melainkan juga stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU yang acapkali menjadi jujugan pengendara untuk beristirahat sejenak.

Kendala-kendala tersebut tak membuat Dwi maklum. Dalam setiap kesempatan berwisata, Dwi juga mengedukasi orang-orang di sekitar dan pengelola destinasi wisata atau fasilitas umum tentang kebutuhan penyandang disabilitas. Dia mengedukasi untuk memberi pemahaman tentang difabel dan hak-haknya.

Memberikan edukasi melalui dialog adalah langkah pertama agar tersedia tempat atau layanan yang terakses bagi difabel. "Seperti di toilet umum, saya sampaikan pengguna layanan ini juga orang-orang yang butuh fasilitas khusus seperti kami," kata Dwi.

Program Officer Disability Right Fund (DRF) dan Disability Right Advocacy Fund (DRAF), Dwi Aryanti saat webinar #Disabilitasmerdekabergerak2021 yang diadakan United Cerebral Palsy (UCP) Roda untuk Kemanusiaan pada Selasa, 17 Agustus 2021. FotoTEMPO | Pito Agustin Rudiana

Begitu juga ketika dia mengikuti tur di Afrika untuk pertama kali. Di sana, wisatawan naik mobil khusus untuk masuk ke hutan. Dwi adalah satu-satunya wisatawan yang menggunakan kursi roda. Penyedia jasa wisata kemudian menyesuaikan kendaraan mereka supaya ada ruang untuk kursi roda. "Saya berdialog dengan mereka, memberikan masukan seperti apa mobil yang nyaman untuk pengguna kursi roda," ucap Dwi.

Menyampaikan apa yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas di fasilitas umum, menurut dia, tidak selamanya berjalan mulus. Tak jarang edukasi itu justru berujung debat. "Kami mesti punya dasar dan data yang kuat dan kami harus kuat berdebat untuk mengedukasi," kata Dwi.

Contoh saat dia harus menandatangani lembar surat persetujuan tiap kali akan naik pesawat. Dalam surat itu, difabel disetarakan sebagai orang yang sakit. Aktivis difabel yang sering berkeliling Indonesia dengan sepeda motor roda tiga, Sri Lestari juga pernah memprotes surat itu. "Saya difabel, bukan orang sakit," kata Sri yang menjadi moderator dalam diskusi itu.

Dewi tak sekadar membubuhkan tanda tangan, tetapi kerap memberikan banyak catatan dalam lembar yang disebutnya 'surat cinta' dari maskapai penerbangan itu. Menurut dia, perlu undang-undang yang memastikan penyandang disabilitas bisa terbang tanpa harus menandatangani surat itu.

Dwi Aryanti punya pengalaman mengalami diskriminasi ketika akan terbang dengan maskapai Etihad Airways dari Abu Dhabi pada 2016. Tiba-tiba Dwi diturunkan dari pesawat secara paksa dengan alasan melakukan penerbangan tanpa pendampingan. Atas perlakuan diskriminasi terhadap difabel, Dwi menggugat maskpai tersebut dan memenangkan gugatan pada 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pihak maskapai harus membayar ganti rugi sebesar Rp 537 juta.

Dalam memberikan edukasi kepada pengelola destinasi wisata atau fasilitas publik, Dwi juga mengenalkan alat bantu yang digunakan difabel, semisal kruk atau kursi roda. Ketika berkunjung ke warung atau rumah makan, Dwi acapkali berbagi ilmu kepada pekerja di sana tentang cara membantu pengguna kursi roda saat hendak naik tangga.

Begitu juga ketika Dwi naik taksi online. Dia akan mengajari sopir taksi tentang cara melipat dan membuka kursi roda. Termasuk saat memindahkan tubuh pengguna kursi roda, dari kursi roda ke jok mobil, dan sebaliknya. "Jangan menyerah. Meski di atas kursi roda, bukan berarti tidak bisa bergerak," kata Dwi memberi semangat.

Baca juga:
Penyandang Disabilitas Mengikuti Upacara Virtual 17 Agustus di Istana Negara

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus