Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Teroris Pasca-Serangan Surabaya Bertindak Lebih Cermat

Anak-anak mulai dilibatkan secara aktif dalam aksi teror.

13 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Kondisi psikologis puluhan terduga teroris yang ditangkap setelah kejadian teror bom di Surabaya telah dinilai oleh para ahli. Penilaian yang dilakukan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia itu menunjukkan para terduga teroris, yang sebagian telah ditetapkan sebagai tersangka, berupaya merencanakan aksi dengan lebih cermat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia Reni Kusumowardhani mengatakan, selain lebih cermat, semua tersangka yang telah diperiksa psikologinya membenarkan perbuatan mereka. "Semua yang kami periksa melegitimasi apa yang mereka lakukan atau rencanakan sebagai bagian dari kebenaran agama," kata Reni kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah kejadian teror di Surabaya pada pertengahan Mei lalu, kepolisian telah menangkap setidaknya 110 orang yang diduga mengetahui, merencanakan, atau terlibat dalam jaringan terorisme yang sama, yakni Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Penangkapan dilakukan di berbagai daerah, di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Riau, hingga Lampung, dan tercatat menjadi penangkapan terbanyak oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dibanding sebelumnya.

Rentetan penangkapan kembali terjadi selama sepekan terakhir setelah bom meledak di rumah perakitnya di Pasuruan, Jawa Timur. Pemilik bom bernama Anwardi kabur dan masuk daftar pencarian orang. Ia bekas narapidana kasus terorisme yang tergabung dalam kelompok JAD dan diperkirakan masih berada di Jawa Timur. Sejak kejadian tersebut, 21 orang diciduk di berbagai daerah hingga kemarin.

Reni mengungkapkan salah satu terduga teroris yang ditangkap setelah kejadian di Surabaya adalah anak berusia 15 tahun yang ditangkap di Bandung, Jawa Barat. Menurut dia, hal ini menunjukkan keterlibatan anak-anak secara aktif dalam aksi teror semakin nyata sehingga harus ditanggulangi sejak dini oleh pemerintah.

Temuan lainnya, kata Reni, adalah para terduga teroris itu memiliki latar belakang kehidupan yang membuat mereka rentan dipengaruhi propaganda radikal. "Antara lain sering dikucilkan, atau memiliki teman atau keluarga yang bersimpati kepada aksi semacam ini," ujar dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. Asosiasi Psikologi Forensik telah lama menjadi rekanan Detasemen Khusus 88 untuk memeriksa kondisi psikologis tersangka teroris.

Deputi III Bidang Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Inspektur Jenderal Polisi Hamidin, mengatakan penilaian psikologis terduga teroris perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat radikalisme mereka. Untuk pelaku anak-anak, kata dia, mekanisme berbeda diperlukan karena mereka juga harus dikategorikan sebagai korban. "Anak-anak kami ambil alih, dibina secara khusus," tuturnya.

Menurut Hamidin, berbagai kasus menunjukkan anak-anak dilibatkan paksa oleh keluarga mereka dalam aksi terorisme. "Setelah kami tanya, mereka sebenarnya tidak berkeinginan menjadi mujahidin seperti orang tua mereka yang tewas," kata dia. Para pelaku anak-anak, kata dia, akan diikutkan dalam program deradikalisasi di Pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang dibina BNPT. INDRI MAULIDAR


Temuan Asosiasi

Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia telah menilai puluhan tersangka teroris yang ditangkap setelah kejadian bom Surabaya. Reni Kusumowardhani mengungkapkan sejumlah temuannya. "Tapi ada beberapa hal yang sebaiknya tidak dipublikasikan demi kepentingan keamanan," kata dia kemarin.

Berikut ini beberapa temuan Asosiasi:
1. Ada terduga anak yang turut tertangkap. Ia berusia 15 tahun.
2. Para tersangka memiliki latar belakang kehidupan yang membentuk karakter psikologis yang rentan dipengaruhi propaganda radikal.
3. Rata-rata memiliki sikap positif terhadap paham-paham radikal dan fundamentalisme.
4. Memiliki risiko ancaman personal yang bergerak dari sedang hingga sangat tinggi.
5. Tidak dijumpai perbedaan pola psikologis yang signifikan antara mereka yang ditangkap setelah kejadian Surabaya dan yang sebelumnya.
6. Tampak mereka berupaya melakukan gerakan dengan perencanaan yang lebih cermat.
7. Semua tersangka yang diperiksa melegitimasi apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari kebenaran agama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus