Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ombudsman menilai pemerintah abai memenuhi hak dan status kepemilikan lahan warga Rempang.
Empat desa menjadi tahap awal untuk direlokasi.
Warga berkukuh menolak relokasi.
JAKARTA – Ombudsman menemukan potensi maladministrasi dalam rencana relokasi warga kampung tua di Pulau Rempang sebagai dampak proyek strategis nasional (PSN). Lembaga pengawas pelayanan publik ini menilai pemerintah abai memenuhi hak dan status kepemilikan lahan warga yang telah menempatinya sejak 5-6 generasi lalu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerintah daerah pada 2004 berencana membuat pendaftaran sertifikat hak tanah warga di Kampung Tua, tapi tidak tuntas. Rencana itu berhenti hingga akhirnya terjadi peristiwa bentrok beberapa waktu lalu," ujar anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro, saat dihubungi pada Rabu, 20 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Johanes menjelaskan, tim Ombudsman, setelah insiden kericuhan pada 7 September lalu, menyambangi dan meminta keterangan secara langsung kepada mereka yang terkena dampak proyek di Rempang. Tim juga melakukan pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan kampung tua dengan merujuk pada Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam. Dari pemeriksaan tersebut, Ombudsman menemukan adanya potensi maladministrasi oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) serta Pemerintah Kota Batam dalam merelokasi warga.
Pulau Rempang bakal dijadikan kawasan perpaduan industri, perdagangan, dan wisata dengan nama Rempang Eco-City. Pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 ribu hektare itu bakal digarap PT Makmur Elok Graha (MEG). BP Batam ditunjuk untuk mengawal realisasi investasi PSN itu dengan target investasi Rp 381 trilliun pada 2080. Proyek Rempang Eco-City diatur dalam Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 174 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment) di Kawasan Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Proyek ini bakal merelokasi penduduk Pulau Rempang yang sebanyak 10 ribu jiwa. Penduduk yang berasal dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat ini mendiami 16 kampung adat sejak 1834. Upaya relokasi tidak mulus lantaran tak semua masyarakat bersedia meninggalkan kampung yang didiami sejak ratusan tahun itu. Dampak penolakan tersebut adalah kericuhan yang berujung bentrok antara warga dan aparat pada 7 dan 11 September lalu. Pemerintah menargetkan tenggat relokasi pada 28 September mendatang.
Nelayan beraktivitas di rumahnya di perkampungan nelayan Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 17 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Terdapat 16 kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang. Kampung-kampung tersebut adalah Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru, dan Tanjung Pengapit.
Ombudsman memperoleh informasi bahwa BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektare. Lahan itulah yang bakal dikembangkan dengan nama Rempang Eco Park Pulau Rempang. Rencana pencadangan alokasi lahan tersebut, menurut Johanes, tidak sesuai dengan ketentuan. Sebab, sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) belum dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional kepada BP Batam.
Johanes menjelaskan, penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Salah satu mekanismenya adalah tidak ada penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan atau clear and clean. "Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang, relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum," ujarnya.
Johanes menegaskan, tanpa adanya penerbitan sertifikat HPL oleh Kementerian Agraria, upaya pemerintah merelokasi warga menjadi tidak berkekuatan hukum. Kementerian sempat menyatakan masyarakat di kampung tua, Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki hak atas kepemilikan tanah. Namun masyarakat di kampung itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Keberadaan warga juga diakui pemerintah daerah setempat lewat Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004.
Sana-Sini Berpotensi Maladministrasi
Setelah temuan maladministrasi dalam relokasi warga Rempang, Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang, serta para pihak yang berhubungan dengan masalah ini. Ombudsman selanjutnya akan menerbitkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) berupa tindakan korektif untuk dilaksanakan pihak terlapor, yakni pemerintah setempat.
"Proyek strategis nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Karena itu, Ombudsman akan memeriksa apakah pembangunan Rempang Eco-City sudah dilakukan sesuai dengan aturan tersebut atau tidak," ujar Johanes, seperti dilansir dari laman https://ombudsman.go.id/news.
Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang. Hal yang bakal ditelusuri adalah dugaan unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun-temurun ditempati.
Tahap Awal Relokasi 4 Desa
Dihubungi secara terpisah, Deputi Pengendalian Pelaksana Penanaman Modal Kementerian Investasi, Yuliot, mengakui bahwa proyek Rempang Eco-City belum mengantongi sertifikat HPL. "Lagi berproses untuk HPL. Sekarang baru ada surat keputusan untuk 570 hektare. Setelah itu, ada pelepasan terhadap 7.500 hektare yang akan diserahkan ke BP Batam," ujarnya.
Yuliot mengatakan imbas berbagai penolakan warga Rempang atas relokasi adalah pemerintah memutuskan warga yang tinggal di desa Rempang Cate, Tebing Tinggi, Sembulang, dan Dapur Enam akan direlokasi ke tempat yang masih termasuk kawasan Rempang, yakni Tanjung Banun.
Relokasi nantinya dilakukan secara bertahap. "Kami mempertimbangkan keinginan masyarakat," katanya. Yuliot mengklaim, setelah dua kali pertemuan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dengan warga Rempang pada Ahad dan Senin lalu, warga yang akan direlokasi adalah warga di empat desa. "Mereka akan direlokasi ke tempat yang masih di dalam kepulauan Rempang," ucapnya.
Ia menyebutkan warga telah sepakat direlokasi. Kesepakatan itu bahkan telah ditandatangani perwakilan tokoh dan warga kampung tua di Rempang saat kunjungan Menteri Bahlil. Selain melakukan relokasi, Yuliot melanjutkan, pemerintah akan mengganti lahan masyarakat dengan luas 500 meter dan bangunan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta. Warga juga mendapat kompensasi aset dan uang tunggu Rp 1,2 juta per keluarga untuk sewa selama rumah di lokasi baru belum ada.
Pemerintah setempat menyebutkan warga akan direlokasi ke wilayah seluas 450 hektare. Warga juga dijanjikan mendapat fasilitas lengkap, baik sarana dan prasarananya. Mereka juga dijanjikan fasilitas pendidikan, rumah ibadah, dan infrastruktur jalan.
Warga menonton video aksi kekerasan aparat dalam peristiwa Rempang saat aksi Solidaritas dan Doa Bersama untuk Rempang di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, 15 September 2023. TEMPO/Subekti
Sarina, warga Sijantung, membantah klaim bahwa ada kesepakatan dengan warga setelah pertemuan dengan Menteri Bahlil. Dia mengatakan, saat berkunjung ke Desa Pantai Melayu, Bahlil hanya menjelaskan program-program dan investasi proyek Rempang Eco-City.
Sarina menegaskan, Bahlil tidak mau mendengarkan aspirasi warga yang berkukuh menolak relokasi. "Pak Bahlil tidak mau mendengarkan warga. Pertemuan hanya menjadi obrolan sepihak. Warga kecewa," ujarnya.
Sarina menyatakan dirinya memang bukan bagian dari warga yang terkena dampak relokasi. Sebab, Desa Sijantung bukan bagian dari empat desa yang akan direlokasi pada tahap awal. Meski begitu, kata dia, keluarga besarnya tinggal di empat desa yang bakal direlokasi itu.
Empat kampung di Pulau Rempang bakal dikosongkan. Keempat desa yang menjadi prioritas tahap pertama Rempang Eco-City itu adalah Kampung Sembulan Tanjung, Sembulang Hulu, Pasir Panjang, dan Blonkeng. Kemudian disusul 12 desa lainnya secara bertahap.
Di Kampung Sembulan Tanjung, Sembulang Hulu, dan Pasir Panjang akan dibangun pabrik kaca seluas 2.000 hektare. Pemerintah setempat akan merelokasi warga karena industri kaca untuk panel surya ini berbahan baku pasir kuarsa dan silika sehingga menimbulkan polusi. Kesehatan masyarakat akan terkena dampak sehingga tidak direkomendasikan tinggal di kawasan tersebut. Adapun di Blongkeng akan dibangun tower Rempang Eco-City.
Menanggapi kekisruhan lahan di Rempang, pengamat agraria dari Indonesia Human Right Committee for Social Justice, Gunawan, menilai warga telah menguasai kawasan Rempang secara turun-temurun. Menurut dia, meski sebagian besar lahan warga tidak bersertifikat, bukan berarti mereka tidak punya hak atas tanah yang ditempati selama berpuluh-puluh tahun.
Pemerintah menganggap tanah di Kepulauan Riau masuk kekuasaan negara karena tidak ada bukti kepemilikan hak atas tanah dari masyarakat. Gunawan menilai dasar penguasaan lahan inilah yang membuat pemerintah merasa punya kuasa untuk merelokasi warga.
Ihwal surat keputusan HPL yang diklaim BP Batam, Gunawan mempertanyakannya. "Apakah HPL yang dimaksudkan adalah kawasan yang ditinggali masyarakat di kampung tua Rempang? Jika iya, hal yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat pernah menyerahkan hak atas tanahnya? Jika tidak, tindakan itu tidak sah," ujarnya.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo