Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jurnalis Tempo, Nurhadi, mengalami penganiayaan saat menjalankan tugas jurnalistik di Surabaya, Sabtu malam lalu.
Nurhadi sedang meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak.
Jurnalis Tempo, Nurhadi, mengalami penganiayaan saat menjalankan tugas jurnalistik di Surabaya, Sabtu malam lalu. Nurhadi sedang meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak pada Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penganiayaan terjadi ketika sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin di gedung Graha Samudra Bumimoro (GSB), Kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal), Surabaya. Nurhadi sudah menjelaskan statusnya sebagai wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Namun pengawal Angin tetap merampas telepon seluler Nurhadi dan memaksa untuk memeriksa isinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurhadi juga ditampar, dipiting, dan dipukul di beberapa bagian tubuhnya. Untuk memastikan Nurhadi tidak melaporkan hasil reportasenya, dia juga ditahan selama dua jam di sebuah hotel di Surabaya. Berikut ini penuturan Nurhadi seputar penganiayaan dan penyekapan yang ia alami tersebut.
Tamparan dan pukulan yang diarahkan ke wajah, dada, dan tengkuk kepala, saya terima di gudang belakang gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) di Kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut, Surabaya, Jawa Timur. Gudang yang dipakai untuk menyimpan peralatan resepsi pernikahan menjadi lokasi penyekapan saya selama dua jam malam itu.
Sabtu itu tengah berlangsung resepsi pernikahan antara anak Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji dan anak Komisaris Besar Achmad Yani, yang pernah menjabat Kepala Biro Perencanaan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Saya mendapat penugasan dari redaktur hukum majalah Tempo, Linda Trianita, untuk mengkonfirmasi sejumlah tuduhan kepada Angin yang telah menjadi tersangka dalam dugaan korupsi pajak di KPK.
Saya datang ke lokasi sekitar pukul 18.30 WIB bersama kawan saya bernama Fahmi. Rencananya, saya berusaha mewawancarai Angin, dan Fahmi akan mengambil gambar dari jauh. Saya bahkan memakai clip-on wireless untuk tugas ini. Namun untuk memasuki area resepsi tidak mudah. Para tamu harus membawa undangan yang memiliki barcode untuk bisa masuk. Saya akhirnya bisa masuk melalui pintu samping yang tidak dijaga.
Belakangan, saya baru tahu, di dalam area resepsi terdapat aturan tidak boleh memotret dan merekam video mempelai. Saya awalnya tidak mengetahui larangan memotret itu karena sempat memotret beberapa foto pelaminan dan mengirimnya kepada Linda. Tidak lama, seseorang memfoto diri saya. Ia memakai seragam batik seperti yang dipakai para panitia resepsi pernikahan itu.
Saya pun memfoto balik orang itu dan melaporkannya kepada Linda. Saat saya kembali ke pintu samping tempat saya masuk, dua orang menghampiri saya. Saya diinterogasi. Sejak saat itu, komunikasi saya dengan redaktur terputus karena harus meladeni pertanyaan dia. Awalnya, saya mengaku sebagai keluarga mempelai perempuan.
Sialnya, keluarga mempelai perempuan didatangkan dan mengaku tak mengenali saya. Akhirnya saya mengaku sebagai wartawan Tempo. Kemudian telepon seluler saya disita, KTP saya dibawa. Di dalam proses itu, terdapat dua orang yang sempat memiting dan menjotos. Saya sempat menangkisnya. Kejadian itu menimbulkan keributan. Saya diserahkan ke anggota TNI Angkatan Laut yang berjaga di pos depan gedung itu.
Selanjutnya, saya dibawa ke pos TNI Angkatan Laut yang berjarak sekitar 300 meter dari pos yang berada di area gedung. Saya dibawa memakai mobil patroli Polisi Militer TNI AL. Saya ditanya baik-baik oleh mereka. Anggota TNI ini merasa tak ada wewenang atas saya, kemudian berinisiatif membawa saya ke Polres Tanjung Perak. Namun, sebelum sampai di sana, saya dibawa kembali ke gedung resepsi itu.
Baru satu kaki saya turun dari mobil, sekitar 15 orang mengeroyok saya. Para pengeroyok itu ada yang memakai baju safari, ada pula yang berseragam batik. Saya kaget menerima berbagai pukulan itu. Hasil dari pengeroyokan itu adalah pergelangan tangan kanan saya bengkak lantaran berupaya menangkis serangan-serangan itu. Kelopak mata kiri saya luka, bibir bagian bawah sobek, dada bagian kanan saya sakit.
Aksi wartawan yang tergabung dalam Forum Jurnalis se-Surabaya mendesak untuk mengusut kasus kekerasan terhadap Nurhadi di Surabaya, Jawa Timur, 29 Maret 2021 ANTARA/Zabur Karuru
Saya sempat disandarkan ke dekat pintu bangunan pompa air. Di sana, seseorang yang saya duga adalah menantu Angin mengangkat kerah baju saya ke atas dan mencekik. Kemudian saya dibawa ke gudang tersebut. Saya didudukkan di salah satu sudut gudang itu. Sekitar 15 orang yang saya duga polisi dan ajudan Angin Prayitno Aji bergantian memukuli saya. Salah satu pukulan mendarat ke bagian ulu hati.
Saya menjadi samsak hidup bagi mereka. Mereka masuk ke gudang itu, memukuli saya, dan beberapa di antaranya kemudian pergi begitu saja. Saya diminta melepaskan sepatu saya, lalu mereka menginjak kaki saya memakai sepatu dengan satu kaki yang lain terangkat, sehingga beban berada di kaki yang menginjak saya.
Saya juga sempat disekap memakai plastik kresek berwarna merah selama 5-10 menit. Mereka juga menakuti saya dengan menaruh kabel di kaki saya seperti seakan ingin menyetrum saya. Namun saya bersikap tenang. Dalam penyekapan itu, saya berpikir akan disekap sampai Senin (kemarin).
Para penyekap ingin memastikan bahwa tidak ada foto pesta perkawinan itu yang tayang ke publik. Saya meyakinkan mereka bahwa foto itu tak akan tayang ke publik lantaran tujuan saya ingin mengkonfirmasi keterlibatan Angin dalam kasus korupsi yang ditangani KPK.
Para penyekap yang merupakan polisi itu memang sempat menyatakan akan menyandera saya sampai Senin, bahkan mengancam akan menempatkan saya di kolam lintah. Saat itu, tebersit di pikiran saya bahwa kondisi saya seperti aktivis pada era Orde Baru yang disekap.
Saya takut akan keselamatan diri saya, tapi saya tidak terpikir akan mati pada hari itu. Berkat pesan WhatsApp dari redaktur hukum majalah Tempo, Linda Trianita, ke telepon saya, yang menyatakan kalau ada kejadian apa-apa dia akan melapor Kapolri, ternyata terbaca oleh para penyekap saya ketika mereka merampas telepon saya.
Ketika itu, belum ada redaktur Tempo yang mengetahui bahwa saya disekap dan dipukuli. Saat itu saya sengaja belum memberitahukan kondisi saya bahwa saya telah menjadi bulan-bulanan mereka. Saya berpikir akan disekap selama satu hari dan kemudian dilepaskan. Saya diperlakukan seperti maling. Saya bahkan sampai tak berani menatap wajah para penyekap karena terus menunduk selama berada di gudang itu.
Selama di gudang, telepon saya dikembalikan dalam kondisi sudah direset dan simcard saya sudah tidak ada. Mereka bilang sudah dipatahkan. Seseorang yang saya duga menantu Angin menghampiri saya dan mencekik saya. Setelah itu, ia memberikan uang Rp 600 ribu sebagai kompensasi data di telepon saya yang sudah direset. Saya tidak mau memegang uang itu, sehingga uang itu berhamburan di tanah.
Setelah itu, saya ditampar dan dijotos lagi oleh mereka, sembari dipaksa memegang uang itu dengan benar dan difoto sambil memegang uang tersebut. Saya katakan bahwa saya tak bisa menerima uang ini, tapi mereka meminta saya menaruh uang di saku. Baru akan saya lakukan perintah mereka, saya ditampar lagi dari belakang. Seorang polisi yang tampak masih muda mengambil pipa besi untuk menakuti psikologi saya dan memukul kepala saya dengan pelan.
Belakangan, saya tahu orang yang paling getol memukul saya adalah Purwanto dan Firman. Saat pra-rekonstruksi, kemarin, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Totok Suharyanto, memastikan dua orang ini adalah polisi. Saya rasa mereka pernah bertugas di Polda Jawa Timur atau Polrestabes Surabaya.
Mereka memukul saya, termasuk di gendang telinga saya beberapa kali. Saya ketakutan atas penganiayaan yang mereka lakukan. Selain itu, ada ancaman dari anggota keluarga Angin berusia kurang-lebih 50 tahun yang ingin membawa saya ke Jakarta dengan meminta saya memilih UGD atau kuburan. Ancaman itu berulang kali disampaikan kepada saya.
Mereka juga bertanya mengenai Fahmi. Sebelum telepon saya direset, mereka meminta saya menghubungi Fahmi dan memintanya datang. Fahmi pun datang. Begitu datang, ia digeret masuk ke gudang. Namun saya menjelaskan bahwa Fahmi tidak mengetahui apa-apa, sehingga ia aman dan menjadi saksi mata penyekapan dan penganiayaan terhadap diri saya.
Ketika acara resepsi selesai sekitar pukul 22.00 WIB, para ajudan dan keluarga Angin pamit kepada empat polisi tersisa, dua di antaranya Purwanto dan Firman. Mereka menyebutkan akan kembali ke Jakarta. Saat kondisi sepi, saya sudah tidak mengalami kekerasan. Namun mereka tampak masih ketakutan foto resepsi akan diberitakan. Mereka kembali mengancam akan menjebloskan saya ke tahanan polres atau polsek sampai Senin.
Setelah itu, saya dibawa ke Hotel Arcadia kamar 801. Saya, Fahmi, dan Purwanto berangkat memakai mobil Purwanto. Lalu Firman dan temannya memakai mobil Fahmi. Namun yang turun di hotel itu hanya saya, Fahmi, Purwanto, dan Firman. Suasana di dalam hotel sudah cair. Mereka bahkan curhat bahwa sudah bekerja keras menyiapkan acara resepsi ini sampai tiga hari tidak tidur. Mereka juga mulai mengelus-elus kepala saya, dan saya yakin bahwa saya akan dipulangkan.
Saya berpikir bagaimana caranya bisa pulang. Kedua polisi itu meminta jaminan foto itu tidak keluar untuk diberitakan. Akhirnya saya menelepon Linda dengan meminjam telepon seluler Fahmi, dan mereka mulai yakin foto tidak akan tayang. Percakapan dengan Linda direkam dan rekaman disebutkan dikirim ke "Bapak", yang saya duga adalah Achmad Yani. Mereka menyebutkan Bapak belum yakin, sehingga saya menelepon Mustafa Silalahi, redaktur hukum majalah Tempo.
Setelah mereka merasa yakin, saya dibawa pulang. Sebagai jaminan foto tak tayang, Purwanto mengantar saya sampai rumah, diikuti oleh Fahmi dengan mobilnya di belakang. Begitu sampai di rumah, uang dari mereka saya taruh di dekat persneling mobil. Begitu saya turun, saya segera mandi. Setelah mandi, saya baru menelepon Linda dan menceritakan peristiwa yang saya alami.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo