Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tentera Simpanan Sedia Berperang

Askar Wataniah lincah menggunakan semua jenis senjata ringan. Tiap akhir tahun berlatih di dekat perbatasan Indonesia.

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUH membasuh tubuh Kaklaka. Sisa debu dan remah menempel di leher dan pakaian lelaki 48 tahun itu. Kaklaka itu cuma nama panggilan. Anggota Askar Wataniah Malaysia ini asli suku Dayak. Kakek-neneknya orang Indonesia. Ia tinggal di wilayah Serian, Sarawak.

Rambutnya cepak, tubuhnya dempak. Seusai lohor siang itu, Kaklaka menyeruput kopi, menyegarkan badan setelah bekerja sejak pagi. Ia buruh di perusahaan bongkar-muat barang.

Kaklaka masuk Askar Wataniyah pada 1987. Tiga tahun lagi, ia sudah tak bisa memperpanjang kontrak: pada saat itu usianya pas 50 tahun. Untuk pendaftar awal, syarat usia 18 hingga 25 tahun. Minimal tamat sekolah dasar. Tinggi paling tidak 157 cm. Kaklaka tingginya 163 cm, jadi selamatlah dia.

Dulu, ketika mendaftar, ia harus menyertakan ijazah terakhir dan ”surat beranak”—maksudnya akta kelahiran. Tentu ia harus warga negara Malaysia. Pendaftaran Askar Wataniah diumumkan pemerintah dan dibuka menurut kebutuhan. ”Ada masanya tiga tahun sekali, bisa juga sebelum tiga tahun,” kata Kaklaka kepada Tempo, Senin dua pekan lalu.

Askar Wataniah dilatih oleh instruktur Tentara Diraja Malaysia satu bulan. Materi pertama yang harus dikuasai—biasa—baris-berbaris. Latihan fisik saban hari, termasuk latihan bela diri. Wataniah juga dilatih menggunakan senjata ringan, di antaranya senapan M-16 buatan Amerika, AK-47 buatan Rusia—dan melontar granat. Diajarkan pula strategi perang antarnegara.

Setelah itu, Askar Wataniah wajib mengikuti kursus kepangkatan sebulan lamanya. Pangkat tergantung tingkat pendidikan: makin tinggi ijazah, kian mulia pula pangkat. Setelah itu barulah menandatangani kontrak untuk jangka waktu lima tahun, dan bisa diperpanjang. Jika ingin berhenti, anggota Askar Wataniah harus meneken kontrak lagi.

Anggota Askar Wataniah, kata Kaklaka, mendapat prioritas untuk masuk Tentara Diraja Malaysia. Syaratnya, fisik bagus dan otak encer. Gaji anggota Askar Wataniah 4 ringgit (1 ringgit Rp 2.800) per jam. Jika sehari berlatih 8 jam, misalnya, dapatlah upah hari itu 32 ringgit. Jika tak ada kegiatan, tak ada pula gaji. Karena itu umumnya anggota Askar Wataniah punya pekerjaan lain, misalnya buruh atau peladang. Ada juga anggota Askar yang masih kuliah.

Kenaikan gaji anggota Askar bersepadan dengan kenaikan gaji pegawai pemerintah. Selain bergaji per jam, Askar Wataniah mendapat uang transportasi sesuai dengan jarak dari rumah ke tempat latihan. Kaklaka, lulusan Sekolah Rendah China di Serian, mendapat uang transportasi 50 ringgit. Ia tinggal di rumah berdinding batako seluas 40 meter persegi.

Dalam sebulan mereka berlatih tiga hari, biasanya pas hari libur. Latihan di hutan tiga kali dalam setahun. Di mana hutan tempat berlatih itu, Kaklaka tak sudi angkat bicara. ”Itu rahasia,” katanya, dengan wajah diserius-seriuskan. ”Kami ada sumpah.” Tapi, sumber lain membisikkan, latihan itu di hutan dekat perbatasan dengan Indonesia.

Latihan pertama di hutan biasanya digelar sepekan, pada awal tahun. Latihan kedua pada tengah tahun, dan latihan ketiga di ujung tahun, selama dua pekan. Semua latihan tentang bela negara, termasuklah latihan berperang. ”Pada masa diperlukan berperang, tentera simpanan (cadangan) telah sedia,” kata Kaklaka.

Menurut dia, latihan disimulasikan berperang antarnegara. Karena dekat perbatasan dengan Indonesia, diandaikanlah bahwa musuh datang dari Indonesia. Pada masa tertentu, Askar Wataniah berlatih bersama Tentara Diraja Malaysia. Askar Wataniah juga dilibatkan bila Tentara Diraja Malaysia berlatih gabungan dengan tentara asing.

Kaklaka pernah berlatih bersama Tentara Nasional Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara lain. Dalam simulasi perang, ia berperan memanggul tentara yang mati. Ia pernah kewalahan memanggul tentara Australia. ”Badannya besar, berat sekali,” katanya.

Kaklaka biasa berlatih di markas kompi Askar Wataniah wilayah Serian. Markas itu berupa rumah panggung 12 kali 6 meter, bertiang semen cor. Atapnya seng. Tapi, rupanya, usianya lumayan tua. Atap mulai berkarat dan cat di dinding sudah lusuh.

Lima meter dari rumah panggung itu tegaklah sebatang ”tugu”, tinggi sekitar 1,5 meter dan lebar dua meter. Catnya kombinasi merah dan kuning. Di tengah bidang depan tergambar lambang Askar Wataniah: mandau dan keris bersilang dalam lingkaran padi bertangkai. Di atas lingkaran padi itu ada bulan sabit dan bintang. Di bagian bawah logo tertulis Askar Wataniah Malaysia. Juga ada kode batalion. Kawasan Serian masuk Batalion 511.

Berbeda dengan kompi Serian, Markas Resimen 511 Askar Wataniah Kuching mirip markas garnisun. Markas ini sekitar 11 kilometer dari jantung Kota Kuching, di kawasan Batu Tujuh. Kompleks ini meliputi beberapa bangunan, dengan bentangan tanah yang lebih tinggi di bagian belakang. Pos penjagaan siaga di depan gerbang: hanya yang punya izin yang boleh masuk.

Melintasi pos penjagaan ini, ke arah kanan, berdiri sederet bangunan yang bersih dan rapi. Bangunan ini banyak ruangannya. Lantainya keramik kuning susu. Pada bagian sisi fondasi di bawah teras, keramiknya hijau. Atapnya seng dicat hijau militer. Halaman depan berlapis aspal, bersanding dengan taman berumput tercukur rapi. Beberapa pokok pinang tumbuh di sana.

Markas ini berpagar kawat jaring. Di atas kawat jaring ini melilit tiga rangkai kawat berduri. Kompleks ini menempati lahan sekitar 100 kali 100 meter. Sabtu dua pekan lalu adalah hari berlatih bagi Askar Wataniah. Siang itu, satu peleton Askar Wataniah sedang berbaris. Pakaian Askar Wataniah mirip Tentara Diraja Malaysia. Yang perempuan sebagian besar bertudung.

Seorang penjaga langsung beranjak dari tempat duduk begitu Tempo hendak masuk ke markas Resimen 511 Askar Wataniah, Selasa pekan lalu. Tubuhnya tegap, namanya Pattrick. Setelah memeriksa kartu nama Tempo dengan seksama, ia mendongakkan kepala seraya berkata, ”Ini Tempo, tak boleh!”

Ketika itu pula sebuah sepeda motor melintas di depan gerbang, dan berhenti di dekat Pattrick. Seperti melapor, Pattrick mengatakan, ”Ini Tempo dari Jakarta, Indon.” Askar Wataniah bersepeda motor itu langsung melambaikan tangan dan menggelengkan kepala. ”Tak boleh,” katanya.

Sunudyantoro (Kuching, Sarawak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus