Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESA Cibugel terletak di ujung selatan kabupaten Sumedang
berbatasan dengan Garut. Jaraknya, hanya 26 Kilometer saja dari
kota Sumedang. Walau begitu, kendaraan tak bisa tembus dari
Sumedang ke Cibugel, sebab jalan yang ada hanya setapak saja.
Itupun harus naik turun bukit. Alhasil, jika Bupati Sumedang
sekali-sekali ingin menengok desanya yang terpencil ini, ia
harus melingkar dulu ke Cileunyi, lalu masuk kabupaten Garut.
Sampai di Limbangan. belok lagi ke kiri. Dari sana masih ada
jarak 18 kilometcr lagi. Ini pun baru setengahnya yang beraspal.
Sisanya, masih berupa batu-batu berserakan memenuhi jalan yang
persis seperti punggung kura-kura, tinggi di tengah. Di suatu
tempat bahkan jalan itu melintas ke tengah lapangan sepakbola.
Cibugel yang luasnya sekitar 2000 hektar ini, termasuk desa
rawan. "Di tahun 1969, kami kelaparan, bahkan sampai kena HO",
kata Adimaja yang menjadi Kuwu sejak Maret 75. Desa dengan
penghuni 6000 jiwa ini hanya memiliki sawah sekitar 400 hektar.
"Itu pun hanya setengahnya yang bisa panen dua kali setahun",
kata Adimaja yang bekas kepala sekolah itu.
Di zaman Belanda, Cibugel termasuk perkebunan teh. Tanah bekas
perkebunan teh ini, seluas 300 hektar, sekarang dibiarkan saja,
tidak digarap. "Tanah itu menjadi sengketa bertahun-tahun antara
desa dengan kehutanan", kata Kuwu Adimaja. Pernah direncanakan,
200 hektar tanah tersebut akan diberikan kepada desa, sedan
sisanya akan diserahkan kepada kehutanan. Tapi desa meminta
seluruhnya.
Hubungan antara kehutanan dengan desa di Cibugel ini tampak
kurang serasi. "Hutan kami sudah gundul", kata Adimaja sambil
menunjuk ke bukit sekeliling "Karena hutan yang gundul itu
ditanami oleh rakyat, maka kamilah yang disalahkan", katanya.
Padahal, menurut Adimaja yang telah dua kali menjadi kuwu ini,
soalnya terletak pada pengawas hutan yang kurang tanggung jawab.
"Hutan itu mereka jual belikan", katanya lagi. Kayu dari hutan
Cibugel itu kebanyakan dijual di Cicalengka.
Juga Apel
Desa Cibugel pernah dua kali mengalami malapetaka. Pertama tahun
1959, ketika desa yang waktu itu hanya menjadi sebuah kampung
besar ini diterjang gerombolan Kartosuwiryo. Tak kurang dari 219
orang meninggal hanya dalam waktu semalam. Belum juga luka itu
sembuh betul, datang lagi bencana Gestapu itu: 72 orang
dinyatakan PKI. "Bahkan di antaranya ada yang ikut ke Lubang
Buaya", kata Adimaja.
Tapi sejak tahun-tahun belakangan ini, tampaknya Cibugel mulai
berbenah juga. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana
setiap musim panen orang sibuk bikin kenduri untuk kemudian
disambung dengan musim paceklik berbulan-bulan, sekarang sudah
dicoba didirikan lumbung di setiap RT yang jumlahnya 32. Selain
itu, tembakau yang menjadi tanaman utama di hutan yang telah
gundul memberikan penghasilan yang lebih dari lumayan. Sekali
panen ada yang memungut hasil sampai 500 ribu rupiah. Jumlah
yang cukup mengagumkan buat ukuran sana.
Selain itu sedang dicoba pula memperluas sawah dengan gotong
royong membuat pengairan. Tahun ini diharapkan jumlah sawah akan
bertambah 50 hektar lagi. Dengan ketinggian 900 meter dari muka
laut, Cibugel juga diperkirakan cocok buat apel. Pemerintahan
ada memberikan bibit dengan harga 250 rupiah per batang.
Celakanya, ada pula yang memaksakan supaya Cibugel menanam
kelapa, bukan apel. "Hal ini kami tolak", kata Adimaja. "Lihat
saja, mana kelapa bisa subur di sini", tambahnya. Seribu bibit
apel yang ditanam sebagai percobaan, sekarang hampir membawa
hasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo